PART 10 KHITBAH

503 22 2
                                    

"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, tetapi janganlah kamu mengadakan perjanjian dengan mereka secara rahasia, melainkan sekadar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu pastikan akan mengakadkan nikah, sebelum yang tertulis habis waktunya. Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.(QS.Al-Baqarah: 235)."

Rayhan tengah bersiap untuk acara nanti malam dan barang apa saja yang akan mereka bawa ke rumah Maryam. Senyuman pria itu lekat dan awet seperti hujan bulan Juni. Membuat Ummi dan Abi Rayhan turut merasa bahagia. Bahkan Paman dan Bibi Rayhan yang tinggal di Bandung turut serta membantu persiapan acara pinangan tersebut.

"Rayhan, ayo turun dulu, Nak, kamu belum sarapan dari tadi pagi dan sekarang sudah masuk adzan dzuhur. Jangan sibuk sama persiapan nanti malam, semua sudah beres semua, Nak!" perintah sang Ummi yang terdengar begitu nyaring dari tangga bawah.

"Astaghfiru Allaha al-'Adhim Ummi kebiasaan kalau manggil pasti meninggikan satu oktaf." Rayhan menutup pintu kamarnya lalu berjalan menuruni tangga untuk ikut berkumpul dengan keluarganya. Terdengar tangisan bayi dari salah satu saudara Rayhan, lelaki itu menghampiri sepupunya yang sedang menggendong anaknya dan mencoba menenangkan tangis bayi itu.

"Afwan Nafisah coba sini Abang bantu tenangin bayi kamu, mungkin dia sangat rindu dengan pamannya ini benar 'kan, Fatwa?" tanya Rayhan sambil mengambil alih bayi itu dan menimangnya, Rayhan mulai membacakan sholawat nabi.

"MasyaAllah, Bang, kenapa Fatwa pas digendong sama kamu dia tidak rewel lagi. Padahal tadi aku dan suamiku sudah mencoba menenangkan dia tetapi tetap saja menangis, sampai-sampai aku putus asa untuk merawatnya. Bahkan aku berpikir jika aku bukan Bunda yang baik untuk Fatwa."

"Jangan berputus asa Nafi, mungkin kamu masih belum terbiasa menjadi seorang ibu bagi Fatwa. Oleh sebab itu dulu Abang pernah bilang jangan terburu-buru mengambil keputusan untuk menikah, karena pernikahan bukanlah ajang untuk perlombaan. Ulama Hanafiyah mengartikan pernikahan sebagai suatu akad yang membuat pernikahan menjadikan seorang laki-laki dapat memiliki dan menggunakan perempuan termasuk seluruh anggota badannya untuk mendapatkan sebuah kepuasan atau kenikmatan." Rayhan duduk di sofa lalu menidurkan Fatwa di ranjang bayi.

"Afwan, Bang terima kasih atas ilmu dan sarannya, mungkin dulu memang Nafi belum paham banget masalah rumah tangga. Dengan berjalannya waktu aku akan memperbaiki semuanya untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk keluarga." Nafisah mengusap pipi putrinya lalu mencium kening Fatwa, Fahri suami dari Nafisah menghampirinya dan memeluk istrinya dari belakang.

"Bunda anak kita udah tidur, tadi aku dengar Fatwa An-nisa menangis dan sekarang kenapa dia sudah diam dan tertidur seperti itu ?" tanya Fahri mengusap pipi Nafisah lalu mencium pipinya, Rayhan yang melihatnya lalu memalingkan wajahnya.

"Ekhem Mas Fahri sebaiknya kalau mau seperti itu tolong yah, hargain yang masih jomblo seperti Bang Rayhan." Nafisah dengan nada menyindir Rayhan dan terkikik karena melihat wajah sepupunya memerah.

"Ehh maaf, Bang Rayhan, mangkannya cepet-cepet halalin Kak Maryam nanti kalah cepat sama orang lain loh," sindir Fahri lalu tertawa sedangkan Rayhan sudah siap akan mencubit suami sepupunya itu tetapi Fahri berlari menuju ruang keluarga dan berlindung dibelakang Ummi Nazwa. Mereka semua hanya tertawa melihat kelakuan Rayhan dan Fahri.

"Sudah-sudah sebaiknya kalian bersiap untuk acara nanti malam, dan kamu Rayhan bukannya makan siang malah main lari-larian seperti anak kecil!" perintah Ummi Nazwa dengan membawa puding coklat di tangannya lalu Rayhan mengambil puding yang sudah dipotong Ummi dan memakannya dengan lahap.

ISTIKHARAH CINTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang