Skizigo - @Crankie-

142 32 6
                                    

Kubasuhkan sekali lagi air yang berasal dari keran itu untuk memastikan penglihatanku. Namun, sial. Pantulan sesosok makhluk berbalut kain kafan yang kerap disapa pocong itu ternyata memang memandang ke arahku dengan intens dari ujung kamar mandi sana. Rasa-rasanya aku terlalu lama berada di kamar mandi. Dengan berusaha mengabaikan sebisa mungkin, kulangkahkan kedua kaki ini kembali menuju kelas untuk mengikuti mata pelajaran selanjutnya: matematika.

Lorong sekolah tampak begitu sepi bila dilantasi seorang diri. Murid-murid lain tengah bergelumat dengan masing-masing mata pelajaran yang telah dijadwalkan di dalam kelasnya sendiri. Keberadaan kelasku kiranya berjarak tujuh meter dari kamar mandi, melewati empat kelas dan dua papan buletin sekolah. Aku sengaja berjalan sedikit lambat untuk menghindari pelajaran mematikan itu. Awalnya semua terasa biasa, sampai akhirnya kerisauan menyelimuti tengkuk leherku.

Baru berniat memutarkan kepala untuk menoleh ke arah belakang, sebuah embusan napas sudah jelas terasa di salah satu telingaku. Aku pun meneguk salivaku susah payah. Melalui ekor mata, dapat terlihat jelas bahwasannya hal yang meniupi telingaku adalah sosok pocong sebelumnya. Sial. Setiap kali pergi ke kamar mandi, sosok itu selalu mengikutiku hingga sekolah usai. Mengekori ke mana saja tubuh menuntun pergi.

Aku berhasil masuk ke dalam kelas, bertemu Bu Irvina yang sudah mengetahui alasan kepergianku ke toilet, lalu kembali duduk di bangku yang terletak paling dekat jaraknya dengan papan tulis. Dan, ya, pocong itu masih terbang mengikutiku seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu dengan mulut sobeknya. Tumpukan buku yang berada di kolong meja segera kupindahkan ke atas meja. Berusaha sebisa mungkin memusatkan fokus pada bab limit trigonometri yang sedang Bu Irvina jelaskan.

Sial! Sial! Sial! Sosok lain mulai berdatangan. Kuntilanak penghuni pohon di luar yang letaknya persis di sebelah kelasku, bayangan hitam yang merayap di atap yang keberadaannya selalu dijadikan cerita menyeramkan versi sekolahku, wanita berpenampilan dinas dengan wajah yang rusak dan satu bola matanya lepas secara tanggung, adalah tiga hantu lainnya yang paling kutakuti di antara sosok-sosok lainnya.

"Kesva, kamu gak apa-apa?" bisik teman di sebelahku, Anzey. "Mukamu pucat, terus sedari tadi mengeluarkan keringat tak henti-henti. Apa kamu mau pergi ke UKS?"

Aku tidak mampu menoleh ke arahnya karena kuntilanak penunggu pohon itu berdiri tepat di sampingnya. Jadi kukirimkan sebuah sinyal anggukan untuk menjawab tawaran kebaikhatiannya tadi.

"Bu!" Anzey mengangkat tangannya, memecahkan konstentrasi Bu Irvina yang sedang menjelaskan. "Kesva merasa tidak enak badan, saya izin mengantarkannya ke UKS, ya?" lanjutnya.

Bu Irvina manggut-manggut memaklumi setelah melihat keadaanku yang sungguh tidak baik-baik saja. "Tentu, Anzey. Tampaknya Kesva butuh istirahat yang cukup."

Setelah mendapat izin, Anzey bangkit dari tempatnya duduk dan menghampiriku. Ia berusaha membopongku yang memang sudah kelelahan menahan takut. Kami pun keluar kelas dengan tenang. Pun dengan empat sosok yang kusebutkan sebelumnya. Tentu saja mereka masih menggentayangi.

"Kes, kamu kenapa sebenernya? Sejak perayaan ulang tahun kamu seminggu yang lalu, kamu jadi kelihatan kayak orang aneh, tahu gak? Muka sering pucat dan bermandikan keringat tanpa alasan jelas. Pasti ada hal yang mengganggumu, ya?"

Aku berdeham menyahuti. "Kamu ... percaya sama yang namanya hantu?"

Anzey berhenti melangkah dan menatapku sangsi. "Jangan bilang ... kamu lihat hantu?"

"Iya ...?" Kukatakan hal tersebut penuh kebimbangan. "Kamu percaya?"

Harapan itu hanya hidup beberapa detik, sampai akhirnya Anzey tertawa puas terhadap pernyataanku. "Selama seminggu ini kamu melihat hantu? Terus-menerus?"

Teror Dalam GelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang