Salam 7.

123 12 0
                                    

[—Salam 7.]

Jujur, apa yang aku dengar dari ayahnya Rafiq membuatku benar-benar terpukul. Ia melarang Rafiq untuk bermain denganku. Itu sama saja dengan melarangku untuk berada dekat dengan Rafiq. Aku tidak bisa bermain bersama dengannya lagi. Terlebih, aku hanyalah kafir bagi mereka. Aku bahkan belum tahu apa itu kafir. Sudah pasti arti kata itu mempunyai konotasi yang buruk, bukan begitu?

Kuamati salib kecil yang aku tempelkan di dinding kamarku. Bapa..., aku sudah keterlaluan, ya? Batinku.

Aku yakin saat ini pun, aku masih merasakan sesak di dada. Bahkan setiap kali aku membayangkan sosok Rafiq, rasa sesak itu semakin menghujam dadaku. Sayangnya, bagaimanapun aku berpikir, aku tidak bisa menghilangkan sosok Rafiq dari kepalaku. Hanya Rafiq, Rafiq, dan Rafiq saja yang terlintas. Bahkan semakin jelas, aku masih bisa menggambarkan bayangan tentang tubuh Rafiq yang telanjang dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bayangan tentang dirinya tidak bisa hilang dari kepalaku.

Hari sudah menjelang siang. Aku semakin tidak tenang. Kulihat jam dinding bundar berwarna kuning yang menempel di atas meja belajarku. Pukul setengah dua belas lebih sedikit. Saat itulah kudengar suara lantunan adzan untuk ibadah siang.

Aku terkejut ketika mendengar suara adzan itu. Tidak salah lagi. Itu suara Rafiq. Ia yang tengah mengumandangkan adzan siang ini.

Aku buru-buru beranjak dari kasur dan keluar kamarku. Tanpa pamit, aku bergegas keluar mengambil sepedaku dan lekas mengayuhnya. Aku ingin menuju ke masjid.

Adzan masih berkumandang. Aku menghentikan sepedaku di luar halaman masjid. Kulihat dari luar, kudapati Rafiq sedang berdiri di depan mimbar. Itu benar-benar Rafiq. Aku tidak salah mengenali suaranya.

Melihat Rafiq secara langsung benar-benar mampu mengurangi rasa sesak yang ada di dalam dadaku. Kini aku bisa bernafas lebih ringan. Sayang. Aku tidak berani masuk ke dalam area halaman masjid untuk melihatnya lebih dekat lagi.

Adzan sudah selesai berkumandang. Aku masih berdiri di atas sepedaku di luar halaman masjid. Tampak ia mundur dua langkah ingin melakukan ibadah sholat sunnah. Sebelum memulai, ia melihat ke arah luar laca jendela masjid. Aku kaget. Aku segera memundurkan sepedaku untuk menghindari tatapan Rafiq. Tapi aku rasa, untuk sepersekian detik, ia mendapatiku.

Aku menunggunya. Siapa tahu dia akan keluar dan menyapaku. Itu akan membuatku jauh lebih senang. Aku memberanikan diri mengintipnya sekali lagi. Tetapi ternyata tidak seperti yang aku harapkan. Rafiq, ia berdiri di tempatnya, tengah melakukan ibadah sholat sunnah.

Kini, aku malah merasa ditinggalkan oleh Rafiq. Apakah ia benar-benar tidak diperbolehkan untuk bermain denganku, bahkan untuk sekedar bertemu saja?

Aku pulang dengan lesu.

✿❀✿

Selepas itu, aku hanya meratapi nasibku sambil tidak henti-hentinya membayangkan sosok Rafiq. Pertemuan tadi semakin tidak bisa menghentikanku untuk tetap membayangkannya. Aku merasa, aku semakin terobsesi kepada Rafiq.

Ketika jam tengah menunjukkan pukul setengah tiga lebih sedikit, aku berinisiatif untuk melihat Rafiq sekali lagi. Kali ini aku akan datang ke masjid lebih dulu sebelum adzan tanda sholat asar dikumandangkan. Siapa tahu, Rafiq lagi yang akan mengumandangkan adzan sholat asar.

Dengan sepeda lipat miniku, aku kembali melesat keluar rumah menuju ke masjid. Aku menghentikan sepeda lipat miniku di titik tepat seperti aku mengintip Rafiq tadi siang. Kulihat ke arah bagian dalam masjid melalui jendela kaca. Rafiq belum datang. Aku memutar sepedaku dan menunggu di tempat yang agak teduh. Sedikit menghindar dari area masjid.

Benar saja. Tidak berapa lama, aku melihat Rafiq datang. Tapi ia tidak sendiri. Ia datang bersama dengan teman-temannya. Salah satu di antara teman Rafiq adalah anak yang buang air kecil bareng dengan Rafiq.

Shalom Aleichem Nui.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang