Chapter 7

103 34 5
                                    

“Yang datang akan tetap datang. Sedangkan yang pergi akan tetap pergi. Bukan yang seharusnya pergi malah datang.” Aisy.

###

Jam istirahat berlangsung. Teman-teman Aisy sudah berhamburan pergi tanpa terkecuali kedua sahabatnya. Menyisakan Aisy sendirian di kelas. Dia menatap layar ponselnya. Tapi, pikirannya melayang jauh entah kemana. Dia memikirkan perkataan Daniel di telepon tempo hari. “Gue akan pergi. Tapi, jangan lo pikir gue ngelepasin lo. Lo tinggal tunggu aja hari H. Lihat sandiwara apa yang akan terjadi. Dalam sandiwara ini gue yang jadi penontonnya dan lo yang jadi aktrisnya.” Apa maksudnya? Apa Daniel akan merencanakan sesuatu? Apa Daniel ingin menghancurkan hidup Aisy? Apa maksud dengan sandiwara? Berbagai pertanyaan dan kemungkinan yang akan terjadi merasuk di pikiran Aisy. Bercampur dengan suasana hatinya saat ini.

Bel masuk berbunyi. Satu per satu teman Aisy masuk ke kelas dan tepat setelah guru yang mengajar masuk, kelas sudah dipenuhi siswa-siswi yang siap menerima pelajaran. Metha menatap wajah Aisy yang pucat pasi. Dia khawatir dengan keadaan Aisy.

“Lo sakit?” Metha menyentuh dahi Aisy dengan punggung tangannya. “Aau… panas banget.” Metha mengkibas-kibas tangannya.

“Gue anter ke klinik, ya.” Ajak Metha.

“Gak usah. Gue gak pa-pa kok.”

Aisy membuka buku pelajarannya. Matanya berkunang-kunang. Pandangan matanya mulai buram. Dia tidak bisa melihat wajah guru yang mengajar dengan jelas. Satu detik kemudian Aisy tidak sadarkan diri. Metha yang duduk di sampingnya khawatir. Salah satu teman laki-laki mereka mengambil tandu yang ada di klinik. Setelah itu mereka mengangkat tubuh Aisy dan membawanya ke klinik. Dr. Fery meminta teman-teman Aisy untuk kembali ke kelas. Biar Dr. Fery dan Bidan Mayang yang merawatnya.
Bidan Mayang mulai memeriksa keadaan Aisy. Mulai dari mengecek tekanan darah sampai dengan keadaan mata dan telinga Aisy. Dan hasilnya normal. Bidan Mayang mencoba membangunkan Aisy dengan mengoleskan minyak kayu putih pada kedua telapak kaki dan tangan Aisy. Dan mendekatkan minyak kayu putih itu di hidung Aisy.

Beberapa menit kemudian, Aisy terbangun. Dia menatap sekelilingnya. Hanya ada Bidan Mayang dan Dr. Fery yang duduk di ruangannya. Bidan Mayang menyuruh Aisy beristirahat di salah satu kamar yang tersedia di klinik. Aisy memejamkan matanya dan tertidur.

“Aisy, bangun.” Seseorang menepuk-nepuk pipi Aisy.

“Kak Ragil?” katanya setelah membuka matanya. Dia menatap Ragil dengan tatapan seolah bertanya kenapa Ragil bisa ada disini.

“Tadi lo nangis. Lo ngigau, ya.” Aisy tidak tahu apakah benar tadi dia menangis atau tidak. Aisy tidak tahu. Aisy menggelengkan kepala.

“Lo sakit apa?”

“Cuma pusing aja, kak.”

“GWS, ya. Gue ke kelas dulu.” Aisy mengangguk.

Ragil berlalu meninggalkan Aisy sendirian di kamar itu. Dia melihat jam tangannya. Pukul 13.45 WIB. Tenang sebentar lagi pulang. Aisy masih teringat perkataan Daniel tempo hari. Aisy berdiam diri di klinik sampai bel pulang berbunyi. Dia malas untuk beranjak pergi dari klinik. Aisy melangkah ringan. Hidup ini memang tidak luput dari skenario tuhan YME. Apapun kehendak-Nya itulah yang terbaik. Percaya berarti meyakini. Dan percaya kepada Allah adalah dasar keimanan yang paling utama.

Tidak memerlukan waktu lama untuk menunggu Mang Juma karena Mang Juma sudah stay di depan pintu gerbang sebelum Aisy pulang. Di dalam mobil, Aisy tertidur. Dia berjalan gontai masuk ke kamarnya. Dia langsung mandi, ganti baju, dan istirahat. Dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang tempat tidurnya. Penat. Udara di otaknya terasa kosong. Aliran darahnya lambat. Jantungnya bekerja cepat. Aisy tidak merasakan lelah seperti sebelumnya. Padahal dia sudah banyak istirahat tapi kepalanya masih keliyengan. Aisy memejamkan matanya. Udara segar mengalir mengisi ruang di kepalanya.

RENDEZVOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang