BAB 10

65 5 2
                                    

"Saya di mana ya, Pak?"

"Kamu di rumah Andi, saya ayahnya."

"Ahh, terima kasih banyak, Pak." Thara bangkit dari posisi tidurnya dan duduk menghadap Adit. Tak lupa ia menyalami Adit. "Abang saya di mana ya, Pak?"

"Mereka sedang dalam perjalanan ke sini. Malam ini, kamu berdua menginap dulu di sini, ya? Ada beberapa hal yang mau saya tanyakan sama kamu," jelas Adit.

"Oh begitu, iya, Pak. Apa yang mau bapak tanyakan?"

"Apa kamu indigo sejak lahir?"

Thara menggelengkan kepalanya seraya berkata, "Kecelakaan saya sewaktu SMP yang membuat saya bisa melihat mereka."

"Apa sebelumnya kamu sudah melalukan rukiyah atau ritual pembersihan lainnya?"

"Belum, Pak. Karena saya juga ngga ada kenalan orang seperti itu," ujar Thara.

"Untuk sementara waktu, kamu akan ditemani sama Andi. Karena kamu masih butuh belajar mengendalikan kekuatan dan energi kamu. Andi akan bantu bimbing kamu selama di sekolah. Tapi, kalau nanti ada sesuatu yang benar-benar membahayakan, langsung laporkan sama saya, ya?"

"Iya Pak," Thara mengangguk mengerti, "lalu untuk sekarang apa ada ritual khusus yang saya harus lakukan?"

"Thar, sebenernya ini bukan ritual aneh-aneh. Kamu cukup dzikiran sepanjang malam untuk nguatin diri kau sendiri," terang Andi.

Ferdi menatap adiknya, "Ngga usah takut, banyak yang jagain kamu kan di sini, Thar."

Thara mengangguk mantap, "Apa aja yang harus saya lakukan, Pak?"

"Kamu ambil wudhu, sholat seperti biasa. Lalu setelah sholat, kamu dzikir sampai subuh. Jangan melakukan aktifitas lain selain berdoa dan minum air yang ada di depan kamu." Adit mengambil sepasang mukena dari laci meja yang berada di sampingnya tersebut.

"Kalau saya ketiduran atau terganggu hal lain gimana?"

"Andi dan Ferdi akan temani kamu," jelas Adit.

* * *

"Kak, gue takut," bisik Thara.

"Benerin dulu itu karet mukenannya," tegur Ferdi.

"Kamu sholat aja dulu, habis itu kita dzikir sama-sama sampe' subuh, tenang aja," ucap Andi menenangkan.

Setelah Thara menyelesaikan ibadah sholat Isya-nya, ia duduk dengan posisi sila di atas sajadah dengan posisi ia ditengah-tengah Andi dan Ferdi.

"Kamu baca Al-Fatihah satu kali, Al-Ikhlas tiga kali, An-Naas dan Al-Falaq satu kali. Lalu teruskan dengan dzikir, bisa hamdalah atau istigfar. Itu teserah kamu, akan lebih baik kalau dibaca semua. Jangan lupakan shalawat nabi ya. Niatkan dalam hati, minta perlindungan, kekuatan, dan pengontrolan emosi serta energi kamu." Andi menjelaskan.

"Lalu saya ngapain, Bang?" tanya Ferdi.

"Sama, tapi ganti aja niatnya. Minta perlindungan buat Thara," jawab Andi.

Tiga jam berlalu, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tak ada tanda lelah atau keinginan untuk berhenti di raut wajah Thara. Andi yang senantiasa memantau ekspresi kedua adik kelas yang baru ia kenal beberapa hari itu, ikut serta membantu doa-doa mereka.

Apakah kamu mau? batin Andi bertaya.

Dia akan mendapatkannya, nanti. Pada saatnya. balas sebuah suara di pikirannya.

Pukul dua belas malam, posisi duduk Thara dan Ferdi mulai terlihat banya pergerakan. Lantas Andi berkata, "Thar, Fer, buka mata kalian. Minum dulu."

Thara dan Ferdi sontak membuka mata dan mengambil sodoran gelas berisi air putih dari tangan Andi.

"Jam berapa, Kak?" tanya Thara setelah menghabiskan seluruh isi air dalam gelas miliknya.

"Baru jam dua belas, masih kuat?"

"Kuat ngga kuat mah harus lanjut terus, 'kan?"

"Iya juga sih," tawa renyah dari bibir Andi, "istirahat dulu aja sebentar, renggangin badan. Abis itu kita lanjut lagi.

Setelah menghabiskan waktu selama kurang lebih lima belas menit, Thara, Ferdi, dan Andi kembali bergulat dengan doa-doa agar dijabah oleh yang maha kuasa.

* * *

Adzan shubuh berkumandang, pertanda dzikir ketiga remaja tersebut sudah berakhir.

"Astagfirullah pegel," keluh Thara merenggangkan badannya.

"Wajar, manusiawi pegel mah," balas Andi.

"Wudhu lagi ngga nih?" tanya Ferdi sembari berdiri dan menggerakkan pinggulnya.

"Iyalah, Sumanto!"

Ferdi dengan segera berlari menuju tempat wudhu di sebelah ruangan khusus doa tersebut.

Sholat shubuh dipimpin Andi di ruangan tersebut. Setelah selesai, ketiga remaja tersebut beristirahat di sofa ruang tamu.

"Gimana, Thar, apa yang kamu rasain?" tanya Andi sembari berbaring di atas karpet.

"Pegel."

"Astagfirullah, bukan rasa fisik. Sabar gue sabar," keluh Andi.

"Ehe, enak sih, Kak, jadi lebih tenang dan plong aja gitu rasanya," jawab Thara.

"Udah, pada istirahat aja. Nanti kalian gue yang izinin."

"Loh, lo gak sekolah, Bang?"

"Ya ... enggaklah, ngantuk bos." Andi pun terlelap dalam mimpi indahnya bersama Ferdi yang berada tepat di sebelahnya.

Disusul Thara yang memejamkan matanya perlahan. Semoga setelah ini semua akan lebih baik lagi, Tuhan.

* * *

"Banggg! Ini kolor Boboiboy lu kenapa nyangsang di laci gue sih? Ternodai nih Conan gue, ih," gemas Thara melihat kolor bergambar Yaya dari seri animasi kartun Boboiboy itu ada di laci celana pendek miliknya.

"Ih jangan di lempar, nanti Yaya nangis. Kayak Mei-Mei ditolak Mail, malah suka sama Susanti." Ferdi sigap mengambil kolor kesayangannya itu dari tangan Thara.

"Dasar, doyan kok sama kartun, ngga sekalian sama loli, hah?" balas Thara memeletkan lidahnya.

"Dih dasar wibu!" 

* * *

Jika kalian suka dengan karyaku jangan lupa divote dan dikomen, kenapa kalian suka dengan ceritaku. Dan komen juga kalau kalian ngga suka sama ceritaku, sertai asalannya. Agar penulis bisa memperbaiki diri baik dari karakter tokoh, alur cerita, sampai penggunaan EBI. Penulis akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari para pembaca.

CylerisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang