[—Salam 5.]
Hari Senin. Siang ini aku tidak ke mana-mana. Aku tidak keluar rumah seperti kemarin-kemarin. Aku merasa takut datang ke masjid untuk menunggu Rafiq mandi lagi. Ah, bahkan untuk sekedar berputar-putar dengan sepeda lipat miniku pun aku tidak berani.
Aku juga tidak berani untuk mendatangi perkebunan bunga milik ibunya Rafiq. Siapa tahu ada ayahnya Rafiq di sana. Aku tidak mau kena tegur lagi. Semalam aku merasakan, cara ayah Rafiq menatapku terkesan sangat dingin. Bahkan aku ingat, Rafiq sempat menoleh ke arahku untuk memastikan aku baik-baik saja.
Seharian aku hanya menonton televisi yang ada di dalam kamarku. Cukup membosankan, acara televisi di tahun 2019 ini. Di rumahku yang lama, aku biasanya menonton Youtube. Channel orang-orang yang melakukan ASMR, challenge, bermain game, sok-sok mengkritisi motif orang lain dan merasa paling benar serta menjadi smart people sendiri, unboxing gadget ini dan itu, pamer mobil ini dan itu, menggerebek rumah orang sambil teriak-teriak ashiaaap seperti orang yang hidungnya tersumbat sebelah—banyak lah yang aku tonton di sana. Sayangnya aku tidak bisa melakukannya di sini karena di rumah kontrakan ini papa tidak akan memasang perangkat wireless fidelity (wifi).
Akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar. Aku akan melakukan hal yang lebih postif lagi untuk mengisi liburanku—mencuci sepedaku.
Sayangnya, shampoo mobil yang biasanya dipakai papa untuk mencuci mobil, tidak dibawa dari rumahku yang lama. Papa juga belum membeli shampoo mobil lagi di tempat tinggal kami yang baru ini. Alhasil aku mencuci sepedaku menggunakan sabun pencuci piring dengan kekuatan 100 jeruk nipis. Aku sih suka, warna hijaunya begitu enak di pandang. Terkesan segar.
Sepeda lipat mini ini adalah hadiah kedua dari papaku saat aku berulang tahun kemarin. Ah kalian jangan menanyakan apa hadiah pertamanya. Aku juga tidak menyukainya. Menurut papa, pindah rumah itu adalah hadiah terbesarnya. Tapi aku sudah mengatakannya kepada kalian—itu hadiah terburuk sepanjang 10 tahun umurku.
Walau dengan sabun pencuci piring, ternyata hasilnya juga lumayan bersih. Paling tidak, sepeda lipat miniku sudah terhindar dari tempelan debu.
Melihat sepedaku yang menjadi mengkilap, aku menjadi tidak tahan untuk segera mengendarainya lagi.
Aku memutuskan untuk berkeliling lingkungan tempat tinggalku. Tidak apa. Aku tidak akan berputar-putar di area halaman masjid atau di sekitar perkebunan bunga milik ibu nya Rafiq.
Dari kejauhan, kulihat pembantunya Rafiq sedang berjalan pulang dari berbelanja di warung dekat masjid. Aku iseng memberanikan diri bertanya kepadanya.
"Rafiqnya ada di rumah enggak?" tanyaku.
"Oh, Dek Rafiq nya lagi mancing tuh sama temen-temennya." Katanya. Itu benar-benar membuatku terkejut.
"Mancingnya di mana?" tanyaku.
"Di kanal tengah sawah sana. Di gapura masuk desa ini, adek belok kanan saja, tidak usah menyeberang jalan. Sawahnya ada di sebelah kanan kok. Di tengah sawah itu ada kanal sungai. Dek Rafiq di sana sama temen-temennya." Katanya menerangkan di mana keberadaan Rafiq dengan rinci.
"Oh ya, makasih ya." Kataku seraya beranjak mengayuh sepedaku.
Aku ingin menyusul Rafiq. Kanal sungai. Air. Bisa saja Rafiq dan teman-temannya sedang mandi di sana dan bukannya sedang memancing, 'kan?
Aku biasa melihat acara televisi tentang bocah yang suka berpetualang dengan teman-temannya. Dan ketika bertemu air—dalam hal ini sungai, atau laut, mereka selalu bermain dan berenang di sana. Iya 'kan? Paling tidak aku harus berada di sana untuk memastikan (atau melihat) bahwa Rafiq tidak melakukan 'eaa eaa' kepada teman-temannya. Atau sebaliknya, aku tidak mau (atau ingin melihat) teman-teman Rafiq melakukan 'eaa eaa' kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shalom Aleichem Nui.
Romance#1 on Kecil [25 Jul. 2019] #1 on Kecil [14 Aug. 2019] #1 on Kecil [1 Sept. 2019] #1 on Lebaran [4 Sept. 2019] #1 on Lebaran [1 Okt. 2019] #1 on Kecil [11 Nov. 2019] #1 on Kecil [24 Des. 2019] "Kalian pasti bisa dengan mudah mendapatkan sebuah salam...