● epilog

2.4K 422 33
                                    

Seminggu berlalu sejak Mark kembali dari Vatikan. Dia sudah tampak jauh lebih baik. Meskipun sakit, tapi dia berhasil menekan ambisinya untuk membangunkan Irene.

Karena pada kenyataannya, dia memang tidak bisa.

Luna pun juga begitu, dia sudah jauh lebih baik meskipun masih diwajibkan untuk rawat inap. Semua fakta tentang kaburnya Luna ke Vatikan sudah tertutup rapi oleh Rosé, dan semuanya dia alihkan pada isu tabrak lari.

Oke, Rosé is a master. Bahkan dia bisa melunakkan sifat Erica dan Haechan sehingga dua orang itu memanggil Mark sebagai 'saudara'—yah, pada kenyataannya mereka memang bersaudara.

"Cepet sembuh," ucap Taeil saat berkunjung ke rumah sakit dimana Luna dirawat. "Mama mu tadi titip ini," katanya sambil meletakkan kotak makan berisi kimbab kesukaan Luna.

"Cie, pacaran ya sama mama?" goda Luna. Kematian tidak membuatnya terlahir kembali sebagai seorang gadis yang lebih manis.

"Enggak. Cuma dititipin," kilah Taeil. "Nanti dia dateng kesini juga."

"Permisi."

Mark mengetuk pintu, membuat Luna dan Taeil serempak menoleh.

"Oh, Mark, ya? Silakan masuk," kata Taeil.

Mark masuk, menyunggingkan senyum kecut pada Taeil yang masih menatapnya dengan senyum merekah.

"Ngg.. gimana kabarmu?" tanya Mark. "Sorry aku baru sempet jenguk sekarang."

"Gak papa, lagian aku udah jauh lebih baik," jawab Luna.

"Bapak keluar dulu, ya?" pamit Taeil. "Kalo mau makan, bagi-bagi juga sama Mark, jangan dimakan sendiri."

"Iyaaaaaaa, ih," celetuk Luna.

Taeil tersenyum lebar. Dan setelah mengacak rambut Luna gemas, akhirnya dia keluar dari ruangan.

Tapi yang terjadi justru Mark dan Luna saling diam. Tidak biasanya Luna seperti ini, tapi Mark yang diam di tempat justru membuat jantung Luna ingin meloncat keluar.

"Wanna take a walk?"

"How?" tanya Luna. Matanya melirik kakinya yang dipasangi gips karena mengalami patah tulang.

Mark memutar badan, lalu berdecak saat melihat kursi roda di sudut ruangan. "Pake itu," katanya.

"Percuma aku gak bisa naik kesana," kilah Luna.

"Kan ada aku?"

Luna melongo.

Mark menghela nafas, tanpa berbicara dia mendorong kursi roda itu ke samping ranjang Luna.

"Ayo," ujar Mark sambil mengulurkan tangannya.

Jantung, tenang.. jantung, tenang.. jangan loncat-loncat nanti jatoh!

"Sorry," ujar Mark karena Luna tidak kunjung merespon. Dengan hati-hati dia menggedong Luna lalu menurunkannya di kursi roda. Tidak lupa dia mengambil selimut Luna, melipatnya lalu menutupkannya pada kaki gadis dengan wajah merah padam itu.

"Nah, let's go."

° Black Dog °

Tidak jauh Mark membawa Luna pergi, hanya ke taman rumah sakit. Dengan sekotak susu pisang di tangan, keduanya asik menikmati pemandangan di sana. Sesekali Luna menyapa anak-anak yang berlarian di sana, dan dia tertawa saat seorang anak tiba-tiba berlari ke arahnya lalu memberinya sebungkus permen coklat.

"Kamu lumayan populer, ya?" kekeh Mark.

"Gak juga," ujar Luna. "Lagian ini baru pertama kalinya aku keluar setelah seminggu dirawat."

Mark mengangguk-aggukkan kepalanya, lalu menyedot susu pisang di tangannya hingga habis.

"Sorry," kata Mark kemudian.

"Gak papa, lagian ini gak jauh keluarnya."

"Bukan itu."

"Terus?"

Mark terdiam lagi. Tangannya menggosok canggung yang membuat tengkuknya terasa berat.

"Seminggu yang lalu, aku bikin kamu dalam bahaya. Bahkan.. kamu.." Mark tidak bisa meneruskan kalimatnya. Terlalu sulit.

"Gak papa, lagian kan itu kecelakaan. Bukan gara-gara kamu."

Mark sedikit terkejut mendengar penuturan Luna. Sedetik kemudian dia ingat, iya, Rosé memanipulasi semuanya. Yang Luna tahu, dia berakhir dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan, bukan karena kabur ke Vatikan demi membawa pulang Mark yang bodoh dan keras kepala.

"Yah, anyway, makasih," ujar Mark kemudian.

"Buat apa?"

"Yah.. just.. thank you."

Luna tertawa. "Kamu aneh."

Mark tersenyum kecut. Dia menyilangkan kakinya lalu membuang nafas panjang.

"Besok, aku mau pergi."

"Hah? Kemana?" tanya Luna. Dia menatap Mark terkejut, sedangkan Mark terkekeh. Dia sudah memperkirakan bagaimana ekspresi Luna kalau dia mengatakan ini.

"Los Angeles."

"Kenapa?"

"Biar gak kepikiran sama kamu terus."

Luna menahan nafasnya.

"Enggak, enggak, aku bercanda," kata Mark sambil menahan tawa. "Why do you make that ugly face while I'm talking this little thing?" ejeknya.

"Berisik!"

Dan Mark semakin tertawa.

"Tapi, kenapa kamu pindah? Emangnya disini gak enak?"

"Iya, ada kamu soalnya," jawab Mark

"Ck, serius!"

"Iya, aku serius," ujar Mark. "Soalnya kalo disini aku gak bisa tenang."

"Kenapa? Gara-gara gak ada mama kamu?"

"Aku udah ngerelain dia pergi," kata Mark.

"Terus?"

Mark menghela nafas. "Kamu bilang, kamu pengen jadi alasan buat aku tetep bertahan hidup, kan?"

Luna mengangguk kaku.

"I think.. staying away from you will make me survive."

"Hah?"

Mark tidak menjawab, hanya memandang Luna lamat.

Ya, hanya begitu cara Mark untuk membuat Luna tetap aman. Mungkin sekarang UnderGround tidak mengejarnya, tapi itu tidak menjamin bahwa Luna tidak dalam bahaya. Apalagi sekarang Mark harus menjaga Erica yang Mark yakini sedang dicari oleh UnderGround karena urusan mereka dengan Queen belum selesai.

Mark tidak mau Luna berada dalam bahaya. Mark tidak mau kehilangan Luna lagi. Meskipun tidak bersama, setidaknya Mark tahu kalau Luna aman. Itu sudah cukup. Sangat cukup.

"Someday, if the world becomes better, I'll come back to you."

Luna mematung, dia tidak bisa berbuat apa-apa saat wajah Mark semakin mendekat.

"Stay safe, keep being my reason to live because I love you."

° Black Dog °








scroll down (again), there's a bonus chapter waiting to be read.

[2] Black Dog ; Mark Lee ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang