Lorong asrama, Lt. 10 lengang. Hanya kebisuan yang menemani langkahku, sebuah jam digital menyala berwarna merah di ujung tembok menunjukkan pukul 11.00 pm. Dua jam setelah jatuhnya guru fisika dari ketinggian 45 meter. Sebuah kamera pengawas terpasang tepat di atas jam digital yang menyala dari kaca film berwarna hitam yang tertanam di tembok.
Aku tidak memikirkan hal itu. Bukankah Ms. Delyna memang mengatakan bahwa pembunuh pintar sepertinya tentu akan mensabotase kamera pengawas sebersih mungkin.
"Kau mengacaukannya, Jack! Karena tindakan bodohmu pasti si bodoh Delyna itu semakin memojokkan kita sebagai tersangka!"
Suara yang terdengar tertahan itu menarik perhatianku.
"Aku mencintainya, Emma. Sangat mencintainya. Aku tak bisa lagi menahan diri untuk tidak memilikinya."
Kali ini dari suara yang berbeda. terdengar sangat bergetar. Aku yakin dari nada suaranya dia saat ini tengah menahan tangisnya.
"Oh my God! Jack! Kau hanya terobsesi padanya. Kau mencoba mem.... Arghhhhhh... Kau benar-benar ceroboh. Aku sudah mengingatkan bahwa kita bisa bermain secara halus. Tapi kau tidak sabaran rupanya!"
Aku berada di depan pintu sumber suara sekarang, tepatnya di depan kamar asrama milik Emma Chamberlain.
"Cukup Emma! Tidak seharusnya kau menyalahkanku! Kau seharusnya menjadi orang yang paling mengetahui perasaanku saat ini bukan?"
Hal bodoh yang mereka lakukan adalah tidak menutup pintu dengan rapat sehingga ruangan kedap suara kini tidak menyerap suara dengan sempurna, suara keduanya terdengar semakin nyaring. Tidak ditahan seperti sebelumnya. Mereka kelepasan emosi!
"Apa kau becanda? Kalian bukan lagi remaja yang sedang dilanda asmara bukan? Kekanak-kanakan sekali."
"Kau!" Ia menahan kalimatnya, geram. "Seharunya kau yang mati Emma! Bukan mereka. Atau aku yang akan memberi tahu mereka kalau kau yang memberi obat itu pada minuman Nyonya Nelson hingga membuatnya...
"Jangan bodoh! Jika kau tidak bisa menutup mulutmu, aku bisa menutup usiamu Jack!"
Brak! Refleks. Aku membuka pintu keras. Sengaja mengagetkannya. Emma segera menjatuhkan pisaunya yang sedari tadi diacungkan ke muka Jack, yang kulihat dari celah pintu. Emma jelas panik, sementara Jack. Aku tidak mengerti ekspresinya. Barangkali dia jauh lebih panik, tapi bukan karenaku kurasa. Dia sedikit lebih tidak tenang, entahlah. Dia sangat kacau.
"Mr. David!" sergahku, seraya menarik tangannya saat ia mencoba pergi setelah beberapa detik aku hanya memandangi mereka.
"Bukankah ini asrama guru perempuan sedang apa anda di sini?" aku bertanya sangat sopan kemudian.
"Oleh karena itu saya akan segera pergi. Saya harus kembali ke kamar saya sekarang. Permisi."
Ia menarik tangannya kuat, hingga genggamanku terlepas tentunya.
"Tunggu! Ada sesuatu yang ingin aku katakan!"
Ucapku, rupanya berhasil menghentikannya sebelum melewati pintu. Ia berbalik memandangku seksama. Aku masih menarik nafas, sebenarnya tentu saja aku lebih gugup. Menghadapi dua orang yang lebih terhormat.
"Jangan ikut campur, Kimberly."
Suara itu membuatku mengalihkan pandangan kepada pemilik kamar.
"Melihat anda hendak membunuh Mr. David, dan anda meminta saya tidak ikut campur? nyonya Emma..
"Diam! Kau hanya bocah pungut yang beruntung mendapatkan hati seorang anak Petrov. Jangan sok!"
"Aku merekam suara Anda Nyonya Emma. Tanpa mengurangi rasa hormatku dan sopan-santunku, tidak bisakah kau berlaku lebih lembut padaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Leyl The Writer
Mystery / ThrillerApa jadinya jika kau menulis cerita tragis kemudian menjadi nyata? Jika sebuah cerita biasanya diangkat dari kehidupan nyata, maka kehidupan nyata ini terjadi berdasarkan sebuah buku cerita. https://my.w.tt/DqJd164r8bb