Prolog

78 8 9
                                    

Ini bukan kamarku,
Ah! Bahkan bukan ruangan terakhir yang aku tempati.

Hawa dingin yang menyelimuti tubuhku menandakan bahwa aku berada di tempat yang tidak pernah disinari cahaya matahari, terlebih alas tidurku yang keras dan terasa cukup dingin hingga menembus poriku. Akh! Jangankan kasur empuk yang memberiku kenyamanan di pembaringan, nyatanya bahkan tidak ada kain yang menutupi alas keramik yang lamgsung bersentuhan dengan punggungku.

Dimana ini?

Aku mulai membuka mataku perlahan, hal yang pertama aku lihat adalah sebuah cahaya lampu terang tepat di atas kepalaku, aku rasa sinar lampu ini setidaknya memberi sedikit kehangatan untuk melawan suhu dingin yang semakin mencekam.

Kedua, aku memperhatikan sekeliling ruangan hingga akhirnya aku sadar, kini aku terbangun di sebuah ruangan berukuran 3x3 meter persegi dengan tinggi berkisar 5 meter berdinding stainless, dan keramik putih bersih tanpa alas.

Aku mengenakan pakaian berwarna hijau dilengkapi dengan penutup kepalanya. Aku menyadari sesuatu. Aku telah melakukan operasi pada perutku, tepatnya pengangkatan kista dari rahimku. Sebelumnya aku berada di ruang stainless berukuran lebih besar dari yang sekarang, dengan brankar di tengah beserta lampu-lampu kebutuhan operasi. Serta para perawat yang menyambutnya seolah-olah mereka tidak akan melakukan apapun.

***

Memanggil namaku setelah pintu tertutup,

"Kimberly Bernadette."

Mereka tersenyum, salah satu perawat perempuan cantik menuntunku. Aku tidak terlalu merasa sakit, tapi sejak tadi para pelayan rumah sakit ini selalu memanjakanku. Membawaku dengan kursi roda. Memapahku seakan aku adalah pasien yang tidak bisa berjalan. Dan sekarang bahkan perawat cantik ini, menuntunku menuju brankar dengan membawa sebuah buku catatan yang aku tidak mau tahu tertulis tentang apa. Mereka tersenyum. Menungguku untuk berbaring di sana. Sudah tersedia beberapa peralatan bedah yang tak sedikitpun aku berani menengoknya.

Air mataku kembali menetes. Ini bukan karena sakit, aku tidak menderita sejauh ini. Tapi rasa takutku, jauh membuatku merasakan sakit daripada tumor yang tidak bahkan tidak terlihat besar di bagian perutku.

"Hei, kenapa menangis? Emang kita mau apa coba di sini? Ga ada yang bakal nyakitin kok yah"

Sambut perawat laki-laki yang sedari tadi menunggu kini melangkah menyusul tempatku. Ia berwajah imut, hingga sedikit menghiburku dengan sajian tampangnya.

Aku tersenyum, mereka mulai sedikit tertawa dengan candaan ala-ala mereka. Sebenarnya sangat lucu, tapi aku masih tersenyum tipis karena tidak fokus terhadap dialog mereka.

Semua alat sudah terpasang di bagian tubuhku, hingga detak jantungku terdengar. Kini semua hening, terdengar mulai serius. Rasa takutku kembali membayang.

"Hayo ngelamun, takut yah? Gapapa, pasang infus dulu yah?" kembali celetuk perawat imut yang terlihat selalu ceria.

Aku hanya mengangguk. Mulai menutup mataku karena takut terhadap jarum yang akan menusuk bagian tubuhku, lagi.

Aku merasakan ngilu saat jarum infus mulai masuk ke pergelangan tanganku, sepertinya dia memasukannya terlalu dalam. Aku hanya mengernyitkan dahi dan menahan nafas, demi menahan air mataku supaya tak menetes lagi.

Rupanya perawat imut itu menebak raut wajahku. Setelah memastikan bahwa aku merasa sakit, dia mulai menarik jarumnya. Aku merasakannya ketika jarum itu ditarik perlahan, sebuah benda berbentuk silinder kecil yang ditarik dari dalam kulitku--Ah! Aku merasakannya seperti sebuah benang yang ditarik dari kainnya. Sedikit, ngilu namun akhirnya aku kembali bernafas lega.

Leyl The WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang