[—Salam 8.]
Hari ini hari Sabtu. Aku tidak tahu sama sekali jika hari ini akan menjadi hari terburuk untukku. Hari terburuk disepanjang hidupku. Jauh lebih buruk dari ide pindah rumah sementara ke sini. Aku rasa seperti itu. Aku akan menceritakannya kepada kalian.
Sudah tiga hari aku mengurung diri di dalam rumah, bermain sendiri dengan mainan seadanya yang aku bawa dari rumahku yang lama. Aku membatasi ruang gerakku. Aku hanya ke kamar mandi jika aku ingin buang air. Ke dapur jika aku ingin makan. Selebihnya, aku menghabiskan ¾ hari ku di dalam kamar.
Aku berpikir, tidak keluar rumah adalah ide yang baik untuk membantuku melupakan Rafiq. Ternyata itu semua tidak berguna. Semakin aku tidak melihat Rafiq, aku justru semakin terbayang-bayang akan sosoknya.
Selama tiga hari ini, hampir dua sampai tiga kali sehari aku mendengarkan suara Rafiq yang tengah mengumandangkan adzan. Itu sungguh menyiksaku. Suara Rafiq yang kudengar, benar-benar membuatku ingin berada di dekatnya—hal yang mungkin mustahil bagiku karena ayahnya Rafiq sudah membuat fatwa bahwa Rafiq tidak boleh bermain denganku lagi.
Malam nanti adalah malam terakhir ramadan. Besok, umat muslim sedunia akan merayakan hari Eid Fitr. Malam ini adalah malam takbiran.
Aku tengah melamunkan Rafiq ketika akhirnya aku mendengar suara gelak tawa dari depan rumahku. Aku bergegas lari menuju jendela rumah di lantai 2 kamarku.
Mereka adalah teman-temannya Rafiq. Dan OMG...., ada Rafiq di antara mereka.
Aku mengamati mereka. Mereka sedang menggotong beberapa buah bambu. Aku berasumsi, mereka akan membuat obor untuk memeriahkan malam takbiran nanti.
Sebenarnya, saat itu juga aku ingin keluar rumah. Tapi aku mengurungkannya, Rafiq sama sekali tidak menoleh ke arah rumahku. Ia melewati rumahku begitu saja. Ia tidak melihatku yang dengan mata berbinar-binar dan suasana hati yang tidak menentu, telah mengintipnya dari balik tirai gordyn.
Kembali, aku merasa iri dengan teman-teman Rafiq yang dengan leluasa bisa berada di dekat Rafiq. Mereka adalah anak-anak yang senantiasa bisa dengan mudah memberi dan diberikan salam oleh Rafiq. Aku cemburu. Cemburu sekali.
Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus bertemu dengan Rafiq. Paling tidak, aku akan berpura-pura sedang berpapasan dengannya. Itu modus yang briliant menurutku. Perkara dia mau menyapaku apa tidak, aku tidak akan mengambil pusing. Asalkan dia melihatku lewat, itu saja.
Aku segera keluar rumah dan mengambil sepeda lipat miniku. Aku segera melesat keluar rumah. Aku yakin, Rafiq akan menuju ke masjid bersama dengan teman-temannya. Namun, aku mengambil jalan yang sebaliknya. Aku mengambil jalan memutar. Seperti yang aku bilang, aku akan berpura-pura berpapasan dengannya. Dan itu akan bisa dilakukan hanya jika aku mengambil jalan memutar ke arah masjid.
Tengah aku separuh perjalanan memutar menuju arah masjid. Aku melihat ada sebuah dompet tergeletak di sekitar kebun bambu yang akan aku lalui. Aku akan memotong jalan di sini. Dompet itu terbuat dari bahan kulit berwarna krem gelap.
Aku menghentikan sepedaku. Kuambil dompet itu dan kubuka. Ada tiga lembar uang ratusan ribu dan beberapa pecahan uang lima puluhan, dua puluhan, dan sepuluh ribuan. Aku ingin tahu dompet siapa ini. Aku menggeledah bagian dalam dompet. Ada sebuah kartu anggota pramuka di sana.
Rafiq Nur Firdaus.
Aku terkejut. Kulihat foto yang terpampang di dalam kartu anggota pramuka itu. Itu memang Rafiq. Ini dompet milik Rafiq.
Aku berbunga-bunga. Aku membatalkan rencanaku untuk berpura-pura sedang berpapasan dengan Rafiq. Aku akan menemuinya langsung. Aku akan menggunakan dompet ini sebagai alasanku menemuinya. Aku mengulum senyum. Aku mendapakan kartu turf terbaik.
Aku pergi memutar arah sepedaku. Aku batal mengambil jalan memutar. Aku ingin menyusul Rafiq.
Lekas kukayuh sepedaku kencang. Aku bersemangat. Bagaimana tidak, sebentar lagi aku akan bertemu dengan Rafiq.
Rafiq dan teman-temannya rupanya sudah sampai di halaman masjid. Mereka terkejut ketika melihatku datang. Terlebih Rafiq.
"Assalamualaikum, Rafiq." Seruku.
"Cieee. Cari Rafiq ya?" celetuk salah satu temannya Rafiq. Itu adalah anak yang kemarin hendak memberiku jatah ta'jil, anak yang sama yang menanyakan 'aku siapa' kepada Rafiq sewaktu aku dan Rafiq bertemu di kebun bunga.
Rafiq terlihat masam ketika mendengar temannya mengolok-oloknya.
"Wa'alaikum." Balasnya. Terlihat rikuh. "Ada apa?" tanya Rafiq.
"Aku menemukan ini. Punyamu, 'kan?" tanyaku sembari mengeluarkan dompet dari saku celana padel kotak-kotakku.
Tampak Rafiq kaget dan memeriksa kantung belakang celananya.
"Astaghfirullah. Benar, dompetku telah jatuh rupanya." Katanya sambil menepuk jidatnya.
Aku tersenyum. Aku memberikan dompetnya.
"Alhamdulillahirabbil'alamin." Seru Rafiq sambil menerima dompet tersebut. "Terima kasih, Nui. Di dalam dompet ini ada uang kas untuk membeli keperluan takbir nanti malam." Katanya.
Aku tersipu.
"Ngg, Nui. Bisa bicara sebentar?" tanya Rafiq. Ia berjalan sambil mengarahkan setang kemudi sepeda lipat miniku agar aku mengikutinya.
"Ciee, ajak kencan, Fiq! Hahah!" celetuk temannya Rafiq. Yang lain pun turut menyoraki Rafiq yang berjalan bersamaku menghindari kerumunan mereka.
Rafiq mengajakku ke luar area halaman masjid.
"Ada apa, Rafiq?" tanyaku.
"Ngg, nanti malam bisa ketemuan engga?" tanya nya. "Jam delapan tepat." Tambahnya.
Hei, aku tidak salah dengar, 'kan? Rafiq mengajakku ketemuan? Ia sendiri yang mengajakku!
"Bisa!" seruku mantab. Aku terlanjur berbinar-binar. "Di mana?" tanyaku.
"Ngg, di kebun bunga ibuku. Mau engga. Di sana sepi nanti malam. Aku akan membukakan gembok pagarnya nanti." Jawab Rafiq.
Sontak sekujur tubuhku berdesir.
Rafiq, dia ingin mengajakku ke tempat sepi nanti malam. Di kebun bunga milik ibunya jam 8 malam tepat.
Aku menelan ludah.
"B—bisa." Jawabku gugup. Percayalah, suaraku terdengar tidak stabil. Adrenalin terlanjur menyerang tubuhku.
"Ya sudah. Nanti malam aku tunggu. Jangan bilang-bilang siapa-siapa, ya?" pinta Rafiq.
"I—iya." jawabku.
Aku memutar sepedaku. Aku mulai mengayuhnya. Meninggalkan Rafiq yang juga beranjak dari tempat tadi. Aku masih sempat mendengar teman-temannya menyorakinya.
Aku pulang dengan perasaan yang bahagia. Aku senang. Senang sekali. Sangat senang.
.
.
.
.
[Bersambung ke Salam 9.]
___________________
Halo, ini aku nih (yang nulis). Kalo kalian suka ama ceritanya, pliss jangan lupa kasih like, rate ama comment buat aku ya. Gratis kok. Itu bakal jadi apresiasi banget buat aku. Ma'aciwh sebelumnya yah (wink).
KAMU SEDANG MEMBACA
Shalom Aleichem Nui.
Romance#1 on Kecil [25 Jul. 2019] #1 on Kecil [14 Aug. 2019] #1 on Kecil [1 Sept. 2019] #1 on Lebaran [4 Sept. 2019] #1 on Lebaran [1 Okt. 2019] #1 on Kecil [11 Nov. 2019] #1 on Kecil [24 Des. 2019] "Kalian pasti bisa dengan mudah mendapatkan sebuah salam...