Rumah Hantu - @ThisisIce

174 43 10
                                    

"Masuknya harus banget dua dua, mas?"

Petugas di depan kami tersenyum singkat dan mengangguk menjawab pertanyaan Rio. Kami menghela napas bersamaan, berpandangan satu sama lain. Tujuh orang.

"Jadi? Ada yang berani masuk sendiri? Atau mau gabung sama orang lain?" Arka menimpali mencari solusi.

Aku melirik sekilas antrian di belakang kami, jika keputusan tidak cepat diambil akan semakin banyak orang yang menunggu. Saat aku masih memikirkan solusi lain, kurasakan seseorang berbisik di telingaku, "Masuk sama aku ya, La. Kan pas ceweknya ada empat, entar anak cowok satu terserah mau gimana. Keburu panjang antriannya."

Sebelum sempat menjawab atau sekadar mengangguk, Dini sudah terlebih dahulu menarik sikuku menuju pintu lorong gelap yang dibatasi kelambu hitam, meninggalkan suara teman-temanku yang samar-samar masih terdengar, juga ingar-bingar pasar malam di luar.

"Eh, beneran gak papa nih?" Aku akhirnya berhasil mengendalikan diri setelah menyesuaikan keadaan dengan cahaya yang berubah kontras di mataku.

"Santai aja kali, atau jangan-jangan kamu takut?" Dini melirik sekilas dengan seringaian yang entah kenapa terlihat sedikit janggal di kegelapan wahana rumah hantu ini.

"Siapa yang ta-"

Belum genap ucapanku, suara tawa melengking yang khas terdengar menguar di sekitar kami.

"Hii hi hi hi hii."

Berteparan dengan lampu remang yang menyala berurutan, aku spontan menggapai tangan Dini dan berjengit kaget. Tidak, bukan karena anak kecil botak yang tiba-tiba melintas di samping kiri ku.

"Tanganmu kok dingin ba ... waaa!" Keterkejutanku semakin menumpuk kala melihat rambut terurai sahabatku. Aku ingat betul sebelum masuk tadi rambutnya diikat satu ke belakang.

Dini memoleh ke arahku dengan tatapan tenang. "Kenapa sih, La?"

Menyadari arah tatapanku, Dini menyentuh bagian belakang kepalanya sedikit mengernyit dan berkata, "Kayaknya karet rambutku lepas deh. Ya udah biarin aja, entar beli di luar."

Aku mengangguk, mengalihkan tatapan dari wajah pucat Dini, ternyata dia juga takut tetapi berhasil menyembunyikan ekspresinya dengan baik. Dia kan anak teater di sekolah, wajar saja ekspresinya bisa sebaik itu.

Kami berjalan menyusuri lorong dengan brrgandengan tangan. Entah perasaanku saja atau memang benar udara di sekitar terasa dingin. Dingin menyakitkan yang sedikit membuat kepalaku berdenyut dan napasku agak terengah.

Langkah demi langkah kami berjalan, Dini di sampingku terlihat sangat tenang bahkan dia tidak menjerit atau terlonjak sama sekali. Tapi aku tahu dari tangannya yang dingin dan pucat, dia juga ketakutan.

Aku merasa langkahku agak menanjak dan tidak rata dari sebelumnya, membuat kakiku gemetar saat akan mengambil langkah selanjutnya.

Napasku tercekat ketika netraku berhasil menangkap beberapa gundukan tanah dilengkapi batu nisan tepat di samping telapak kakiku, terlebih ketika telapak tangan yang hanya tersisa tulang-belulang muncul keluar dari sana.

Lampu remang-remang yang berkedip cepat dan sesosok mahluk berkafan terikat--entah muncul dari mana--dengan wajah hitam seperti terbakar membuatku berlari dan menarik tangan Dini tanpa berpikir dua kali.

Sekelebat bayangan hitam di kanan-kiri kami berusaha kuabaikan, juga kepala hijau bertaring dengan rambut gimbal yang tiba-tiba jatuh menggantung di depan kami. Aku tak sangggup berteriak atau sedikit saja mengeluarkan suara, air mataku nyaris tumpah begitu saja. Tidak, biasanya aku tak sepenakut ini tapi entah kenapa kali ini berbeda.

Teror Dalam GelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang