16

10 2 0
                                    

Kegiatan di SMA Andromeda berlangsung seperti biasanya. Cleo ingin Aeri juga melanjutkan hidupnya seperti biasanya, bergerak maju dan menjadikan hal menyakitkan menjadi pelajaran berharga. Ia tidak ingin Aeri terlalu larut dalam duka.

Sudah seminggu lebih Aeri tidak masuk. Seluruh kegiatan cewek itu terhenti. Tidak ada sekolah, tidak ada les, dan juga tidak ada kelas menari yang sangat cewek itu sukai. Kematian sang ayah tampaknya membuat Aeri juga ikut mati.

Cleo tahu yang Aeri hadapi tidaklah mudah. Kehilangan sosok seorang ayah apalagi yang sangat penyayang seperti ayah Aeri karena direnggut oleh kecelakaan tragis tidaklah mudah dan siapa pun yang mengalaminya pasti akan sangat terpukul.

Namun, terlarut dalam duka pun bukanlah jalan keluar, yang ada hanyalah menenggelamkan diri kepada rasa sakit yang tak berujung. Dengan larut dalam berduka, Aeri menolak rasa sakit yang dibawa duka itu sendiri, pada nyatanya Aeri harus mampu menerima rasa sakit dari duka itu agar nanti ia bisa melepaskannya.

Cleo sudah berusaha meraih Aeri. Lewat pesan dan telepon tak ada tanggapan. Ia pergi ke rumah Aeri yang berakhir hanya menunggu di ruang tamu selama tiga puluh menit sampai satu jam lamanya hanya untuk mendapatkan permintaan maaf bunda Aeri yang mengatakan anak gadisnya sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa.

Meski tergolong penuntut dan sangat manja, Aeri adalah gadis yang sangat baik. Satu kelas dan menghabiskan banyak waktu bersamanya, membuat Aeri bukan hanya seorang teman sekelas bagi Cleo, tapi seorang sahabat. Maka dari itu, ia akan membantu Aeri bangkit dari keterpurukan meski harus mengemis pertolongan kepada tiga sahabat Aeri yang Cleo tidak yakini pantas mendapat gelar sahabat dari Aeri.

Cleo menemukan mereka bertiga di salah satu meja kantin. Tertawa bersama dengan beberapa anak-anak laki-laki lainnya. Entah mengapa, pemandangan itu membuat Cleo geram. Ia segera menghampiri mereka. "Dean," panggilnya.

Dean menoleh saat itu juga. Panggilan Cleo bukan hanya berdampak pada dirinya saja, namun juga sekelilingnya yang mendadak berhenti mengobrol dan tertawa. Kening Dean sedikit mengernyit melihat cewek di depannya. Terlihat familiar tapi Dean tidak yakin mengenalnya.

"Sorry, siapa ya?" tanya Dean sambil bangkit berdiri dari duduknya di atas meja. Memang kurang ajar, meja dia duduki dan kursi dijadikan sebagai penopang kakinya.

Cleo menghela napas. Memang, untuk orang-orang populer seperti Dean dan teman-temannya itu dirinya bukanlah siapa-siapa. Tidak penting untuk diingat. "Cleo," ucapnya singkat.

Dean tampaknya langsung sadar siapa cewek yang ada di depannya. "Lo yang suka bareng-bareng Aeri itu ya," ucapnya pelan seolah ditujukan kepada dirinya sendiri, namun masih dapat di dengar jelas oleh Cleo sehingga cewek itu mengangguk membenarkan.

"Ada apa emangnya?" Dean melipat kedua tangannya di depan dada, menebak-nebak tujuan Cleo menghampirinya.

"Ada yang perlu gue omongin," balas Cleo. Ia berusaha untuk menghiraukan tatapan-tatapan dari teman-teman Dean yang membuatnya tidak nyaman.

Dean mengangkat sebelah alisnya. "Okay," ucapnya dengan sedikit menyeret kata yang terucap. Ia menyadarkan tubuhnya ke meja yang berada di belakangnya. Dengan tangan tetap terlipat di depan dada, ia menatap Cleo tepat di mata. "Apa yang mau lo omongin?" tanyanya to the point, suaranya pun terdengar dalam dan serius.

Cleo menelan ludah, sedikit terintimidasi oleh Dean dan juga tatapan penasaran yang membuatnya tidak nyaman dari teman-teman cowok itu. "Not here," ucapnya pelan namun masih cukup terdengar oleh Dean.

Dean berdecak. Ia kembali menegakkan tubuhnya dan kali ini benar-benar berdiri di depan Cleo dengan jarak yang dekat. "Cleo, listen. Gue bukan tipe orang yang mau aja buang waktunya gitu aja. If it's not important, then don't."

Cleo terperanjat mendengar ucapan Dean. "Aeri," balasnya dengan penuh penekanan. Ditatapnya Dean lurus-lurus. "Is she not important for you?" Lalu Cleo menatap Gio dan Gery bergantian. "For both of you?"

Dean tampak terpaku kala mendengar nama Aeri. Ditatapnya Cleo yang kini tampa ragu menatapnya lurus-lurus. Dari ekspresi keras dan serius cewek itu, Dean yakin yang akan disampaikan cewek itu pastinya penting. Ia melirik Gio dan Gery, kedua sahabatnya itu hanya diam dan menatapnya namun meski begitu ia melihat kekhawatiran di kedua mata sahabatnya. "I got this," ucapnya kepada mereka berdua. Kemudian ia kembali mengalihkan perhatiannya ke Cleo dan mengedikkan kepalanya ke pintu kantin. "Alright, ikut gue."

Dean membawa Cleo ke ujung koridor lantai satu yang kosong. "Kenapa sama Aeri?" tanya Dean langsung begitu sudah memastikan tidak akan ada yang mencuri dengar pembicaraan mereka.

"She's not fine, Dean. And I think we can't just let her to be like this."

Dean menghela napas. Matanya menatap Cleo dengan ragu dan sedikit ketidakpercayaan. "She just lost her dad . She's grieving, let her be."

Cleo menatap Dean tidak percaya. "Yeah, I know she just lost her dad. Dia lagi berduka, tapi bukan berarti dia bisa larut dalam duka, kan? Ini udah satu minggu lebih Dean, hampir dua minggu malahan dan sampai sekarang dia belum juga bangkit."

"Give her time." Dean berkata final. "Lo orang baru di hidup Aeri, you don't know how she handle the pain. I know more about her. Dia cuma butuh waktu setelah kehilangan ayahnya."

Cleo menghela napasnya. "Don't you get it? Aeri gak cuman berduka Dean, dia larut dalam dukanya. Sampai saat ini dia gak juga bangkit dan gue gak liat tanda-tanda dia bakal bangkit dan lewati ini semua. Don't you worry about her mental state?"

Kalimat terakhir Cleo membuat Dean melayangkan tatapan tajam padanya. "Don't you dare say that–"

"I'm not joking around Dean," ucapnya memotong ucaqan Aeri. "Dia bener-bener larut dalam duka, have you ever seen her? How is she?" Cleo terkekeh pahit. "Lo gak tau keadaan dia, right? You don't know how messed up she is. She's clearly and slowly falling down."

Dean terdiam mendengar perkataan Cleo. Terakhir kali ia melihat Aeri adalah ketika hari pemakaman dan tidak ada sepatah kata pun yang terucap di antara mereka. Aeri tampak tak ingin di dekati apalagi diajak berbicara, cewek itu secara sederhananya menunjukkan sinyal bahwa ia tidak ingin diganggu. Ia pikir ia hanya perlu memberi Aeri sedikit waktu untuk memproses segalanya dan bangkit. Itu yang ia yakini, memberikan Aeri waktu untuk sendiri adalah yang terbaik.

"She will be fine." Dean mengalihkan pandangannya. Rahangnya terlihat mengeras. Pikiran tentang Aeri yang perlahan semakin jatuh membuatnya merasa tidak nyaman.

Cleo berdecak, merasa tidak habis pikir dengan cowok di depannya. "Can you prove that?" Cleo mengangkat sebelah alisnya, lantas ia menggelengkan kepalanya. "No, I mean ... can you just see her? To make sure that she is fine. You're her bestfriend after all, you'll be more know about her than me."

Dean menjilat bibirnya yang terasa kering, tangannya bergerak menyugar rambutnya sebelum kemudian berkata, "okay."

TBC

How's your day?

SPILL THE TEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang