Chapter 10

108 37 14
                                    


“Cemburu adalah api dari nafsu amarah. Bisa berkobar dengan cepat, tapi sangat sulit untuk dipadamkan.” Aisy.

***

Pelukan hangat Sandi kemarin sore seakan mengisyaratkan hubungan mereka saat ini. Apa ini artinya Sandi sudah mulai menyukai Aisy? Bayangan Sandi bergelantung di pikirannya. Aisy berusaha menghilangkannya, tapi di bisa. Daya tarik Sandi terlalu kuat baginya. Sandi mampu mengobati luka di hati Aisy. Lalu, bagaimana perasaan Sandi terhadap Aisy? Apakah dia juga merasakan hal yang sama? Apakah cinta yang Aisy berikan mampu mengobati luka di hati Sandi?

Aisy termenung. Dia tidak menyadari kalau Pak Suni memanggilnya. Aisy gelagapan. Metha tidak menyadari kalau sedari tadi Aisy melamun. Dia ikit-ikutan panik. Pak Suni mendatangi bangku mereka. Aisy menunduk. Metha menutupi wajahnya dengan tangan kanannya.

“Kalau kamu tidak mau mengikuti pelajaran saya lebih baik keluar. Saya tidak mau mengajar murid yang tidak mau mendengarkan penjelasan saya,” tegas Pak Suni.

“Ma… maaf, Pak.”

Pak Suni menatap tajam. “Kamu yang keluar atau saya yang keluar. Saya tidak mau kalau gara-gara satu orang kelas menjadi tidak kondusif.”

“Seseorang harus bisa menghargai orang lain terlebih dahulu baru dia bisa dihargai,” tukasnya lagi.

Aisy tidak mau melawan perintah guru. Dia pun keluar dari kelas. Dia tidak tahu harus pergi ke mana. Sedangkan, dia sendirian. Dia berjalan melewati koridor. Dia melihat Adit berdiri di seberang lapangan dan melambaikan tangan ke arahnya. Adit memanggilnya. Dia pun berjalan ke tengah lapangan.

BRUKKK…

Seseorang yang sedang men-dribble  bola basket menubruk Aisy. Aisy tersungkur di tanah. Cowok yang menabrak Aisy tadi salah satu teman sekelas Sandi. Rio, namanya. Dia tidak kalah kerennya dengan Sandi. Sandi yang melihatnya hanya diam dan malah mengacuhkannya. Seakan dia tidak peduli dengan keadaan Aisy. Apakah yang terjadi? Bukankah baru kemarin mereka berdamai dengan perasaan mereka. Dia malah asyik bermain basket dengan teman-temannya yang lain. Aisy tersenyum kecut menatap Sandi dari kejauhan.

“Sorry, gue nggak sengaja,” katanya kemudian berlalu pergi.

Aisy mengalihkan pandangannya dari Sandi dan menatap Rio seraya tersenyum tipis. “Lo nggak pa-pa?” tanya Adit setelah sampai di hadapan Aisy.

“Gue nggak pa-pa kok.”

Adit membantu Aisy berdiri. Sesaat Aisy menatap Sandi yang seakan tidak peduli dengannya. Aisy terus menatap Sandi hingga dia merasakan perih di kakinya. “Aduh…”

“Lutut lo berdarah.”

Sontak Aisy melihat ke bawah ke lututnya yang berdarah. Dia juga kesulitan berjalan meskipun sudah dipapah Adit. “Lo mau gue gendong?” Dia menawarkan diri. Aisy mengangguk.

Adit memposisikan diri dan mengangkat tubuh Aisy ke atas punggungnya. Tiba-tiba, seseorang menarik Aisy dan mendorong Adit hingga terjatuh. Dia memperlihatkan tatapan elangnya. Adit tidak tahu kenapa kakak kelasnya itu mendorongnya. Sandi mengangkat tubuh Aisy dalam gendongannya. Aisy menatap lekat wajah Sandi. Kenapa Kak Sandi susah ditebak? Batinnya.
Sandi membawa Aisy ke Klinik dan meminta Bidan Mayang mengobati luka Aisy. Sandi membawa Aisy ke salah satu bilik yang kosong. Bidan Mayang mengambil kotak P3K, obat merah, dan kapas. Sandi berdiri di samping Aisy saat Bidan Mayang mengobati luka Aisy. Aisy merintih. Dia menarik kaos olahraga Sandi dan meremasnya.

“Pakai tangan gue aja.” Aisy menatap Sandi bingung. Sandi mengambil tangan Aisy dan meletakkannya di atas tangannya.

“Aw… aw… aw…”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RENDEZVOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang