❀sebelas❀

22.1K 2.3K 165
                                    

•°•°•

Malam harinya Mark dan Jisung bahkan tidak berniat untuk pulang dan beristirahat di rumah ataupun tidur di kasur yang besar dan empuk dengan penghangat ruangan yang menyala. Justru, sebuah taman yang tidak cukup penerangan dan udara yang dingin adalah pilihan keduanya untuk merenung dan memikirkan satu orang yang sama, Haechan.


"Siapapun orang yang pernah melahirkan, pasti akan merasa sakit hati ketika anaknya bersikap sepertiku. Terlebih, sempat membenci dan tidak pernah membalas kebaikannya sama sekali." Jisung menundukkan kepalanya ketika ia duduk diam di sebuah ayunan. Memegang erat rantainya.

"Papa pantas melakukannya. Aku juga pantas mendapatkan semua ini. Rasa sakit papa, mungkin tidak akan pernah terobati." dia melanjutkan dengan sebuah gumaman lirih.

Tanpa di sadari satu sama lain, keduanya meneteskan air matanya. Perasaan yang sama. Dulu membuang, dan sekarang mereka mengemis.

Cih!

"Siapapun orang yang ayah perlakukan sama dengan apa yang ayah lakukan kepada papa dulu, mereka juga pasti akan melakukan sesuatu yang sama dengan papa. Meninggalkan apa yang menyakitinya dan mencari kebahagiaannya. Kau benar. Rasa sakit papa, mungkin sudah terlampau dalam. Sehingga, papa tidak ingin menoleh kembali pada kita."

Kepala Jisung terdongak, menatap langit malam yang sedikit mendung. Bintang tak menunjukkan dirinya, hanya tinggal bulan sabit yang menemani langit. Mark tersenyum kecut. Dulu, ia mengacuhkan Haechan, menertawakan Haechan yang mengemis cinta kepadanya. Sampai-sampai, laki-laki itu dia renggut mahkotanya. Dan kini, justru ia yang mengemis sebuah maaf dan sepercik cinta kepada Haechan.

Mark benar-benar pria paling menyedihkan.

Dia melirik ke samping, tepat kepada putranya yang terdiam. Bibirnya melukiskan sebuah senyum hangat. Kali ini, ia tidak boleh menyiakan apa yang ia miliki dengan Haechan, darah Haechan juga mengalir di diri Jisung.

"Hey! Jangan bersedih. Ayo, ayah gendong." Mark beranjak dari duduknya dan berjongkok membelakangi Jisung. Menyuruh anak itu untuk naik ke punggungnya.

"Apa?"

"Hapus air matamu, jangan biarkan mata dan pipimu basah. Naiklah." Mark tersenyum dan melirik Jisung lewat ekor matanya. Ia bisa melihat bagaimana anak itu mengusap kasar mata dan pipinya kemudian naik ke punggungnya tanpa ragu.

Mark berdiri setelah Jisung naik ke punggungnya. Kakinya melangkah pelan, dan saat itu juga ia bisa merasakan tangan Jisung yang melingkari lehernya. Nyaman sekali, begitu hangat.

"Ayah." Jisung memanggil. Suaranya teredam karena dia melesakkan wajahnya pada bahu tegap Mark. Merasakan hangatnya punggung seorang ayah.

"Kau benar-benar pria menyedihkan. Kau juga pria bajingan yang sudah menyakiti papaku."

Mark tertawa mendengarnya. Kemudian ia membalas, "Mmhm, kau benar. Ayah ini bajingan menyedihkan." dia terkekeh.

"Dan kau adalah pria beruntung yang lahir dari perut seorang malaikat seperti Lee Haechan, bagiku dia tetaplah Lee Haechan. Kau juga beruntung karena kau lahir tidak dengan diriku. Ayah tidak menjamin keselamatanmu jika seandainya waktu itu papamu memberitahu ayah semuanya."

Yang terpikir oleh Mark saat itu hanyalah Jaemin dan segala kesenangannya. Tidak memikirkan Haechan atau akibat dari apa yang dia lakukan kepadanya. Jadi Mark merasa benar saat Haechan memilih pergi atau Mark sendiri akan menyuruh Haechan untuk menggugurkannya.

Mark bukan lelaki yang bertanggung jawab saat masa sekolahnya.

"Tapi,"

Mark terdiam untuk mendengarkan Jisung.

sad movie ⑅ markhyuck versTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang