11

10 2 0
                                    

Aeri :
D, lo dimana?

Dean :
KEPO. Kenapa?

Aeri :
Aladdin yukkk
Penasaran banget dd :(

Dean :
Elah segitu lo apal banget ceritanya. Tontonan lo waktu kecil juga.

Aeri :
Beda ih :( ayooookkkk

Dean :
Yah, sorry. Gue gak bisa.

Aeri :
Kenapa? Ada acara? Ayolaaahhh Dean

Dean :
Sama Gery atau Gio gih.

Aeri :
Umm ...

Aeri melempar ponselnya ke atas kasur. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin rias. Tanpa ekspresi, namun sinar kecewa tampak jelas di sorot matanya. Menghela napas, Aeri menangkup kedua pipinya. Ia berusaha mengingat sikap Dean belakangan ini, cowok itu terasa semakin jauh saja. Entah apa alasannya, namun dengan jelas menyakiti Aeri.

Keinginan Aeri untuk menonton Aladin sirna begitu saja usai Dean menolak menemaninya. Rasanya ia menjadi enggan melakukan apa pun dan hanya ingin bergelung di dalam selimut dengan sekotak es krim sambil menonton netflix.

Dering telpon menyadarkan Aeri yang sedang meratap. Ia dengan enggan beranjak dari kursi rias dan mengambil ponselnya yang terselip di antara banyaknya boneka di atas kasur.

Gery.

"Apaan sih?" sembur Aeri begitu mengangkat telepon Gery.

Gery menggerutu pelan. "Ngegas ae mbak!"

Aeri menghela napas. "Gue lagi badmood, Ge."

Terdengar tawa Gery dari seberang jaringan telepon. "Mbak kok badmood mulu, sih?"

Aeri mendengus mendengar godaan Gery. "Stop it, Ger. I'm not in a mood to argue with you."

Hening sebentar hingga Gery kembali bersuara. "Gue jemput ya? Bye."

Telepon dimatikan. Aeri memandang layar ponselnya yang kini menunjukkan jam dan beberapa notifikasi. Ia bahkan belum menjawab ucapan terakhir Gery dan cowok itu langsung memutuskan begitu saja. Membuatnya bertambah kesal, ingin memaki cowok itu.

Tidak lama kemudian, sekitar tiga puluh menit, suara klakson terdengar dari depan rumah Aeri. Cewek itu menggeram kesal sambil menutup keseluruhan tubuhnya dengan selimut. Ia memilih untuk mengabaikan Gery, lagipula jika cowok itu terus menekan klakson siap-siap saja dimarahi tetangga dan diseret paksa satpam keluar dari komplek.

Ponsel Aeri berdering di atas nakas samping ranjangnya. Aeri memilih mengabaikannya, berharap dengan begitu Gery capek sendiri dan menyerah. Namun, lima menit berlalu dan tidak ada tanda-tanda ponselnya akan berhenti berdering.

Menggeram kesal, Aeri menyambar teleponnya dan menjawab panggilan Gery. "Berisik! Bisa diem gak sih?"

"Buruan siap-siap," balas Gery santai. Bersamaan dengan itu, pintu kamar Aeri terbuka dan Gery berdiri di ambang pintu dengan senyum menyebalkan di wajahnya, tangannya memegang ponsel ke kupingnya.

Aeri menggeram kesal, lantas melemparkan boneka panda kepada Gery yang dengan mudahnya cowok itu hindari dan kemudian melenggang ke ruang keluarga sembari berteriak menyuruh Aeri bersiap-siap. Meski enggan beranjak dari kasur, Aeri memutuskan untuk bersiap-siap karena mempertimbangkan Gery yang sudah jauh-jauh menghampirinya. Memang, Gery dan Gio sudah tidak tinggal di komplek yang sama dengannya dan Dean, Gio sejak SD sudah pindah ke komplek perumahan yang Aeri sebut sebagai puncak tertinggi kalangan elit, sedangkan Gery baru awal semester 2 kelas X tahun ini ke komplek perumahan yang lebih dekat dengan sekolah.

"Kita mau kemana?" tanya Aeri saat Gery memberikannya helm dan memakainya.

"Anter gue beli sepatu futsal dulu ya, udahnya terserah lo mau ngapain," jawab Gery sambil membantu Aeri yang kesusahan memasang kunci helm.

Mendengar ucapan Gery, Aeri tersenyum lebar. "Okay," ucapnya dengan ceria, lantas menaiki motor tinggi Gery dengan menumpukan berat badannya kepada pundak Gery lewat kedua tangannya.

Usai memastikan Aeri sudah duduk dengan nyaman, Gery melajukan motornya. Terkadang dengan jahilnya ia menambahkan kecepatan motornya dan hanya memelankannya ketika Aeri berteriak histeris menyuruhnya berhenti sambil memeluk erat tubuhnya.

"Gery bangsat!" maki Aeri sambil berusaha turun dari motor begitu motor Gery sudah berhenti di basement mall. Kakinya gemetaran dan ia memilih berjongkok sebentar di samping motor Gery, menunggu agar kakinya tidak lagi terasa seperti jelly dan mengumpulkan nyawanya yang terasa melayang.

Gery tertawa terbahak-bahak melihat wajah pias namun cemberut Aeri. Ia melepas helmnya sebelum ikut berjongkok di samping Aeri, membantu melepas helm cewek itu dan merapikan rambut Aeri dengan tangannya sebisanya.

Berhubung Aeri yang terus-terusan berada dalam mode ngambek, Gery menunda dahulu rencananya membeli sepatu futsal. Ia akhirnya berbelok ke salah satu kedai ice cream kenamaan, membelikan Aeri ice cream sebanyak yang cewek itu mau.

"Udah dari sini, gue pen boba ya, Ger."

Gery hanya mengangguk mengiyakan begitu mendengar permintaan Aeri. Setidaknya wajah cewek itu tidak lagi memasang ekspresi masam andalannya.

Dengan boba di tangannya, Aeri berjalan beriringan dengan Gery ke toko sepatu futsal. Kakinya bergerak mengikuti langkah Gery yang mondar-mandir mencari sepatu yang cocok.

"Gimana, Er?" tanya Gery sambil menunjukkan sepatu futsal pilihannya.

Sambil menyedot bobanya, Aeri memperhatikan sepatu pilihan Gery. "Not bad, it suits you."

Gery tersenyum sumringah mendapat respon positif atas sepatu pilihannya. Ia lantas memberikan sepatunya ke pelayan untuk ia bayar di kasir.

"Mau nonton gak?" tanya Gery sambil merangkul Aeri ketika keduanya berjalan keluar dari toko. Tangan kanan Gery membawa kantong keresek berisi dus sepatu futsalnya.

"Ayok," jawab Aeri antusias. "Pengen nonton Aladdin tapinya," lanjutnya lagi begitu terlintas kemungkinan Gery yang ingin menonton film action atau film-film lain yang romansanya tidak terlalu kentara.

"Ya udah ayok," ucap Gery sambil menarik tangan Aeri memasuki lift yang kebetulan pintunya sedang terbuka.

Mereka sampai di lantai teratas Mall yang merupakan lantainya foodcourt, arena bermain, juga bioskop. Begitu melihat antrian di loket tiket yang panjang, Gery langsung menyerahkan ponselnya ke Aeri. "Pake M-tix aja, Er. Gue beli pop corn sama softdrink dulu," ucapnya sebelum kemudian berlalu ke antrian food & beverages.

Aeri membantu Gery yang tampak kesusahan membawa dua pop corn berukuran sedang dan softdrink. "Gebetan lo banyak banget ya, Ger? Keknya banyak banget yang udah lo ajak nonton," ucap Aeri menggoda Gery.

Gery memutar bola matanya, namun tak ayal seringai penuh kebanggan terpampang di wajahnya. "Muka ganteng kayak gue gak ada yang bisa nolak, Er."

Aeri berdecak pelan. "Jangan murahan lah Ger jadi cowok itu."

Gery tak dapat menahan tawanya mendengar ucapan Aeri. Ia menarik Aeri memasuki studio dua yang memang telah dibuka lima menit yang lalu.

"Ger, kita kebagiannya seat paling atas, gak papa?" tanya Aeri pelan saat Gery memberikan kertas print-out tiket M-tix mereka ke petugas.

"No prob, Er."

Aeri tersenyum kecil, lalu mencubit pelan perut Gery. Mereka berjalan memasuki studio. "Baik banget siih sahabatkuh ini, gemash deh."

Gery meringis pelan. "Tau kok baik nan menggemaskan gue ini, tapi ya gak usah lo cubit juga, Er." Gery mengeluh dengan nelangsa, namun tetap merangkul Aeri menaiki tangga untuk ke seat mereka yang berada di paling atas.

Aeri tertawa pelan mendengar Gery yang mengeluh dengan nelangsa. Namun tawa dan langkahnya terhenti ketika matanya bersibobrok dengan mata hitam legam dan tajam yang amat sangat ia kenali. Mata itu menatapnya penuh keterkejutan sebelum kemudian rasa bersalah terpampang jelas di sorot matanya.

Dean sialan, bilangnya tidak bisa menemaninya menonton, ternyata menemani cewek lain.

TBC
07-07-2019

SPILL THE TEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang