Professor Anderson

6 1 0
                                    

Cahaya matahari menyilaukan, menyorot dibalik jendela kaca kamar. Meskipun tertutup gorden putih namun cahaya silau itu berhasil membangunkan Naomi yang sebelumnya terpulas di sofa berwarna cream kamar Emma Chamberlain.

Maklum di kamar Naomi tidak pernah tertepa cahaya matahari. Ia tidak menyukainya, kamarnya bahkan cukup tertutup untuk tidak dilihat siapapun. Ia menutup rapat jendelanya supaya jika pagi matahari tak menggugupi. Baginya tak ada waktu untuk tergesa, bersikap tenang adalah hal yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan semuanya.

Memang berbeda dengan budaya di negaranya yang terkenal serba cepat namun ada yang perlu orang tahu, bahwa cepat bukan berarti harus tergesa. Naomi tau waktunya, sehingga memungkinkannya melakukan sesutu atas perhitungannya.

Juga, bersikap tenang bukan berarti malas. Seperti yang selama ini ia lakukan, bekerja dalam diam, tapi selalu selesai tanpa kualahan. Baginya konyol sekali orang yang tergesa, memondar-mandirkan dirinya justru membuat kerjanya berantakan.

Naomi menatap wanita yang masih terpulas di ranjang, infusnya sudah mulai habis. Ia segera beranjak dan menggantinya.

Tok! Tok! Tok!

Naomi melangkahkan kaki, lalu menempelkan ID card milik Emma untuk membuka pintu. Wanita berambut hitam dengan lisptik merah menyala, tersenyum padanya.

Ia melangkahkan kakinya masuk, lalu meletakkan semangkuk bubur di meja samping tempat tidurnya.

"Bagaimana tidurmu?" tanyanya basa-basi.

Naomi hanya tersenyum kecut setelah duduk di sofa cream yang menjadi tempat tidurnya.

"Good job!" lanjutnya seraya menepuk pundak Naomi tanda apresiasi.

"Ini belum berakhir," jawab Gadis berkacamata itu dengan nada datar seperti biasanya.

"I know, terimakasih sudah membantuku sejauh ini," jawabannya lagi, kali ini dia cukup tenang tak seperti biasanya. Hal ini membuat Naomi justru semakin risih dan merasa aneh.

"Ada apa? Hah?" tanyanya to the point.

"What?" Delyna justru terlihat bingung dengan pertanyaan Gadis berponi yang kini berani menatapnya langsung.

"Kau mulai berubah," jawabnya sambil tersenyum kali ini "banyak yang bilang orang yang akan mati mendapat kesempatan untuk berbuat baik, sepertinya itu juga terjadi padamu."

Dan Naomi tidak berubah, ia bahkan membuat dark jokes yang membuat siapapun yang menjadi objeknya pasti merasa kesal.

Namun lagi-lagi Delyna hanya tersenyum padanya, hingga justru membuat Naomi seperti kehilangan sosok Delyna yang sesungguhnya.

"Aku akan memeriksa ruang Autopsi. Setelah itu kita harus berkumpul jam delapan pagi di Auditorium utama, jangan lupa Okay. Untuk waktu jaga serahkan pada si Kembar," lanjutnya ia hendak melangkahkan kakinya namun sepertinya ia urungkan kembali.

"Oh ya, jangan lupa berikan bubur itu, aku membawanya dari kantin. Sepertinya Mrs. Emma belum makan dari kemarin. Dia mengalami ketakutan. Aku harap kondisinya membaik," ucapnya kini dengan lemparan senyum terbaik yang pernah ia lakukan.

Naomi hanya mengangguk tanda setuju, lalu mengantarkan Delyna pergi ke luar pintu. Naomi melihat Emma yang sudah membuka matanya.

Naomi segera meraih bubur yang diberikan Delyna. Ia berusaha seramah mungkin untuk menyuapinya. Namun Emma justru menepisnya hingga bubur itu tumpah di lantai.

"Lebih baik aku mati kelaparan daripada memakan racun yang kau berikan?"

"Apa?" tanya Naomi heran, dalam hati ia sangat kesal akan perlakuannya. Dark jokes yang dibuatnya untuk Delyna bahkan tidak berlaku untuk Emma. Ia masih saja berlaku buruk meski tahu kapan malaikat maut menjemputnya.

Leyl The WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang