Chapter 9

84 35 6
                                    


“Mencintai bukan sekedar memberi kata-kata romantis, melainkan selalu membuatnya tersenyum.” Sandi.

***

Di bawah guyuran hujan lebat Sandi berlari seperti layaknya pria yang hilang akal. Dia menghiraukan suara klakson kendaraan yang melintasi. Dia menghiraukan motor yang hampir menabraknya. Dia juga menghiraukan kalau nyawanya bisa melayang tiba-tiba karena kecerobohannya. Tapi, dia tidak peduli. Banyak pengendara yang mencaci makinya bahkan ada yang menyebutnya gila dan tidak waras. Tetap saja dihiraukannya. Dalam posisi darurat seperti ini tidak ada yang lebih penting baginya dibandingkan nyawa Aisy. Beberapa menit yang lalu dia menerima telepon dari Bi Nah bahwa Aisy pergi entah ke mana. Ponselnya juga tidak aktif. Bi Nah khawatir dan meminta Sandi mencari Aisy. Meskipun hujan lebat tengah mengguyur kota Jakarta. Dia tidak gentar ataupun takut. Kini, prioritas utamanya hanya Aisy. Tidak boleh kurang atau jika perlu harus lebih.

“VANYA… KELUAR LO,” Teriak Sandi.

Tiga menit kemudian. Vanya keluar dengan mengenakan piyama merah maron. Piyama itu agak transparan. Dengan gaya khasnya dia mencoba merayu Sandi. Tapi, hal itu tidak mempan karena dia telah termakan api amarah. Tidak sedikit pun dia mengindahkan gerak-gerik Vanya yang seolah-olah menggodanya.
Jari jemari Vanya mengelus lembut pipi Sandi, tapi ditepis olehnya. “Di mana Aisy?”

“Kenapa lo tanya sama gue? Emang gue emaknya apa?”

“Lo nggak bisa bohongi gue. Gue tau lo yang udah culik Aisy, kan.”

“Mana buktinya kalau gue yang culik.”

“Tanpa perlu bukti gue udah tau kalau lo pelakunya.”

“Gimana kalau tidak? Apa lo tau ada berapa banyak orang di dunia ini yang membencinya?” Vanya tersenyum menyeringai, “Tidak. Lo nggak tau.”

“Gue tau Cuma lo orang di dunia ini yang membencinya.”

“Gue emang benci dia. Tapi, gue bukan orang yang suka melakukan hal serendah itu.”

Ponsel Sandi bergetar. Dia merogoh saku celananya. Ponselnya menyala tanda ada pesan masuk. Dari Aldo. Segera Sandi membuka pesan itu dan membacanya. Gue udah tau dimana Aisy sekarang. Itulah pesan singkat dari Aldo. Segera Sandi menuju alamat yang diberikan Aldo. Tanpa menunggu waktu lama dan tanpa menunggu hujan reda. Amarahnya juga masih belum redam sampai Aisy ditemukan. Dia belum bisa tenang atau bernapas lega sampai hal itu terjadi.

Sandi naik ojek yang kebetulan lagi mangkang di dekat rumah Vanya. Awalnya tukang ojek itu tidak mau mengantar Sandi karena hujan yang sangat lebat. Setelah negosiasi yang cukup lama, akhirnya tukang ojek itu mau mengantar Sandi asalkan dengan tarif yang lebih mahal dari tarif normal. Tanpa berpikir panjang Sandi menyetujuinya.

Hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk sampai di tempat tujuannya. Sandi membayar dengan tarif seperti yang diminta tukang ojek itu. Setelah itu, Sandi masuk ke rumah berpagar putih dengan tembok yang bercat putih. Intinya semua serba putih. Sandi mengetuk pintu rumah itu dan mendapati seorang cewek membukakan pintu. Sandi lantas bertanya kepadanya. “Di mana Aisy?”

“Dia di dalam,” tanpa meminta persetujuan dari tuan rumah, Sandi nyelonong masuk.

Mendapati Aisy, Sandi pun menarik lengan Aisy dan mengajaknya pulang, “Ayo pulang.”

“Kak Sandi apa-apaan, sih?!!” Aisy melepaskan cengkraman Sandi dari lengannya, “Norak banget.”

“Lo bilang apa? Norak? Lo itu yang apa-apaan. Gue udah cari lo di mana-mana kayak orang gila. Tapi, lo malah enak-enakan di sini. Lo tau? Semua orang cemas cariin lo. Di SMS nggak di bales. Di telepon nggak di angkat. Apa gunanya punya ponsel kalau masih nggak bisa dihubungi.”

RENDEZVOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang