Salam 4.

144 13 0
                                    

[—Salam 4.]

Di hari berikutnya, aku melakukan hal yang sama seperti hari sebelumnya. Siang hari aku bersepeda di halaman masjid, berputar-putar di sana, berharap Rafiq akan datang lagi. Tidak harus untuk mandi. Paling tidak, dia datang saja untuk mendapatiku berada di sini sedang menunggunya.

Tapi selama tiga puluh menit penantianku hanya sia-sia belaka. Rafiq tidak datang.

Aku memutuskan mengayuh sepedaku ke luar halaman masjid. Aku melesat menuju ke kebun bunga milik ibunya Rafiq. Siapa tahu dia sedang ada di sana.

Tapi percuma. Aku langsung tahu jika Rafiq tidak ada di sana. Pintu pagar perkebunan ini tertutup rapat dan bergembok. Aku kecewa tidak bisa mendapati Rafiq di sini. Sekilas aku berburuk sangka kepada Rafiq. Mungkin Rafiq pergi bermain bersama dengan teman-temannya di suatu tempat yang aku tidak tahu itu di mana.

Aku berpikir sejenak di depan pintu pagar kebun. Apa aku mendatangi rumah Rafiq saja? Siapa tahu 'kan, dia ada di sana?

Aku memutar sepeda lipat miniku dan langsung kembali mengayuhnya menuju rumah Rafiq.

Rafiq pernah berkata jika rumahnya tidak jauh dari rumah ketua RT di sini. Bahkan katanya bersebelahan dengan rumahnya. Tidak begitu sulit menemukan rumah Rafiq. Aku hanya mengikuti arah plakat kayu bertuliskan 'Ketua RT09' dan sampailah aku di depan rumah bercat krem cappucino sama seperti cat dasar masjid yang tadi.

Aku lihat dari depan, rumah Rafiq lebih bagus dari segi arsitektur jika dibandingkan dengan rumah kontrakan papa dan mama. Dari bentuk rumahnya, aku langsung tahu jika Rafiq adalah anak orang terpandang di desa ini.

Namun sayang, rumah ini terkesan sepi seperti sedang ditinggal pemiliknya.

Aku memberanikan diri mencoba memanggil nama Rafiq dari luar pagar.

"Ra~fiiiq." Seruku.

Tidak ada jawaban. Mungkin Rafiq tidak mendengarku.

"Raa~fiiiq." Seruku lebih keras.

Masih tetap sama. Tidak ada jawaban.

Aku akan memutuskan untuk pulang jika di pangilan ke tiga, Rafiq tidak menjawabku.

"Raaa~fiiiiq." Seruku semakin keras.

Cklek.

Aku kaget. Pintu rumah itu terbuka.

Tapi sayang, bukan Rafiq yang keluar. Aku yakin, itu pembantunya.

Ia berjalan mendatangiku.

"Dek Rafiq nya baru pergi sama bapak ibu." Kata wanita berpostur pendek itu dengan ramah. Aku tafsir, usianya sudah dua puluhan tahun.

"Oh. Ya sudah, makasih." Kataku.

Sekali lagi. Aku kecewa. Aku kembali beranjak mengayuh sepedaku pergi dari rumah Rafiq. Aku mau pulang saja.

Aku memang kecewa. Tapi di saat yang bersamaan, aku merasa lega karena Rafiq tidak pergi bersama dengan teman-temannya.

✿❀✿

Malamnya, aku berencana menemui Rafiq seusai ia menunaikan ibadah sholat tarawih seperti kemarin.

Tapi sebelumnya, aku terpaksa harus mengambil sedikit uang tabunganku dari celengan katak milikku. Aku ingin menggunakannya untuk membeli petasan. Ya, aku akan membelinya. Aku yakin, pasti Rafiq dan teman-temannya akan menyukainya jika nanti aku membawakan petasan untuk mereka.

Aku terpaksa mengambil uang tabunganku secara diam-diam karena papaku tidak memberiku uang untuk membeli petasan. Bahkan ia tidak menyetujui jika aku bermain petasan. Tidak akan pernah.

Shalom Aleichem Nui.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang