Salam 9.

131 10 1
                                    

[—Salam 9.]

Aku berbaring di atas kasur kamarku. Aku tidak sabar menunggu tibanya jam delapan malam. Aku tidak menyangka, Rafiq akan mengajakku langsung. Hatiku berbunga-bunga. Perhatianku kepadanya tidaklah sia-sia.

Aku masih tidak percaya, Rafiq seberani itu mengajakku untuk datang ke tempat sepi, pun aku dianjurkan untuk tidak bilang-bilang siapa-siapa katanya. Apakah ia memang merasakan apa yang selama ini aku rasakan? Maksudku, ia tahu bahwa aku berusaha menciumnya tempo hari, 'kan? Bahkan hampir kena bagian bibirnya.

Apakah ini hadiah dari Rafiq karena aku telah menemukan dompetnya?

Mungkin saja begitu.

Ah, aku tidak akan berkhayal yang tidak-tidak. Ia mengajakku untuk bertemu berdua dengannya saja, sudah membuatku kelinjangan setengah mati.

Aku memejamkan mataku. Waktu akan cepat berlalu jika aku melakukannya.

.

..

.

Jam tengah menunjukkan pukul delapan kurang lima menit. Aku sudah berada di depan pagar perkebunan milik ibunya Rafiq. Benar kata Rafiq, ia sudah membukakan gembok pagar kebun milik ibunya.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Suasana kebun terlihat sangat sepi. Bahkan aku tidak mendengar suara jangkrik sekali pun. Tenang sekali malam ini.

Aku memberanikan diri memasuki area perkebunan ini. Sedikit gelap di sini. Hanya ada cahaya remang-remang dari lampu bohlam yang ada di tepi perkebunan. Pun cahaya itu tidak mampu menerangi bagian tengah kebun.

Aku berjalan ke deretan bunga Baby Breath. Aromanya semakin wangi. Walau malam hari, kecantikan dari bunga ini tidak pudar.

Aku kembali menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari keberadaan Rafiq.

Aku berbisik memanggilnya. "Rafiq..." panggilku pelan.

"Hei, aku di sini. Nui. Ke sini." Pinta Rafiq.

Kulihat beberapa semak Baby Breath yang bergoyang-goyang. Aku mendatangi titik itu.

Betapa kagetnya ketika aku melihat apa yang tengah dilakukan Rafiq di sana. Cahaya lampu memang remang, tapi aku bisa melihat dengan jelas bahwa Rafiq sedang tidak mengenakan celananya. Celana pendek yang ia tanggalkan, berada tepat di sebelahnya. Ia duduk bersembunyi di antara rerimbunan bunga Baby Breath sambil memainkan kemaluannya.

Aku terdiam. Tidak bisa berkata-kata melihat apa yang tengah dilakukan oleh Rafiq. Aku menelan ludah. Sekujur tubuhku sudah berdesir. Adrenalin membanjiri seluruh nadiku.

"Cepat sini, nanti ada yang lihat." Kata Rafiq.

Aku menurut. Aku berjalan menyibak memasuki rerimbunan bunga Baby Breath. Di sana, aku benar-benar bisa melihat jelas kemaluan Rafiq yang sedang dimainkan olehnya.

"Hei, celanamu juga di lepas, Nui." katanya.

Tanpa ragu, aku menuruti pinta Rafiq untuk menanggalkan celanaku.

Rafiq tersenyum ketika melihatku sudah tidak mengenakan celana.

"Sini." Katanya.

Ia membimbingku agar kedua kakiku diletakkan di atas kedua pahanya. Menyuruhku untuk duduk berhadap-hadapan dengannya. Aku dengan lugu menuruti pintanya.

"Aku pegang punyamu ya. Nanti kamu pegang punyaku." Katanya. Aku mengangguk.

Tangan Rafiq dengan gemulai langsung memegang kemaluanku. Aku pun melakukan hal yang sama, memegang kemaluan Rafiq.

Shalom Aleichem Nui.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang