15

18 3 0
                                    

Untuk Aeri, cinta pertama tidak lah seindah yang orang-orang katakan. Ia tidak merasakan betapa indahnya hal itu. Ia terbang dengan cepat dan terjerembab tanpa sadar. Ia baru mengetahuinya dan dunianya hancur.

Aeri iri kepada orang-orang yang jatuh cinta dan perasaan mereka terbalas. Sungguh kenapa dunia harus setidak adil ini?

Mungkin ini salahnya juga untuk jatuh hati kepada lelaki yang selalu bersamanya sejak kecil. Perasaan Dean kepadanya tak ayal tak lebih dari rasa sayang kakak kepada adiknya. Seperti Gio dan Gery.

Seperti patah hati saja belum cukup, Aeri melihat bundanya yang menangis tersedu-sedu di sofa ruang keluarga.

"Bunda?" Dengan panik Aeri berlari menghampiri Bundanya dan duduk di sampingnya. "Bunda kenapa?" Aeri bertanya dengan panik. Ini pertama kalinya dirinya menyaksikan bundanya menangis seolah dunianya hancur.

Pikiran Aeri berloncatan kesana kemari. Ia bertanya-tanya penyebab bundanya menagis. Bertengkar dengan ayahnya kah? Apa akan ada perceraian? Apa perusahaan keluarga atau butik bunda bangkrut?

Seolah tertarik kembali ke dunia nyata, bunda menatap Aeri dengan linangan air mata. Tatapannya penuh duka dan melihat wajah wanita yang telah melahirkannya ini tersiksa, Aeri tidak bisa menahan air matanya.

"Sayang," lirih bunda pilu. Ia menangkup pipi Aeri dan mengusapnya lembut, menghampus sungai air mata yang lagi-lagi terbentuk. Aeri tidak bisa menghentikan tangisnya, melihat bundanya menangis seratus kali lebih menyakitkan daripada menyadari perasaannya bertepuk sebelah tangan.

"Iya bunda," balas Aeri pelan. Ia menggenggam tangan bunda yang masih berada di pipinya, merasakan tangan ramping yang biasa dengan anggunnya mendesain pakaian kini bergetar seolah diliputi kekalutan. "Bunda kenapa?" tanyanya lembut.

Bunda kembali tersedak dalam tangis. Ia menciumi keseluruhan wajah Aeri sambil berkali-kali membisikan, "yang kuat ya sayang, yang kuat."

Kalimat itu terdengar bukan untuk Aeri, melainkan diri bunda sendiri.

Aeri semakin tidak mengerti. Ia mulai diliputi kekalutan tanpa akhir. Ditatapnya bunda yang tampak sangat kacau dan kata-kata bunda tadi mendorong pikiran negatif merasuki kepala Aeri.

"Bunda, bunda," panggil Aeri sambil berusaha membawa lengan bunda ke dalam genggamannya. "Aeri gak ngerti bunda." Aeri menatap bunda lurus-lurus dengan penuh kekhawatiran dan kemudian menggelengkan kepalanya. "Aeri gak ngerti, sebenarnya ada apa?"

Kini, tangis bunda perlahan mereda. Sambil berusaha menstabilkan napasnya, bunda tersenyum lemah. Hal itu lebih mengkhawatirkan daripada tangis bunda tadi. Direngkuhnya Aeri ke dalam pelukan penuh kasihnya. Dengan suara selembut sutra berharap kabar yang ia sampaikan tidak menyakiti Aeri, ia berbisik, "He's gone, darling. Our hero is not with us anymore."

Kini Aeri mengerti. Hatinya yang telah patah, kini hancur menjadi serpihan.

***

Dean berjalan paling belakang di antara rombongan anak basket yang lain. Mereka baru saja selesai latihan basket dan berencana untuk makan di warung soto yang berada tiga puluh meter dari sekolah, berhubung sudah pukul delapan malam dan kantin sekolah sudah tutup.

Sejak keluar dari Gymnasium, Dean langsung berteleponan dengan Kirana. Ceweknya itu seolah memiliki telepathy dengannya dengan langsung menelepon tepat ia keluar dari Gymnasium, bahkan Dean belum sempat mengecek notifikasi ponselnya.

"Nanti aku ajak kamu kesini." Dean sedikit menunduk saat memasuki tenda warung soto. "Enak banget, kenyang, murah lagi," ujar Dean kepada Kirana sambil tertawa renyah. Ia duduk di samping Rifki yang terlihat terganggu dan jengkel melihat Dean berteleponan dengan adiknya. "Woah, calon kakak ipar marah nih," adu Dean kepada Kirana. Lantas, ia mendapatkan bogem mentah di lengannya.

SPILL THE TEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang