The More You Know - @Prythalize

142 41 3
                                    

The More You Know ....

Tidak seperti pagi-pagi biasa yang membosankan, hari ini Bulan berhasil menyelinap keluar dari kelas. Bulan sudah di sekolah sejak beberapa minggu yang lalu. Pasti terdengar keren untuk orang-orang, karena umurnya masih tiga tahun dan dia sudah masuk TK kecil.

Guru-guru juga sering mengatakan bahwa Bulan sangat cerdas karena sudah bisa berhitung dan membaca. Mungkin pengaruh karena memiliki seorang kakak yang lebih tua dua tahun di atasnya, Bulan punya keinginan untuk mencoba mempelajari hal yang sama.

Kembali lagi ke aksi Bulan yang berhasil melarikan diri dari kelas.

Tidak ada sedikit pun rasa bersalah yang terbesit dalam pikiran anak itu.

Awalnya dia sangat senang karena diberi kesempatan untuk bersekolah, tetapi sekarang dia mulai bosan dengan rutinitas di kelas kecil itu; bernyanyi, menggambar, menari, menulis dan banyak hal lain yang dipikirnya merepotkan. Bulan hanya suka dengan jam camilan dan jam bermain.

Semula dia ingin melarikan diri ke kelas kakaknya. Namun belajar dari pengalamannya melarikan diri ke kelas kakaknya, dia berhasil ditemukan oleh salah satu gurunya.

Bulan pun memutuskan untuk melarikan diri ke tempat favoritnya, taman bermain.

Taman bermain saat ini sangat sepi, karena tidak ada anak-anak lain yang bermain di sana. Biasanya, Bulan akan menghabiskan waktu di taman bermain untuk berebut bermain ayunan dari beberapa bocah laki-laki yang merasa bahwa ayunan itu merupakan miliknya. Atau, Bulan akan menunggu di ujung seluncuran karena ada yang terlalu takut untuk meluncur ke bawah. Atau, Bulan akan duduk di ujung jungkat-jungkit karena teman mainnya yang jauh lebih berat dibandingkannya—sebenarnya, Bulan yang kurus.

Berbeda dengan hari biasanya di taman bermain, hari ini adalah hari kebebasan Bulan!

Bulan sudah pernah mencoba bermain seluncuran dan jungkat-jungkit, hanya ayunan yang belum pernah dicobanya. Bulan tahu bahwa cepat atau lambat, dia akan ditemukan lagi oleh guru kelasnya. Guru kelasnya sangat berbakat dalam permainan petak umpet. Bulan harus menggunakan kesempatan emas itu untuk menaiki ayunan itu. Sekarang atau tidak akan pernah lagi.

Dengan perasaan gembira, Bulan menduduki ayunan itu. Walau agak tinggi, Bulan bisa menaikinya. Bulan pernah melihat bagaimana anak-anak cowok naik di ayunan tanpa bantuan guru. Hanya memanjat dari batu tangga di belakang dan tingginya akan bertambah. Bulan sangat bangga karena berhasil menduduki ayunan, walaupun dia tidak tahu caranya membuatnya mengayun kencang seperti yang dilakukan orang-orang. Sekarang, yang harus Bulan lakukan adalah mencoba membuat ayunan ini bergerak.

Digerakannya kakinya dengan agak agresif, berharap bahwa dia berhasil mengendalikan ayunan itu. Meskipun kakinya menggantung di udara, pada akhirnya dia berhasil menggerakan sedikit. Rantai ayunan bersuara agak ngilu. Bulan akhirnya mendongak agak waspada, takut bahwa ayunan itu malah jatuh dan permainannya akan berakhir.

Yang dilihat oleh Bulan saat itu adalah seseorang yang sedang memperhatikannya dari atas gedung. Kebetulan, Bulan tahu sedikit mengenai bangunan sekolahnya. Charles—bocah nakal yang tangannya pernah digigit Bulan—pernah bercerita bahwa kakaknya sudah SMP dan kelasnya ada di lantai tiga. Katanya kelas SD ada di lantai satu dan dua, kelas SMP ada di lantai tiga dan kelas SMA ada di lantai empat.

Orang yang saat ini melihatnya adalah perempuan dan dia ada di lantai tiga.

Keinginan Bulan untuk mengayunkan ayunannya menguap begitu saja. Bulan tetap mendongak, memperhatikan siswi SMP yang kini juga menatap ke arahnya. Perasaan Bulan mulai waspada, dia harus memastikan bahwa siswi itu tetap di sana dan tidak akan turun untuk melaporkannya pada gurunya.

Bulan tidak mampu melihat seragam yang dikenakan siswi itu, karena yang bisa dilihat Bulan adalah kepala siswi itu. Rambutnya panjang dan sepertinya siswi itu memang sangat ingin melihat ke bawah. Kulit wajahnya lebih putih dari kulit Bulan, matanya besar—observasi Bulan yang membuatnya agak cemburu, karena Bulan sangat sipit—dan wajahnya tanpa ekspresi, membuat Bulan merasa bahwa siswi itu sedang mencoba menakut-nakutinya.

"Bulan!"

Panggilan dari salah satu guru kelasnya membuat perhatian Bulan teralihkan. Bulan segera menoleh ke sang Guru yang menatapnya kesal.

"Ini belum jam main, lho. Tadi semua guru cari Bulan. Kak Mentari tadi juga ikut nyari Bulan, lho, karena kira Bulan hilang."

Bulan merasa bersalah dan akhirnya melompat turun dari ayunan. Sang Guru hanya menggelengkan kepalanya karena aksi tanpa pikir panjang Bulan. Digandengnya tangan mungil Bulan untuk menuntunnya kembali ke kelas.

Bulan kembali mendongak untuk mencari keberadaan siswi SMP yang memperhatikannya. Namun, siswi itu sudah tidak ada.

.

.

.

Sebelum hari pertama Bulan yang sudah remaja memasuki tingkat SMP, Bulan selalu menganggap bahwa itu adalah kejadian yang normal dan tidak berkesan.

Bulan bukan tipe yang penasaran dan mencoba-coba naik ke lantai yang bukan tempat kelasnya. Jadi, Bulan benar-benar baru pertama kali naik ke lantai tiga di hari pertamanya masuk tingkat SMP.

Kenyataannya, jangankan melihat ke bawah sana, mampu melihat kantin sekolah yang ada di sudut lapangan saja, sudah sangat berkesan, karena itu artinya seseorang itu sangat tinggi dan mampu melewati batasan penglihatan yang terhalang tebalnya balkon.

Pak Hendra—guru penjaskes—yang tinggi mengatakan bahwa dia bisa melihat lapangan basket yang letaknya beberapa ratus meter di depan taman bermain di tingkat TK.

Sekolah tua tempat Bulan mengenyam pendidikan sejak TK, tidak pernah melakukan renovasi yang berarti. Hanya mengecat setiap beberapa tahun sekali.

Kemudian, Bulan yang mengetahui sesuatu yang baru tersadar sesuatu yang mengerikan semasa TK-nya. Setinggi apa siswi itu, sampai kepalanya bisa melihat keseluruhan taman bermain yang letaknya tepat di bawah bangunan itu?

Bulan ... seharusnya tidak pernah tahu soal ini.

AUTHOR NOTE

Sayangnya di sini tidak bisa mencantumkan gambar, ya.

Karena aku ingin mencantuman bangunan sekolah, logic dari jarak pandang kalau ada di atas dan juga tebal balkon.

Ya, cerita ini dibuat berdasarkan pengalaman nyata yang dialami olehku. Bulan adalah aku yang disamarkan. Tadinya ingin menggunakan sudut pandang orang pertama, tapi penceritaan anak TK sepertinya akan membuat pembaca-pembaca sekalian bingung.

Saat itu pemikiranku benar-benar sangat polos dan belum tahu apapun soal yang begituan.

Aku berusaha mencari kabar soal kemungkinan adanya berita soal siswi yang melakukan bunuh diri / mungkin terjatuh di lantai tiga, tapi aku tidak pernah menemukan berita itu.

Kata papaku yang juga merupakan alumni dari sekolah itu—BTW sekolahnya sudah berumur seratus tahun saat aku SMP 2—juga pernah bercerita soal keangkeran sekolah itu. Soalnya sekolah itu diresmikan saat penjajahan Belanda.

Cindyana 

Teror Dalam GelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang