Salam 2.

194 15 2
                                    

[—Salam 2.]

Kemarin, nampaknya aku menyesal telah membuat kedua orang tuaku khawatir. Mereka mengira, aku telah nekad minggat dari rumah kontrakan sementara kami. Karena mereka tahu, akulah yang paling keberatan tentang kepindahan kami. Pun aku pergi tidak lebih dari 45 menit. Itu sebentar sekali. Tapi mereka cukup mencemaskanku.

Sehabis mandi bersama anak bersama Rafiq, aku menyempatkan mengobrol sebentar dengannya. Kami hanya bertukar alamat saja. Itu yang penting. Selebihnya, hanya bertukar data diri saja seperti aku ini kelas berapa, dia ini kelas berapa, umur kami berapa, sekolah di mana. Hanya itu saja. Tidak lebih. Rafiq terlihat terburu-buru untuk ibadah sholat Jumat. Aku tidak mau menahannya.

Di hari Sabtu ini, aku berjalan-jalan mengelilingi lingkungan rumah kontrakan baru yang kami sewa. Kali ini aku tidak hilang secara tiba-tiba. Aku telah meminta izin kepada papaku. Menjelang jam 11 siang, aku sudah meluncur dengan sepeda lipat mini milikku.

Tapi ketahuilah, 'mengelilingi lingkungan' hanya akal-akalanku saja agar aku diperbolehkan keluar rumah.

Lantas, apa yang aku lakukan?

Aku menuju ke masjid di mana aku bertemu dengan Rafiq untuk pertama kalinya di sana.

Ketika sampai di masjid, dengan sepedaku, aku mengayuhnya mendekati area tempat wudlu. Tidak sampai naik, karena aku tahu di sana adalah batas suci. Aku sedikit kecewa, Rafiq tidak ada di sana.

Hahah! Kalian benar, dalam hati, aku memang ingin tahu apakah Rafiq mandi di sini lagi atau tidak? Dan kalau semisal dia akan mandi, aku juga akan berpura-pura belum mandi agar aku bisa mandi bersama seperti kemarin.

Jujur, semalam, aku tidak bisa menjauhkan bayang-bayang tentang Rafiq yang terpampang tanpa busana seperti kemarin. Aku tidak bisa tenang.

Ada sekitar 15 menit aku bersepeda mengelilingi halaman masjid yang berkonblok rapi. Aku berputar-putar dengan sepedaku di sana sembari menunggu anak yang bernama Rafiq datang. Tapi sayang, dia tetap tidak datang. Aku bosan. Aku memutuskan untuk kembali ke rencana awal—mengelilingi lingkungan tempat tinggal baruku.

Aku mulai melesat mengayuh sepeda lipat miniku.

Walau berada di pinggiran kota, tempat tinggal baruku masih tergolong kedesa-desaan. Sekilas aku lihat, masih banyak terdapat area persawahan di sini. Jalanan di desa ini pun sudah tidak beralaskan tanah lagi. Kadang aku menemukan jalanan yang di aspal. Atau di dak dengan semen dan bahkan ada yang berkonblok seperti di halaman masjid tadi.

Satu yang aku suka dari desa ini, banyak warganya yang menanami bunga. Ada macam-macam.

Aku terus saja mengayuh sepedaku hingga akhirnya aku menemukan semacam perkebunan bunga. Cukup luas. Di sini, jenis bunga yang aku lihat semakin ragam jenisnya. Aku berhenti sejenak untuk sekedar menikmati indahnya beragam jenis bunga yang di tanam di sini.

Bunga yang paling dekat dengan bagian luar pagar adalah bunga Marigold. Warna orangnya indah sekali.

Tapi ada satu jenis bunga yang menarik perhatianku dan aku baru pertama kali melihat jenisnya. Bunga putih yang ukurannya kecil. Aku tahu itu jenis bunga majemuk. Karena dalam satu tangkai, ada banyak sekali yang mekar. Namun entah apa nama bunga itu.

Bunga itu ada di tanah yang ukurannya lumayan luas. Aku rasa, bunga ini memang ditumbuhkan secara massal untuk di jual. Dan itu memang benar. Terdapat sebuah papan nama besar di pagar pintu masuk dengan nama Firdaus Florist.

Aku menyandarkan sepeda lipat miniku di depan pagar pintu masuk tersebut. Aku memberanikan diri untuk melihat lebih dekat bunga yang menarik perhatianku tadi.

Shalom Aleichem Nui.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang