Chapter 1

154 47 13
                                    

“Beritahu nama aja susah apalagi buka hati.” Aisy.


###

Pukul 11.15 WIB.

Terik matahari terpancar dahsyat diatas ubun-ubun kepala. Bagi orang yang tidak terlalu punya kepentingan pasti tidak ingin keluar ruangan. Takut kulitnya gosong karena terkena pancaran dari sinar ultraviolet matahari. Di tengah-tengah lapangan terlihat dua orang cewek berdiri dengan kedua tangannya menyilang memegang telinga dan satu kaki diangkat. Sesekali mereka menurunkan kakinya kemudian mengangkatnya kembali. Keringat meluncur begitu mulusnya di sekujur tubuh keduanya. Hingga seragam yang mereka kenakan basah karenanya.

Salah seorang cewek berambut sebahu mengusap keringat yang turun di wajahnya. Dia juga mengipas-ngipas wajahnya dengan tangannya untuk mendapatkan sedikit angin dari hasil kipasan itu. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu apa yang mereka lakukan di tengah lapangan dalam keadaan cuaca seperti ini. Yups, hukuman karena tidak membawa buku paket atau tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak bosan-bosannya guru memberikan hukuman kepada murid yang sengaja atau tidak sengaja berbuat ulah. Mengeluh bukan berarti bisa terbebas dari hukuman, bukan? Lalu, apa gunanya mengeluh disaat seperti ini.

“Kalian bisa istirahat sekarang. Besok jangan diulangi lagi.”seorang laki-laki berumur sekitar kepala 3 dengan kacamata yang selalu tertancap di kepala beliau. Siapa lagi kalau bukan Pak Suni, guru sejarah paling killer se-SMA Permata.

Satu hal lagi yang tidak mungkin terlupakan ketika melihat sosok beliau adalah hp pejetan jadul keluaran entah tahun berapa yang selalu beliau bawa setiap kali mengajar. Tidak ketinggalan juga, hp itu sering memakan banyak korban. Salah satunya kalau ada siswa-siswi yang tidur di jam pelajaran sejarah. Pak Suni tidak akan pernah ragu mempotretnya dan menempelkannya di mading sekolah. Maklum, beliau pembina ekstrakurikuler mading. Daripada madingnya kosong dan hanya dihuni sarang laba-laba lebih baik diisi, bukan?

Meninggalkan kisah seputar Pak Suni yang tidak akan ada habis-habisnya kalau diceritakan. Mereka mengangguk dan beranjak pergi menuju ke kelas mereka menyisakan hamparan tanah lapangan yang luas. “Lo, Mau ke kantin gak?”

“Gak.” Jawab Aisy singkat.

“Gue ke kantin dulu, ya. Bye.”

“Bye.” Metha berlari menuju kantin. Kenapa harus lari? Toh, jaraknya tidak jauh-jauh amat.

Seperti biasanya, Aisy selalu menghabiskan sepertiga waktunya di sekolah untuk berkunjung di perpustakaan. Sekedar membaca novel ataupun numpang Wi-Fi. Mengherankan. Cewek seperti Aisy sering numpang Wi-Fi sekolah? Dilihatnya sekeliling ruangan. Tampak sepi. Hanya ada dirinya, pustakawati, dan seorang yang duduk di salah satu meja di ujung ruangan.

Aisy melihat buku-buku yang terpampang rapi di tempatnya. Deretan judul buku dan penulisnya terlihat jelas di bagian tepi buku. Aisy melihat rak khusus buku fiksi dan melihat buku yang dia cari bertengger di salah satu rak bagian atas. Tubuh mungilnya tidak mampu menjangkau buku itu. Dia juga berjinjit-jinjit, tapi tetap tidak bisa meraih buku itu. Dia melihat sekelilingnya dan menemukan kursi yang tergeletak tidak jauh darinya. Aha……

Aisy mengangkat kursi itu dan meletakannya di depan rak buku fiksi itu. Dia menaiki kursi itu dan berusaha mengambil buku yang dicarinya. Tangannya masih tidak sampai. Dia juga berjinjit-jinjit dan dapat meraih buku itu. Tiba-tiba, kakinya terpeleset dan jatuh ke lantai. Rak yang ada di hadapannya goyang dan hendak jatuh. Tetapi, tidak terjadi karena rak itu sudah dipegang oleh seorang cowok yang sedang berdiri disampingnya. Aisy menatap wajah cowok itu. Tangan kanan cowok itu mengulur seakan ingin memberikan bantuan. Segera Aisy menangkap tangan itu.

“Lo bisa berdiri sendiri, kan. Jangan sok manja.” Cowok itu mengangkat kembali tangannya dan memasukannya ke dalam saku celananya.

Aisy tersenyum sinis. Dia berdiri dan mengelus pantatnya yang sakit. Cowok itu sibuk melihat sederet buku yang ada di hadapannya. Sedangkan Aisy, mencari buku fiksi yang menurutnya cukup menarik. Sesekali diliriknya wajah cowok itu. Cakep tapi ketus. Tubuhnya atletis dengan tinggi kira-kira 185 cm. Mata biru safir. Model rambut fringe seakan menambah kesan tersendiri saat pertama kali lihat cowok itu. Wajahnya bersih mulus tanpa ada jerawat atau goresan sedikitpun. Kayaknya cowok itu pandai merawat diri hingga dirinya tidak mau kalah dari cewek. Batinnya.

“Dilan.”

Cowok itu menatap lurus ke arah Aisy. Aisy membulatkan matanya dan mengulurkan tangannya seraya berkata “Aisy.”

Tangan cowok itu mendekati pipi Aisy sebelah kanan. Aisy menatap wajah cowok itu tanpa mau berkedip. Keringat dingin bercucuran deras di sela-sela pakaiannya. Apa yang akan dilakukan cowok itu? Sekarang bukan hanya tangan cowok itu yang mendekatinya tapi wajahnya juga. Aisy memejamkan matanya saat jarak antara wajah cowok itu dengannya hanya beberapa senti saja.

“Gue gak mau kenalan sama lo. Gue mau ambil, ini.”

Cowok itu memperlihatkan buku fiksi yang diambilnya tadi. Novel Dilan “Dia adalah Dilanku 1990”. Tampak pipi Aisy menampilkan warna merah merona. Segera Aisy mencoba menyembunyikan rasa malu yang dirasakannya saat ini. Salah tingkah. Pasti. Aisy tidak menawarkan diri terlebih dahulu sebelumnya. Tapi, apa yang dilakukannya saat ini membuatnya ingin menutup wajahnya pakai topeng agar tidak terlihat semua orang.

“Kakak suka novel Dilan, ya. Ceritanya bagus, loh. Kakak pasti suka membacanya.” Kata Aisy seraya mengukir seutas senyuman.

“Dah tahu.” Tiga kata yang mampu diucapkan Aisy. Singkat, padat, nylekit.

“Aku punya novel Dilan 2 dan 3. Kalau kakak mau pinjem.”

“Gue gak butuh.” Cowok itu membuka-buka novel yang dipegangnya.

“Kalau bukan karena Mira gue gak mau pinjem novel kayak gini.” pekiknya.

“Kakak berkata sesuatu?”

“Tidak.”

Cowok itu pergi meninggalkan Aisy menuju ke tempat pustakawati. Aisy masih memandangi cowok itu. Cowok itu menyerahkan kartu identitas perpustakaan miliknya. Pustakawati menatap heran cowok itu dan menulis sesuatu pada secarik kertas.

“Kembalikan tanggal 24 Januari. Jangan sampai terlambat ngembaliinnya.” Katanya seraya memberikan secarik kertas yang ditulisnya tadi kepada cowok itu.

Cowok itu lantas berlalu pergi dengan membawa novel Dilan. Aisy masih memandang cowok itu sampai punggung cowok itu hilang di ambang pintu. Aisy mendekati pustakawati sambil membawa novel yang asal dia ambil.

Tidak biasanya dia pinjam novel.” Kata pustakawati seraya menggelengkan kepala.

Perlu digaris bawahi perkataan pustakawati barusan atau dicetak tebal pada kata “tidak biasanya”. Lalu, biasanya buku apa yang dipinjam cowok itu. Apa seperti buku pelajaran koran atau majalah. Kepergian cowok itu masih menyisakan banyak pertanyaan dibenak Aisy. So, apa cowok itu sering berkunjung ke perpustakaan?

###

Ini series kedua. Ceritanya berbeda dengan yang kemarin.

Selamat menikmati ceritanya.

RENDEZVOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang