Salam 3.

170 16 2
                                    

[—Salam 3.]

Malam minggu pertamaku di tempat tinggal baruku. Seharusnya ini adalah malam minggu terseru. Itu hanya akan terjadi jika aku masih berada di rumah lamaku.

Biasanya, aku bisa bermain dengan teman-teman sebayaku hingga pukul sembilan malam. Bisa bermain kejar-kejaran, petak umpet, jelajah malam berbarengan, atau sekedar ngobrol-ngobrol sana-sini bersama dengan mereka. Percayalah, semua itu akan menjadi 100 kali lipat lebih seru jika dilakukan di malam hari bersama dengan sahabat kita.

Tapi tidak untuk malam minggu kali ini. Anak yang introvert sepertiku memang susah bergaul. Aku tidak bisa menyalahkan nasib juga, sih.

Sekitar pukul delapan malam, aku meminta izin kepada papaku agar aku diperbolehkan bermain di luar rumah. Ia mengizinkanku, dengan catatan, aku harus sudah kembali di rumah tepat pukul sembilan malam atau sebelumnya, jika tidak, rumah akan dikunci dan papa membiarkanku tidur di luar. Aturan lama yang masih berlaku di tempat tinggal baruku ini. Pun aku tidak bisa mengelaknya.

Ketika aku mengayuh sepedaku, aku berpapasan dengan banyak jamaah masjid. Rupa-rupanya mereka telah selesai menunaikan ibadah shalat tarawih.

Pikiranku langsung tertuju kepada satu nama—Rafiq. Pasti ia juga sudah selesai.

Aku buru-buru mengayuh sepedaku menuju ke arah masjid.

Setelah sampai, aku tidak langsung masuk ke halaman masjid seperti tadi siang. Aku melihat, di sana masih ada beberapa bapak-bapak yang sedang bercengkrama satu sama lain. Dan benar saja. Ketika aku melihat ke halaman masjid, kudapati sosok Rafiq sedang asyik bersenda-gurau dengan teman-temannya.

Teman-teman Rafiq ada banyak. Tidak hanya empat seperti yang kulihat tadi siang. Sayangnya, aku tidak berani menyapa mereka. Aku terlalu malu untuk berbaur. Jadi yang aku lakukan, hanya melihat Rafiq yang sedang bercengkrama dengan teman-temannya dari kejauhan.

Dari tempatku berdiri di atas sepedaku, aku bisa mendengar tawa Rafiq dan teman-temannya. Sepertinya seru sekali.

Selang lima menit, keseruan itu semakin bertambah. Mereka bermain petasan.

Seumur-umur, aku belum pernah bermain petasan. Bermain petasan seperti ini memang hanya terjadi di saat bulan suci ramadan saja.

Aku memberanikan diri melihat lebih dekat. Kutuntun sepedaku hingga berada tepat di depan halaman masjid agar aku bisa melihat mereka dengan jelas. Hanya saja, aku masih belum berani masuk ke dalam halaman tempat ibadah ini.

Ah, agar aku melihat mereka dengan jelas? Sepertinya tidak begitu juga, sih. Sebenarnya lebih ke—agar Rafiq bisa melihatku dan mengajakku bermain bersama. Itu saja, sih.

Sepuluh menit aku berdiri mematung di atas sepedaku, Rafiq belum juga melihatku. Hingga akhirnya salah seorang teman Rafiq yang tadi siang menanyakan 'siapa aku' kepada Rafiq memberitahu bahwa ada aku di depan halaman masjid.

Begitu tersadar akan keberadaanku, Rafiq langsung mendatangiku.

"Ada apa?" tanya dia. "Cari aku, ya?"

"Ohh, engga kok. Aku cuma lihat-lihat saja." Kataku.

Lihat. Lagi-lagi aku berbohong. Aku tidak bisa berkata jujur bahwa aku memang sedang mencarinya. Sebenarnya, apa susahnya sih mengatakan 'aku ingin bermain denganmu' kepadanya? Aku sudah lancar berbicara. Pun kosakataku juga banyak. Kenapa mengatakan kalimat sependek itu kepadanya saja sungguh berat bagiku?

"Ayo, ke sana." Ajak Rafiq. "Ikuti aku." Pintanya.

Itulah kata-kata yang aku tunggu-tunggu. Aku memang merasa sedikit kecewa karena Rafiq memutuskan untuk kembali bersama dengan teman-temannya dan bukannya mengajakku bermain entah ke mana. Tapi setidaknya, ia mengajakku untuk bermain bersama.

Bagi mereka teman-teman Rafiq, keseruan memang bertambah. Namun bukan karena kehadiranku. Mereka asyik dengan permainan petasan mereka. Pun Rafiq demikian. Ikut menyatu dengan euphoria teman-temannya, mendiamkanku yang masih sama—berdiri mematung di atas sepeda lipat miniku. Hanya saja, kali ini aku memang sudah berada di antara mereka. Dekat. Dekat sekali dengan mereka. Tapi entah kenapa Rafiq malah semakin terlihat jauh bagiku ketika ia terlarut dengan keseruan teman-temannya.

Aku merasa selamat ketika salah satu teman Rafiq berinisiatif melakukan komunikasi denganku.

"Hei, kamu punya petasan engga?" tanya salah satu teman Rafiq. Rafiq yang mendengar pertanyaan itu, menghentikan sejenak keseruannya bermain petasan.

"Aku engga punya..." kataku. Entah siapa nama anak itu. Aku belum berkenalan.

Ah, tidak hanya belum berkenalan dengannya. Aku sama sekali belum berkenalan dengan semua teman-teman Rafiq. Pun aku tidak berinisiatif mengenalkan diriku karena aku malu. Di sini, hanya Rafiq saja yang sudah aku kenal. Pun belum terlalu akrab.

"Yah, engga seru." Kata anak itu kecewa.

Rafiq menertawai temannya.

Tapi tawa itu justru terkesan jika dia memang setuju dengan temannya bahwa aku memang tidak seru karena tidak mempunyai petasan—barang yang aku belum pernah sentuh seumur 10 tahun hidupku.

Malam itu, menjadi malam minggu yang paling mengecewakan sepanjang kamus malam minggu yang pernah aku lalui sebelumnya.

Sepanjang waktu, Rafiq hanya memberi perhatian dengan teman-temannya tanpa sekali pun mengajakku ngobrol. Aku pun hanya bisa diam. Memaksa diriku menjadi 'obat nyamuk' hingga aku memutuskan untuk pulang lima belas menit lebih awal dari jadwal tetap malam minggu yang telah diberikan oleh papa.

Malam itu membuatku sadar, aku belum terlalu akrab dengan Rafiq.

.

.

.

.

[Bersambung ke Salam 4.]

___________________

Halo, ini aku nih (yang nulis). Kalo kalian suka ama ceritanya, pliss jangan lupa kasih like, rate ama comment buat aku ya. Gratis kok. Itu bakal jadi apresiasi banget buat aku. Ma'aciwh sebelumnya yah (wink).

Shalom Aleichem Nui.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang