18

8 1 1
                                    

Aeri yakin orang-orang akan menyebutnya ratu drama, bahkan mungkin sahabat-sahabatnya juga sudah muak dengan dirinya. Tapi Aeri tidak peduli, ia hanya seorang gadis yang kesulitan menghadapi kematian ayahnya.

Her hero.

Aeri sengaja datang ke sekolah benar-benar mepet ke bel masuk. Simpel, dengan begitu orang-orang akan sulit bertanya ini-itu tentang keadaannya karena minimnya waktu. Saat bel istirahat berbunyi, ia melangkahkan kakinya ke kantin dengan cepat. Mengambil makan siang dan pergi ke roof top tanpa sekali pun melirik kiri kanan dan tak menggubris panggilan siapa pun.

Sikap Aeri ini mencuri perhatian banyak orang, karena mereka melihat sosok gadis bagai robot bukan Aeri si gadis manja yang ceria. Berbagai pandangan tertuju padanya, dari yang iba hingga yang kesal karena menganggapnya ratu drama.

"Take your time." Dean mendudukan dirinya di samping Aeri. Keduanya duduk tanpa alas di lapisan semen roof top, menatap bangunan-bangunan pencakar langit.

Aeri tidak menjawab, ia fokus memakan roti isi yang merupakan salah-satu menu makan siang hari ini.

Dari sudut matanya Dean melirik Aeri. Raut wajah sahabatnya itu datar,  ia juga sudah tidak menemukan sinar di mata coklat Aeri. Ia merasa, bukan hanya ayah Aeri saja yang meninggal, tetapi gadis itu juga.

"Setiap orang beda-beda, Er. Gak semua orang bisa sembuh dari duka dengan cepat, jangan peduliin omongan mereka." Dean menarik napas dalam-dalam sehingga merasa sesak saat mengingat ucapan menyakitkan tentang Aeri dari beberapa siswa. "Take your time, as much as you need. Tapi jangan sampei lo terlarut dan tenggelam di dalemnya, Er. Please, theres a lot of people who doesn't want to lose you too."

Tidak ada tanggapan. Aeri masih fokus makan dengan tatapan kosong ke gedung-gedung pencakar langit. Dean memutuskan untuk bangkit berdiri, mengusap rambut Aeri pelan dan berjalan meninggalkan Aeri di roof top.

Begitu pintu besi roof top terdengar tertutup, Aeri menyimpan roti isi kepangkuannya. Ia menarik napas dengan gemetar, nama Dean sudah ada di pangkal lidahnya. Ia mati-matian menahan agar tidak memanggil Dean.

SPILL THE TEA

"Sulit banget ya, Er?"

Pertanyaan Cleo menarik atensi Aeri. Mereka sedang berjalan di koridor setelah bel pulang berdering, berencana untuk mengadem di salah satu cafe dekat sekolah.

"Maksudnya?"

Cleo mengedikkan bahu. "To open up again?" ucapnya.

Aeri diam selama perjalanan ke cafe yang hanya lima menit berjalan dari sekolah. Cleo juga akhirnya mengalihkan pembicaraan begitu pertanyaannya tidak dijawab oleh Aeri.

Suasana cafe yang tenang diiringi musik yang bertempo pelan, membuat Aeri menjadi rileks dan menyadari dirinya sudah lama tidak merasakannya.

"Yeah, it's hard for me." Aeri berkata dengan tiba-tiba, membuat Cleo yang sedang membust boomerang mengernyit bingung. Aeri menatap Cleo lurus-lurus, "your question back then."

Kabut kebingungan menghilang dari mata Cleo, cewek itu mengangguk mengerti. "And why is that?"

Aeri menyesap lemonadenya langsung dari gelas, ia tidak suka sedotan plastik dan hari ini lupa membawa sedotan stainless miliknya. "I mean  first of all, I broken heart and my dad leaving me forever is just tearing my broken heart into pieces."

"I'm sorry," ucap Cleo pelan. Ia merangkul Aeri dan menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu pelan. "Promise me, lo bakal bangkit."

"I'm trying," ucap Aeri sambil tersenyum. Ia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja. Ia mengetikkan pesan di kolom group chat yang berisikan dirinya, Dean, Gery, dan Gio.

SPILL THE TEA

Kehilangan orang tercinta memang tidak mudah, namun terus terpuruk tidak akan membuat mereka kembali ataupun membuat keadaan kembali membaik.

Aeri sadar itu, kini ia berdiri diambang pintu ruang makan. Melihat bundanya menyiapkan makan malam untuk dua orang, karena ayah tidak akan pulang lagi, namun bukan pekerjaan penyebabnya. Punggung bunda tampak rapuh dan juga kuat di saat yang bersamaan, kini kehidupan Aeri dan calon adiknya bergantung sepenuhnya kepada perempuan hebat itu.

"Bunda," panggil Aeri pelan. Bunda menoleh dan tersenyum, tetapi Aeri dapat melihat jika senyum bunda kali ini tidaklah sampai ke matanya dan tidak terlihat pula sinar bahagia yang selalu menari-nari di iris bunda.

"Tadi bunda check-up, kan? Gimana bun?" tanya Aeri yang kini mendudukan dirinya di salah satu kursi makan. Ia menopang dagunya di atas meja, memperhatikan bunda yang kini menyimpan piring berisi lauk makan yang terakhir ke atas meja.

Bunda ikut mendudukan dirinya di depan Aeri. Ia tersenyum sambil mengusap pean perutnya yang masih rata. "Dia sehat dan kuat, Kak Aeri."

Aeri mengerjakan matanya. "Kak?" Panggilan itu terdengar aneh namun juga menyenangkan di telinganya. Kenyataan ia akan menjadi seorang kakak semakin menguat. Aeri tertawa kecil, "Aku masih gak nyangka bakal jadi kakak."

Bunda ikut tertawa. "Bunda juga, kirain sampe bunda tua nanti, bunda bakal cuma punya kamu aja." Tangan bunda menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring Aeri. "Makan yang banyak ya kak."

Aeri mengangguk dan langsung menyuapkan makanan ke mulutnya. Iya, ia harus makan yang banyak agar tetap kuat, kini hanya ada dirinya, bunda, dan sang adik yang harus ia lindungi.

TBC
15-02-2021


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SPILL THE TEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang