Neighbour - @RedCherry98

181 37 6
                                    

Sinar mentari menyengat mataku ketika tirai jendela kusibak. Udara luar yang terbawa angin menyeruak ke seisi ruangan yang pengap, debu yang turut terbawa menggelitik hidungku. Tak jauh dari tempatku berdiri, wanita paruh baya yang datang bersamaku meringis dalam senyumnya.

"Maaf ya, agak kotor. Kamar ini belum sempat dibersihkan sejak ditinggal oleh penghuni sebelumnya beberapa bulan lalu," katanya.

Aku memaklumi. Bukan sepenuhnya salah dia juga, akulah yang memutuskan untuk tinggal di sini tanpa memberitahu dari jauh-jauh hari. Tidak kusangka cukup sulit mencari kamar kos yang bisa disewa ketika semester baru, dan aku cukup beruntung bisa menemukan kamar kosong terakhir tempat ini, jadi kuputuskan memilihnya tanpa banyak berpikir lagi.

Lingkungan kos ini bersih dan sangat terawat. Sepertinya pemilik tempat ini adalah orang yang rajin bersih-bersih dan sangat menyukai tanaman hias. Lingkungan yang menyenangkan. Bangunan kos ini sendiri adalah bangunan berlantai dua dengan masing-masing enam kamar di setiap lantai, dan rumah pemiliknya masih berada di lingkungan yang sama, tak begitu jauh dari tempat ini. Kamarku adalah kamar bernomor dua belas, di ujung kiri.

Aku mengingat dengan jelas apa yang diceritakan oleh kakak sepupuku beberapa hari yang lalu sebelum aku meninggalkan rumah. Hidup sendirian di luar itu berat, katanya. Harus pandai mengatur segalanya. Waktu, pergaulan, dan tentu saja, uang—itu jika aku tidak ingin ditemukan sebagai mayat anak kos yang mati karena kelaparan di akhir bulan.

Banyak hal yang kudengar darinya, yang kemudian mau tidak mau membuatku sedikit merasa was-was. Namun di luar semua hal itu, bagiku yang selama lebih dari tujuh belas tahun tidak pernah diizinkan pergi terlalu jauh dari rumah, bisa tinggal sendirian dan hidup mandiri seperti ini adalah salah satu hal yang sangat kuimpikan. Demi ini, aku bahkan sampai memilih jurusan yang kampusnya yang terbilang cukup jauh dari rumah, kurasa sekitar satu setengah jam perjalanan.

Butuh waktu seharian untukku membersihkan dan merapikan tempat ini agar setidaknya cukup layak disebut sebuah kamar, dibantu ibu pemilik kos dan ayahku yang baru saja pamit untuk pulang karena besok pagi harus bekerja. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan lebih beberapa menit.

Setelah semua kesibukan ini dan itu, sekarang baru kurasakan bahwa ternyata tubuhku sudah benar-benar lelah. Aku bahkan terlalu malas untuk pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuh sebelum tidur, yang kurasakan hanyalah kesadaranku yang perlahan-lahan mulai memudar, terbawa oleh kantuk. Namun, baru saja akan tertidur, tiba-tiba sesuatu menarik paksa kesadaranku kembali.

Kudapati gagang pintuku yang bergerak-gerak dengan suara berisik, seperti seseorang sedang berusaha membukanya dengan paksa dari luar. Sekelebat perasaan takut merayapi dadaku.

Pencuri kah?

Atau jangan-jangan setan?

"Si-siapa?" Kucoba bertanya dengan suara yang sekiranya dapat didengar oleh siapa pun yang ada di luar sana.

Tak ada jawaban.

Dan usaha siapa pun di luar sana untuk membuka pintu seketika terhenti.

Kucoba bertanya sekali lagi dengan suara yang lebih keras, dan aku masih tak mendapati adanya jawaban. Perlahan, entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, aku merasakan bahwa hawa dingin dan keheningan yang janggal mulai merayapi seisi kamarku, membuat atmosfernya terasa sedikit menyeramkan.

Aku masih menunggu beberapa waktu, sebelum kemudian rasa penasaran mengalahkanku, dan akhirnya kucoba untuk mengubur rasa takutku dalam-dalam. Sepintas kulirik jam dinding yang belum menunjukkan pukul sepuluh malam. Belum terlalu larut, dan kos yang kutahu isinya penuh ini pasti masih cukup aman jika saja sesuatu yang buruk terjadi, sehingga kuputuskan untuk membuka pintu.

Kudapati seorang anak perempuan berdiri di depan kamarku ketika pintu kubuka. Belum sempat aku bertanya, ia lebih dulu menatapku dengan kaget.

"E-eh? Maaf! Kupikir ini kamarku!" Ia nyaris memekik.

Butuh beberapa menit untukku yang sebelumnya nyaris tertidur bisa mencerna ucapannya, sebelum kemudian sebuah kesimpulan muncul di kepalaku.

Aah! Salah kamar rupanya!

"Astaga, kau sempat membuatku takut tadi," keluhku di sela senyum yang berusaha kubuat terlihat seramah mungkin.

Ia tertawa canggung. "Maaf, aku lelah sekali, kurasa aku sedikit melindur, mendorong pintu kamar orang tanpa berpikir," katanya, "kamu orang baru?"

Kuperhatikan ia sepintas, sepertinya gadis ini memang sedikit kurang sehat. Ia terlihat pucat dan agak lesu.

"Iya, baru pindah hari ini," jawabku seadanya. Setelah semua ketegangan itu berlalu, rasanya kantuk kembali menguasaiku. Aku ingin segera kembali tidur.

"Namaku Alisa, aku tinggal di kamar paling ujung sana," ia menunjuk ke samping kanannya. "Senang bertemu denganmu, kapan-kapan main ke kamarku, ya? Oh, dan aku benar-benar minta maaf sudah mengganggumu," tutupnya sebelum kemudian berpamitan.

Itu perkenalan yang singkat.

Di ujung ya? Berarti dia di kamar nomor 7? Aku akan menyapanya lagi besok, yang penting sekarang aku harus melanjutkan tidurku yang tertunda.

#

Di pagi selanjutnya, aku memutuskan untuk keluar dan menghirup udara segar ketika kembali terbangun. Pintu di sebelah kamarku terbuka di saat aku sedang mencari sandalku di rak sepatu. Bersitatap selama beberapa saat, gadis kamar sebelah itu lantas melempar senyum.

"Orang baru?" tanyanya ramah.

Kujawab pertanyaannya dengan anggukan singkat. Kemudian dengan senang hati kuterima tawarannya ketika ia mengajakku untuk berkeliling. Aku benar-benar bersyukur mendapatkan tempat ini. Selain lingkungannya yang nyaman, para penghuni di sini juga sangat ramah dan menyenangkan.

Kami berdua duduk di kursi kecil di halaman depan setelah beberapa lama berkeliling.

"Penghuni sebelum kamu?" ulangnya ketika iseng kutanyakan tentang orang yang sebelumnya menghuni kamarku. "Kudengar dia pindah karena harus dirawat. Dia memang agak sakit-sakitan, tapi dia anak yang baik."

Di tengah obrolan, seseorang menyapa kami, memperkenalkan dirinya sepintas lalu pergi dengan terburu-buru. Sepertinya dia hampir terlambat berangkat bekerja.

"Kakak yang itu tadi tinggal di kamar nomor 7, dia seorang bidan di puskesmas dekat sini," kata gadis di sebelahku. Kami berdua menatap punggungnya hingga lenyap dari pandangan.

Ehh ..., sebentar. Rasanya ada yang salah di sini.

"Kupikir kamar nomor 7 ditinggali oleh anak perempuan bernama Alisa?"

"Hah?" Alis gadis di sebelahku kini mengernyit, menatapku janggal. Ia tak bertanya apa pun, tetapi jelas kurasakan tatapan menyelidik dari sepasang netranya sedang menuntut penjelasan.

"Begini, semalam ada seseorang yang mencoba membuka pintu kamarku ...."

Gadis itu perlahan memucat ketika kuceritakan kembali semua hal yang terjadi semalam, pertemuanku dengan seorang anak perempuan bernama Alisa yang tinggal di kamar paling ujung—tunggu!

Bagaimana bisa aku baru sadar?

Kamarku nomor 12, di ujung kiri. Dan semalam, jika ia menunjuk ke arah kanan dari posisinya, itu berarti ....

Teror Dalam GelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang