Salam 1.

270 16 2
                                    

[—Salam 1.]

Kusenderkan punggungku pada senderan kursi goyang kecil yang terbuat dari rotan. Tidak mudah bagiku mengangkat barang-barang yang telah di kemas dalam kardus. Pun aku harus menatanya sendiri di dalam kamar baruku.

Hari ini hari Jumat. Tiga hari lalu, usiaku baru saja masuk satu dekade. Kami baru saja pindah rumah. Dan itu benar-benar hadiah terburuk sepanjang 10 tahun perjalanan hidupku karena itu membuatku terpisah dari sahabat-sahabat di rumahku yang lama. Tentu saja liburan menjelang hari raya Idul Fitri ini yang seharusnya indah, akan menjadi liburan yang buruk untukku.

Papaku bilang, ini hanya sementara. Kami hanya mengontrak rumah ini sampai sekiranya rumah baru yang kami pesan ke developer selesai di bangun dan benar-benar layak huni.

Aku adalah anak yang introvert. Aku hanya bisa bergaul dengan orang-orang tertentu saja. Maksudku, aku hanya nyaman kepada orang yang lebih supel denganku. Aku ini anaknya memang susah bergaul.

Kupandangi salib kecil yang ada di dinding kamarku—benda terakhir yang aku tata di dalam kamar baruku ini. Bapa, mudahkanlah hidupku—batinku.

Tok. Tok. Tok.

Terdengar suara papaku sedang mengetuk pintu kamar. Ia membukanya.

"Adek." Sapa papaku seranya menunjukkan hiasan pintu kamar yang aku cari-cari tapi tidak ketemu. Bahkan aku sempat mengira jika benda itu tertinggal di rumahku yang lama.

Ia memasangkannya di pintu kamar untukku—hiasan dengan tulisan We love Nui. Sebuah hasta karya yang dibuat papa dan mama ketika aku masih duduk di kelas 3 SD tahun lalu.

Aku tidak mengacuhkan papaku yang berusaha terlihat ramah di depanku. Papaku memang orang yang lembut. Tapi tetap saja aku masih marah kepadanya. Aku masih belum terima jika rumahku harus pindah seperti ini.

"Air di rumah ini akan hidup menjelang maghrib, Nui." kata papaku. "Jika kamu ingin mandi untuk mengusir gerah siang ini, kamu bisa mandi di masjid yang letaknya tidak jauh dari sini. Papa sudah meminta izin kepada ketua RT di sini." Tambahnya.

Benar bukan. Air saja masih belum hidup. Ini menyebalkan.

Tapi memang tidak bisa dipungkiri, aku memang merasa gerah pasca angkat-angkat dan menata barang-barang yang aku bawa dari pindahan rumah. Aku memang harus mendinginkan tubuhku agar segar kembali.

Tanpa sepengetahuan papaku, aku mengambil peralatan mandiku yang belum sempat aku keluarkan dari dalam kardus kecil di kamarku. Aku ingin pergi mandi. Toh aku juga ingin melihat-lihat lingkungan yang akan aku tinggali untuk sementara ini.

Sengaja aku pergi tanpa pamit. Aku ingin papaku khawatir. Anggap saja itu sebagai balasan pelampiasanku karena telah memisahkanku dengan teman-teman di rumahku yang lama.

Kulihat kanan dan kiri. Suasana di sini begitu asri. Banyak bebungaan di kanan kiri. Begitu warna-warni memanjakan kedua mataku. Pun hiasan-hiasan khas Bulan Ramadan semakin menambah semarak di bulan suci umat muslim sedunia ini.

Sedari kecil, aku memang suka dengan bunga. Menurutku, Tuhan hebat sekali mencipatakan makhluk hidup dalam jelmaan jenis tanaman yang bisa berbunga. Dia memiliki ide yang briliant! Pantas jika Dia dijuluki dengan Sang Maha Keindahan.

Dari kejauhan, kulihat sebuah kubah megah yang di cat keemasan. Di ujung kubah tersebut terdapat simbol bulan sabit dan bintang. Itu rupanya masjid yang papaku maksudkan. Aku harus ke sana jika ingin menumpang mandi di kamar mandi masjid tersebut.

Bangunan khusus untuk ibadah umat muslim ini semakin terlihat kemegahannya ketika aku sudah sampai di halamannya. Masjid Al-Firdaus. Demikian aku mengeja nama tempat ibadah ini yang terpampang di sebuah plakat bertiang.

Shalom Aleichem Nui.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang