BAB 6

82 12 12
                                    

"Thara udah tidur?" tanya Andi sepuluh menit setelah ia menunggu kedatangan Ferdi di ruang tamu.

"Udah, Kak. Itu ... kok bisa Thara ditempelin dari sekolah?" tanya Ferdi tak mengerti.

"Kayanya, dari yang murid tadi gue tolongin. Pindah ke Thara. Tapi ngga tau juga. Karena bentuknya sama semua. Kuntilanak," jelas Andi.

"Kok lu bisa tau Thara diambil alih gitu?" nampaknya Ferdi masih penasaran hingga beberapa pertanyaan muncul di benaknya.

"Fer, setiap orang indigo memiliki kelebihan dari matanya. Ia bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang pada umumnya. Karena kuntilanak tadi mendiami tubuh Thara di sekolah, gue ngga berani tanganin dia gitu aja. Walau pada akhirnya akan menguras energi Thara karena energy dia terserap banyak sampai perjalanan pulang. Tapi itu akan lebih aman daripada gue keluarin di sekolah dan malah membuat banyak setan-setan lain bermunculan dan memakai tubuh Thara sebagai mediasi komunikasi mereka," terang Andi.

"Ini yang sebenernya saya khawatirin dari dulu, Kak. Saya kasihan karena Thara ngga punya pelindung. Rasanya saya ingin menggantikan posisi Thara," ujar Ferdi.

"Halah, ngga usah sok jagoan. Emang lo berani lihat setan berdarah sampai yang tubuhnya hancur?" ucapan Andi membuat Ferdi tergelak.

"Ya...," Ferdi menggaruk tengkuknya, "engga sih, Kak."

Andi bangkit dari sofa hijau metalik milik keluarga Thara. "Saran gue, semakin cepat lo bawa Thara ke rumah gue, lebih baik." Andi memacu mobilnya keluar dari kediaman yang cukup megah tersebut.

***

"Tolong! Siapapun yang ada di sana tolong keluarkan kamiii." gemuruh suara-suara yang memekakan telinga membuat Thara terbangun dari tidurnya.

Sandra? pikir Thara

Ratusan tawanan yang berbaju lusuh berjongkok di hadapannya meminta ampun dan pertolongan dari sekapan para prajurit berseragam hijau tua tersebut. Belasan penjaga yang sudah memegang cambuk dan senapan sial menyiksa para tawanannya.

Pletasss! Suara cambukan yang dipukulkan pada tawanan membuat suara tangisan dan ampunan semakin memekakan telinga Thara. Ia bangkit dari tempatnya tidur dan berlari menuju tengah-tengah tawanan.

"Berhenti, jangan siksa mereka! Memang kalian mau dicambuk juga hah?" teriakan Thara nampaknya tidak diindahkan oleh para prajurit tersebut. Dengan nekat ia berdiri di depan prajuri berniat mengambil cambuk yang digenggam erat. Namun, semua itu hanya angan belaka. Tangannya tak dapat menyentuh apapun yang ia raih.

"Mengapa semuanya tembus, apakah aku sudah mati?" Thara terdiam dan menatap kedua telapak tangannya dengan pandangan kosong.

Suara tangisa, cambukan, dan suara pistol bergabung menjadi satu. Thara tak dapat bendungan air matanya melihat pemandangan mengerikan tepat did epan matanya. Ia terduduk di tempat, merasa tak berguna karena tidak dapat membantu apapun.

Aku tak kuat bila harus melihat semuanya, tangisan Thara semakin pecah ketika genangan darah mengalir di lutut membasahi celana tidurnya, hentikan semuanya kumohon!

Aura hitam menyedot Thara menuju dimensi lain, di mana ia terduduk di sebuah gua yang tak cukup penerangan. Kejadian demi kejadian yang tak seharusnya dilihat oleh seorang gadis belia berumur lima belas tahun, ada di depan matanya saat ini. Para perempuan seumurannya yang diperkosa dengan sadis oleh para prajurit berseragam, laki-laki yang menjadi budak prajurit di borgol kakinya disertai besi bulat besar untuk mencegahnya kabur.

"Apa yang kamu lihat, hanya sebagian dari kemampuan kamu. Kemampuanmu yang sesungguhnya belumlah muncul sepenuhnya. Jika kau sudah bisa mengontrol ketakutanmu, semua yang kau lihat akan menjadi penolong bagi orang lain. Teruslah belajar dan berkembang."

Suara berat yang serupa dengan kakek-kakek terdengar sangat jelas di telinga Thara.

"Siapa kamu?"

Tak ada jawaban.

* * *

"Thar, bangun hei!"

"Hah?" Thara terkejut dan terduduk di tempat tidurnya. Matanya menatap abangnya yang sudah rapi dengan seragam membuatnya tersadar.

"Buruan, nanti telat!"

Dengan segera, Thara mengambil handuk dan berlari menuju kamar mandinya.

"Mimpi buruk, hum?" tanya Ferdi ketika adiknya telah duduk bersamanya untuk sarapan.

Thara hanya menggelengkan kepalanya. Bahkan gue sendiri masih belum paham apa arti mimpi gue.

Setelah menghabiskan waktu selama lima belas menit untuk sarapan dan sepuluh menit untuk sampai di sekolah, Thara dan Ferdi segera menempati tempat duduknya.

"Eh lo kemaren diganggu ya, Thar?"

"Astagfirullah, Mon. Dateng tuh ucap salam, jangan main nanya doang," kesal Thara.

"Ada si Mona, Thar?" Ferdi kebingungan.

"Heeh tuh," Thara mengarahkan matanya pada keberadaan Mona yang tak sendiri, ia membawa temannya. "Iya, kenapa?"

"Nih dalangnya," Mona mencolek entitas di sebelahnya, "Minta maaf heh!"

"Hmm, maaf, ya. Aku kira kamu itu murid nakal yang Mona certain ke aku. Jadi aku maksa masuk," ujar entitas di sebelah Mona.

"Hmm... ngga apa-apa sih. Cuma lain kali, jangan pernah isengin siapapun ya?" kata Thara berbaik hati.

Anjir ini adik gue ngomong apaan sih? batin Ferdi bingung.

"bang, ngga usah tanya-tanya ya, gua lagi males jawab pertanyaan orang." Thara menelugkupkan kepalanya di kdua tangan yang ia letakkan di ats meja. Memang tiada nikmat yang bisa menandingi kegiatan kesukaannya, tidur.

* * *

"Gimana keadaan lo?"

"Sehat, Kak. Makasih ya udah nolongin saya kemarin," ujar Thara berterima kasih.

Thara menyusuri koridor berdampingan dengan Andi karena pertemuan mereka di kantin.

"Pulang sekolah jadi 'kan kerumah gue?"

"Jadi, Kak. Nanti kalau sudah bel, saya tunggu di kantin ya, Kak."

"Ngga usah, kamu tunggu aja di kelas. Nanti saya yang ke situ."

* * *

Jika kalian suka dengan karyaku jangan lupa divote dan dikomen, kenapa kalian suka dengan ceritaku. Dan komen juga kalau kalian ngga suka sama ceritaku, sertai asalannya. Agar penulis bisa memperbaiki diri baik dari karakter tokoh, alur cerita, sampai penggunaan EBI. Penulis akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari para pembaca.

CylerisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang