Hanbin POV
"Ah, besok adalah hari yang melelahkan, tapi pasti juga akan menyenangkan.", kata Jennie sambil membaringkan tubuhnya diranjang.
"Eoh, mungkin malam ini juga akan melelahkan dan lebih menyenangkan daripada hari esok.", kataku sambil menghampiri Jennie.
"Hng? Lagi? Kau membahas yang tadi lagi kan? Sungguh, aku tak mengerti. Apa maksudmu sebenarnya? Lelah kenapa? Dan menyenangkan seperti apa?", tanya Jennie bertubi - tubi.
Aku hanya terkekeh. Sepolos inikah istriku? Atau dia hanya pura - pura? Sungguh, aku jadi gemas.
"Oppa, mengapa kau tak menjawabnya? Cepat beritau aku.", rengek Jennie karena terlalu penasaran.
Kini posisiku ada diatas Jennie, aku mendekatkan wajahku padanya.
"Yak! Apa yang akan kau lakukan, oppa?", teriak Jennie sambil mendorong wajahku.
"Cih, ketampananku bisa hilang jika kau menyentuh wajahku seperti itu.", kataku.
"Itu salahmu. Mengapa kau seperti ingin menciumku?", tanya Jennie.
"Memang.", jawabku singkat.
"Mwo?", tanya Jennie terkejut.
"Apa aku salah mencium istriku sendiri? Lagi pula bukankah kau ingin tau permainan apa yang aku dan Haru maksud tadi? Yah, begitulah pemanasannya.", kataku.
"Em, me ... me ... memang tak salah. Ta ... ta ... tapi, aku malu.", kata Jennie dengan terbata.
"Aigoo, kau malu? Mengapa harus malu? Bukankah aku pernah menciummu? Bahkan itu sebelum kita menikah. Sebelum kita tau bahwa ternyata kita bukan saudara kandung.", kataku.
"Eoh, kau pernah menciumku sebelum kita menikah. Ais, kau tak tau apa yang kurasakan dulu ketika kau bersikap manis padaku.", kata jennie.
"Memang apa yang kau rasakan?", tanyaku penasaran.
"Kau penasaran?", tanya Jennie sambil tertawa.
"Hem, sangat penasaran.", kataku.
"Tentu saja aku senang. Jantungku berdetak sangat kencang. Dan saat itu juga, aku selalu berharap bahwa kau melihatku sebagai gadis yang kau cintai bukan sebagai seorang adik.", kata Jennie.
Aku tersenyum mendengar ucapan Jennie.
"Yak! Jangan tersenyum seperti itu!", kata Jennie.
Tapi, aku masih saja tersenyum padanya.
"Wae?", tanyaku.
"Kau terlihat sangat tampan.", kata Jennie malu, lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Apa kau baru sadar? Suamimu ini memang sangat tampan.", kataku dengan percaya diri.
"Cih, eoh kuakui kau memang sangat tampan.", jawab Jennie singkat sambil menurunkan tangannya dari wajahnya.
"Apa kau ingin memiliki anak laki - laki?", tanyaku.
"Mwo?", Jennie terkejut dengan pertanyaanku.
"Atau anak perempuan?",tanyaku lagi.
"Yak! Mengapa tiba - tiba kau bertanya seperti itu?", tanya Jennie.
"Memangnya kenapa?", tanyaku.
"Aku ingin anak perempuan, dia pasti akan cantik sepertimu.", kataku.
"Aku ... aku ... aku ingin anak laki - laki. Aku ingin Hanbin junior. Dan itu tak hanya satu. Aku ingin memiliki banyak Hanbin lagi suatu saat.", kata Jennie.
"Eoh, jinjja? Apa satu Hanbin saja tak cukup?", tanyaku.
"Hem, aku ingin memiliki banyak laki - laki dirumah. Jika aku menikah lagi, kau pasti tak akan mengizinkanku kan? Jadi, aku ingin memiliki banyak anak laki - laki. Jika sanggup, aku ingin memiliki 10 Hanbin lagi.", kata Jennie.
"Yak! Nappeun yeoja! Tentu saja aku tak mengizinkanmu menikah lagi. Bahkan kau hanya melirik Haru saja, aku tak mengizinkannya.", kataku serius.
"Ais, padahal dia kan adikmu? Dia adalah adikku juga. Tentu saja aku tak akan meliriknya. Aku tak akan selingkuh darimu, oppa. Dengan siapapun itu, aku tak akan pernah selingkuh darimu. Percayalah.", kataku.
"Hem, aku akan percaya padamu.", kataku.
"Ngomong - ngomong, apa kau benar - benar serius ingin memiliki 10 anak laki - laki?", tanyaku.
"Hem, jika sanggup. Aku sangat ingin.", jawab Jennie.
"Aku sanggup, Jen.", kataku semangat.
"Yak! Pabo! Kau mungkin sanggup membuatnya, tapi akankah aku sanggup melahirkannya?", kata Jennie kesal.
"Tentu saja kau sanggup. Kau kan wanita yang kuat.", kataku.
"Cih, kau bilang seperti itu agar aku mau melakukannya berkali - kali. Begitu kan?", tanya Jennie.
"Em, yah itu benar.",kataku, lalu tertawa terbahak - bahak.
Entahlah, kurasa diriku benar - benar lucu. Aku menertawakan kemesumanku sendiri.
"Kau memang gila, oppa.", kata Jennie.
"Jika aku gila, mengapa kau mau menikah denganku?", tanyaku.
"Karena aku sudah terlanjur jatuh cinta padamu, pria gila.", kata Jennie.
"Yang terpenting aku ini tampan.", kataku dengan percaya diri.
"Terserah apa katamu. Aku ingin tidur.", kata Jennie.
"Andwae!",tahanku.
"Wae?", tanyanya.
"Aku ingin.", kataku tiba - tiba.
Kupikir, kami memang harus melakukannya malam ini juga.
Jennie tersenyum. Tak lama, Jennie mengalungkan tangannya dileherku. Dia menarikku mendekat. Dan dapat kurasakan bibirnya menyentuh bibirku."Apa ini artinya aku boleh melakukannya?", tanyaku sedikit ragu saat kami sudah melepas tautan bibir kami.
Tapi, Jennie malah tersenyum.
"Yak! Jawab aku, Jen.", kataku penasaran.
"Eoh, lakukanlah.", kata Jennie mengizinkan.
Setelah mendengar jawaban Jennie, aku langsung menjalankan aksiku. Inilah malam yang kutunggu.
"Gomawo, Jen.",kataku.
"Saranghae.", lanjutku lalu mencium kening Jennie.
"Nado saranghae.", jawab Jennie.
Hanbin POV End
.
.
THE END.Gimana bonus part 4nya all? 😁
Gak kerasa, bonus partnya juga dah tamat. 😁
Jangan lupa vote ya sebagai tanda kalian dukung aku. 🙏🏻
Bagi yang belom follow aku, tolong follow ya. 🙏🏻
Gomawo, all.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Destiny
FanficTak ada satupun manusia yang mengetahui takdir hidupnya , termasuk tentang jodoh. Kim Hanbin dan Kim Jennie, seperti apakah takdir mereka yang sebenarnya? Sudah sejak lama, mereka ditakdirkan menjadi adik dan kakak. Tapi, apa memang itu takdir merek...