Paranoia - @SylicateGrazie

138 28 3
                                    

Pintu?

Pemuda itu merogoh saku celananya, meraih besi itu yang terasa dingin di tangannya. Ia memutar kunci, menarik pintu, dan benda itu hanya bergoyang. Pintu itu sudah terkunci. Pria itu memutar lagi kuncinya, ke arah berlawanan. Ia putar dua kali, lalu ia buka pintunya.

Cahaya mentari menembus ruang tamu. Tangannya langsung mendorong potongan kayu berat itu, menutup ruang tamunya, menutup rumahnya yang telah berdebu dan lembab di sana dan sini.

Lagi, ia memutar kunci. Suara besi itu berputar terdengar memekik, seakan-akan ada serangga yang dapat berteriak tiap milimeter putarannya. Namun pemuda itu tidak peduli akan suaranya. Tangannya memutih, ia menggenggam kunci itu terlalu erat.

Terputar dua kali, ia melangkahkan kakinya ke belakang, menabrak meja kopi. Tubuhnya membeku.

Seharusnya ia tidak membuat suara sama sekali.

Satu....

Ia menahan napas. Giginya bergemeletuk, ia tahu, ia takut ia akan ketahuan. Ia gigit bagian dalam pipinya sementara kedua tangan terkepal erat, bergetar.

Dua....

Matanya menatap kanan dan kiri, meneliti jendela-jendela yang sudah ia lapisi dengan kertas koran. Tidak akan ada cahaya mentari yang akan menembus kaca itu, tidak akan ada siapapun di luar sana yang dapat mengintip. Tidak akan ada sosok yang akan berdiri di depan sana, menatapnya dengan tatapan kosong dengan belati di tangannya.

Ya, 'kan?

Ti... ga...?

Bahunya melemas, napasnya tidak lagi tercekat. Cahaya lampu memenuhi ruangan itu, ia tidak perlu takut. Tidak akan ada yang mendadak keluar dari balik sofa lalu menusuknya dari belakang. Tidak akan ada yang menembaknya, ia dapat melihat segalanya di ruang sempit ini.

Ia aman, keluarganyapun juga. Tidak akan ada yang menyusup, dan tidak akan ada pula yang terlepas.

Diambilnya pisau yang sedari tadi tergeletak di lantai. Ia genggam benda itu, mata tetap melirik ke segala arah, lalu mulai berjalan pelan menuju ruang tengah.

Ia mendadak berbalik, memperhatikan pintu utama sekali lagi. Kunci masih tertempel di sana. Tidak, tidak perlu ia ambil. Toh, tidak akan ada yang memutar kuncinya.

Suasana ruang tengah itu sama saja. Dinding putih ruangan terlihat kotor. Terdapat bekas-bekas telapak tangan kecil berwarna hitam, tangan adiknya yang selalu bermain dengan krayon dan brkas sumbu lilin yang terbakar. Tanaman palsu di sisi televisi tanpa layar terlihat kusam, warnanya telah memudar. Kapan terakhir kali ibunya membersihkan benda itu? Tidak, ia tidak ingat.

Ia memukul kepalanya dengan ujung gagang pisau itu. Kepalanya berdenyut, sensasi getaran lambat dan memekakkan tengkoraknya membuatnya ngilu.

Namun ia tetap tidak mengingatnya.

Telepon kabel di ujung ruangan tidak menyala. Ketika ia mengangkat benda itu, tidak ada nada yang keluar. Biasanya ada, bukan? Biasanya tiap benda itu berdering dan ia mengangkatnya, ia akan mendengar teriakan. Bentakan-bentakan keras yang kini jika ingin ia ingat lebih terdengar seperti suara gergaji mesin tepat di samping telinganya.

... Tidak, itu tidak pernah terjadi. Ia menempelkan jemarinya ke telinga kanannya.

... Tidak pernah... terjadi....

Krak!

Kakinya, kakinya menginjak sesuatu. Sesuatu yang keras, tajam. Ia menunduk, menatap sebuah figura dengan foto keluarga di dalamnya. Diambilnya benda itu: persegi, lapuk, terdapat noda darah--kakinya, kakinya berdarah ketika menginjaknya, ya? Namun tidak ada rasa sakit--ah, foto keluarganya.

Di sana mereka berfoto, di ruang tamu depan. Dirinya, dengan rambut acak-acakan berdasi pita. Di pangkuannya, balita kecil dengan terusan putih, dan di sisi kanan dan kiri mereka... seorang wanita berantik berlian dan pria yang....

... Wajah pria itu hitam, seseorang telah membakar bagian wajah pria itu.

Pemuda itu melempar figuranya, menatapnya jijik.

Ia berjalan, meninggalkan jejak merah di tiap langkahnya. Ia bergumam pada dirinya sendiri, membisikkan dirinya kata-kata pemenang yang tidak pernah ia dengar dari orang lain.

"Semuanya sudah selesai," ucapnya, "ia tidak akan menemukannya, ia tidak akan menemukanku.

"Aku aman, keluargaku aman. Semuanya baik-baik saja.

"Ayah tidak ada, sekarang aku yang harus melindungi semuanya. Semua akan baik-baik saja, masih ada aku di sini."

Tangannya bergetar, perlahan memeluk dirinya sendiri.

Ia berjalan menuju ruang makan: sebuah ruangan besar dengan meja bundar di tengahnya. Tidak ada apa-apa di sana. Ia melirik jam dinding, pukul dua belas, lewat beberapa menit. Ah, waktu makan siang. Adiknya harus makan, seharusnya ia ingat. Ia pasti lapar.

Tangannya terjulur, membuka sebuah laci di ujung dapur. Ia mengambil satu kotak sereal, ujung-ujungnya telah terkelupas, tetapi tak apa. Makanan adalah makanan, adik rakusnya tidak akan menolak. Ia pandangi isi kotak itu, sereal jagung kuning, sedikit kehijauan. Ia ambil segenggam di tangannya, lalu mengembalikan kotak itu pada tempatnya.

Ia berjalan menuju sebuah pintu putih, cakaran-cakaran kuku berserakan. Ia buka pintu itu, berdecit-decit. Aroma busuk memenuhi ruangan. Namun hidungnya tidak sedikitpun berkerut. Aroma itulah yang selalu ia hirup tiap kali bertemu dengan sosok yang paling ia sayangi. Bibirnya yang sedikit demi sedikit terkelupas tersenyum pahit.

"Hei, waktunya makan siang," ujarnya lemas.

Di sana, di kasur besar berselimut tebal, terdapat ibunya. Mata tertutup, kulit pucat, sedikit membiru. Ia memeluk adiknya, tertidur pulas, mungkin lupa bernapas.

Sang kakak duduk di sisi kasur. "Ayo, makanlah," ucapnya. Ia buka genggamannya, menempelkan sereal-sereal itu ke mulutnya. Dengan ibu jari, ia buka bibir kecil adiknya. Sebuah benda kemerahan keluar. Kenyal, entah apa. Pemuda itu mendengkus. "Kau tidak menghabiskan stroberimu," ucapnya lirih. Ia ambil benda itu, lalu melemparnya ke ujung ruangan, tempat di mana makanan-makanan busuk tersimpan dengan serangga-serangga berkaki banyak bersemayam.

"Ibu, ibu tidak mau makan?" Pemuda itu menatap ibunya. Reaksi? Nihil, hanya seekor cacing mendadak keluar dari lubang hidungnya.

"Bu, ibu harus makan," pintanya, "aku tidak mau ibu sakit... ayah tidak akan kembali, kenapa ibu tidak percaya padaku?"

Tidak ada respons. Pemuda itu mengembuskan napas berat. Ekor matanya melirik lemari pakaian di sisi kamar. Kokoh, kuat, cairan merah kecokelatan yang sudah menggumpal terlihat mencair keluar dari dalamnya.

Pemuda itu menyelipkan tangannya di bawah tubuh dingin adiknya, juga ibunya, laku memeluk keduanya. "Tidak akan ada yang menyakiti kalian lagi," ucapanya, "aku janji. Tidak akan ada. Aku menyayangi kalian berdua. Aku mencintai kalian. Jangan tinggalkan aku, kumohon...."

Lagi, ia melirik lemari itu

Teror Dalam GelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang