03

15 3 0
                                    

Bel istirahat berbunyi kencang. Memotong penjelasan para guru dan menghentikan kegiatan belajar mengajar yang berlangsung.

Helaan napas lega keluar dari mulut Aeri, begitu pula dari dua puluh sembilan murid yang lain. Mereka bersyukur akhirnya waktu-waktu menegangkan dan melelahkan karena harus belajar dengan guru killer kimia berakhir juga. Tanpa menunggu lama, mereka berhamburan keluar kelas. Bagaikan burung yang baru mendapatkan kebebasan.

"Tekanan batin yak?"

Aeri menoleh ke arah suara. Dean berdiri menyenderkan bahunya ke tembok luar kelas Aeri dengan tangan terlipat di depan dada dan kaki menyilang, menatap Aeri yang baru keluar kelas dengan sorot jenaka.

Aeri memutar bola matanya. Ia mengambil beberapa langkah agar tepat berhadapan dengan cowok itu. "Seneng banget keknya liat gue sengsara," ujar Aeri sambil memasang wajah cemberut.

Dean menyeringai mendengarnya. Ia meluarkan sekotak susu coklat alpukat kesukaan Aeri dari saku celana seragamnya. "Lo mau?"

Dengan cepat tangan Aeri menyambar sekotak susu itu. Dean terkekeh melihat betapa cepatnya kotak susu dari tangannya berpindah ke tangan Aeri. Meski bukan hal aneh mengingat sahabatnya itu selalu gerak cepat jika melihat sesuatu yang berbau coklat. Kesukaan Aeri pada coklat benar-benar membuatnya menggelengkan kepala dan terkadang mengernyit ngeri melihat coklat yang Aeri makan, diam-diam menahan mual ketika membayangkan rasanya yang terlampau manis untuk lidahnya.

Dean merangkul Aeri dan menghelanya ke lobby sekolah. Membuat Aeri mengernyit bingung dengan arah tujuan mereka. "Kenapa gak ke kantin?"

Dean hanya mengedikkan bahu. "Jangan tanya."

Aeri mendelik kesal. Di pukulnya dengan keras tangan Dean yang merangkul pundaknya. "Mau ngapain ke lobby?"

Langkah Dean terhenti. "Ikut aja elah, jan banyak tanya."

Berdecak pelan, Aeri melepas rangkulan Dean dan berjalan berlawanan arah dengan tujuan Dean. "Lo ngomong gitu, makin males gue ngikutin lo."

Dean memutar bola matanya. "Ya udah, gue aja yang pulang kalo lo gak mau."

Aeri mengernyit, ia membalikkan badannya dan menatap Dean bingung. "Lo ngomong apaan sih?"

"Om Rama udah nunggu di depan lobby."

Mata Aeri membulat sempurna mendengar nama ayahnya keluar dari mulut Dean. Tanpa mempedulikan Dean, Aeri berlari ke depan lobby. Matanya langsung menemukan mobil Range Rover putih milik ayahnya. Ia masuk dan duduk di kursi penumpang samping kemudi. Menjerit senang, Aeri memeluk ayahnya Erat.

"I missed you so much, Dad." Aeri mengeratkan pelukannya. Ia sangat rindu kepada ayahnya yang sibuk menerbangkan pesawat selama lebih dari dua minggu. Melihat seragam pilot yang masih dikenakan Rama, sepertinya ayahnya itu baru saja kembali dari bertugas.

Rama tertawa dan mengelus kepala Aeri dengan lembut. "I missed you too, darling."

Aeri melepaskan pelukannya, tangannya bergerak membenarkan rambutnya. "Ayah kok gak bilang-bilang mau pulang?" ucap Aeri setengah merajuk.

Rama tersenyum kecil. Menyalakan mobil dan melajukan mobilnya keluar dari kawasan SMA Andromeda. "Bukan surpise namanya."

Aeri cemberut. "Surprise sih, tapi jahat bikin Aeri mikir cuma makan berdua sama bunda buat dua minggu ke depan."

Rama hanya menggeleng pelan dengan senyum tipis di bibirnya mendengar penuturan putri semata wayangnya itu. "Makanya, sekarang ayah ajak kamu sama bunda liburan."

Aeri mengerjapkan matanya. Baru sadar ia keluar dari kawasan sekolah di jam istirahat. "Yah, tas Aeri masih di kelas," ucapnya panik. "Eh! Izin ke sekolah? Udah belum? Harus udah ayah, nanti Aeri dihukum gara-gara di sangka bolos."

"Tas biar Dean yang ambil. Izin buat tiga hari ke depan udah," balas Rama berusaha menenangkan Aeri.

"Tiga hari, yah?" tanya Aeri memastikan. Matanya bersinar senang, bibirnya berkedut menahan senyum.

Rama melirik putrinya itu dari ujung matanya. "Seneng banget ya?"

Aeri cekikan. "Oh tentu. Emang mau liburan kemana yah? Terus tumben banget Aeri boleh gak sekolah buat liburan."

"Gak tau, gimana bunda aja." Rama mengelus rambut Aeri. "Sekali-kali, lagipula belakangan ini ayah sibuk terbangin pesawat sampe gak ada waktu sama keluarga jadinya pengen quality time sama kalian."

Aeri tersenyum sangat lebar. "Ayah! Sumpah I love you so much!" ucapnya sambil tertawa bahagia.

"I love you too."

"Eh!" Teringat sesuatu, Aeri langsung menegakkan badannya. "Oleh-oleh pesenan Aeri mana?"

"Ada di belakang." Rama menekan klakson ketika pengendara motor menyalip mobilnya dengan berbahaya. "Ada jam tangan laki-laki juga, kamu kasih aja ke Dean atau Gery sama Gio."

Tepat setelah Rama berucap, Aeri menemukan kotak jam tangan laki-laki yang dimaksud ayahnya. "Loh, ini kan merek jam tangan favorit ayah? Salah pilih model, yah?" Ia melihat-melihat jam tangan baru itu, memperhatikan detailnya dan merasa tidak ada yang salah dengan modelnya itu, benar-benar selera ayahnya.

"Enggak, ayah lupa udah beli yang model itu."

Aeri memutar bola matanya mendengar jawaban santai Rama. Jika orangtua orang lain sang ibu lah yang suka belanja, maka berbanding terbalik dengan kedua orangtuanya. Ayahnya itu benar-benar gila belanja jika sudah menyangkut jam tangan, sepatu, dan setelan jas. Pengeluaran belanjanya bahkan menyaingi bunda Aeri dan Aeri sendiri.

"Mau kamu kasih siapa?" tanya Rama kala mendapati Aeri yang sibuk melihat detail jam tangan.

Aeri terdiam sebentar. Menimbang-nimbang siapa yang cocok mengenakan jam tangan pemberian ayahnya. Dan figur Dean selalu muncul di kepalanya.

"Dean."

Rama hanya mengangguk mendengarnya. Sudah dapat menebak jika pilihan Aeri pastinya tidak akan jauh-jauh dari Dean.

Aeri pikir memberi Dean jam tangan adalah ide yang bagus. Hitung-hitung hadiah buat kemenangan cowok itu beberapa hari yang lalu. Lagipula hadiahnya untuk Dean beberapa hari lalu hanya lah sebuah parfume.

Di kepalanya, Aeri mulai menerka-nerka ekspresi Dean ketika menerima jam tangan itu nantinya. Aeri yakin, Dean pastinya menyukai jam tangan model itu, selain merupakan barang keluaran brand jam ternama, model jamnya juga Aeri pikir cocok dengan Dean.

Meski yakin Dean akan menyukai jam tangan itu, Aeri tetap tidak bisa mengenyahkan rasa khawatir akan reaksi Dean nantinya.

Tbc

SPILL THE TEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang