Memangkur Elegi

5 0 0
                                    

Setelah jatuh yang baru saja kualami, tampaknya logika masih belum mau membuka hatinya lagi. Ia takut, hatinya yang baru saja sembuh, bisa jadi bersimbah peluh.

Aku telah berkorban waktu, materi, pun pikiran untuk menepi dari laut yang kupilih sendiri. Laut keras yang bisa menenggelamkan juga melangitkan dengan segala komitmennya.

Satu dua hikayat pernah mencoba datang untuk menawarkan janjinya. Tapi, Tuhan sedang berpihak kepadaku. Aku menyambutnya dingin, dan Tuhan mengaamiinkan. Memerankan sosok antagonis yang tidak sepantasnya kulakukan. Kukatakan kepadanya agar ia mengerti:

"Sebentar saja aku sendiri. Tampaknya aku masih mampu untuk memangkur elegi."

"Aku trauma dan aku butuh waktu untuk kembali bahagia, pun membahagiakan. Entah diriku sendiri, atau dirimu, segalanya perlu proses. Jadi, maaf, logikaku masih sehat untuk tidak memaksakan kisah yang terlampau prematur."

"Seharusnya kamu paham," Pungkasku seraya mempersilakan ia berbalik arah.

Semuanya tak menjawab, tampaknya mereka tahu betul aku butuh jeda. Kututup kembali tirai panggung hikayat yang baru. Serta kupadamkan perapian di sudut ruangan.

Agar orang di luar tak tahu aku di dalam.
Agar orang di luar tak tahu aku sedang dibunuh malam.

Dan,
Agar aku tak perlu sibuk membalas pesan.

Bekasi, Indonesia
2018

RebahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang