Lab

26 2 0
                                    

Jack David, ditemukan dalam kondisi yang sama persis seperti yang Leon katakan. Beberapa pil bulat berwarna putih berserakan di lantai, mukutnya menganga dengan lidah menjulur, pergelangan tangan kirinya teriris hingga kini menimbulkan genangan darah di lantai tempatnya tergeletak, juga masih adanya pisau di tangan kanan Jack.

"Apa maksud semua ini, Leon?" tanya Delyna menggertakkan giginya seraya menarik kaos yang dikenakan kekasihku, Leon. Aku tahu perasaannya pasti kacau saat apa yang dikatakan Leon terjadi tepat pada guru bertubuh besar yang kini terkulai.

"Bagaimana kamu mengetahui semua ini? Bagaimana kamu tahu kondisi yang sama persis dialami oleh korban sebelum kau melihatnya? Cctv? Bawa rekaman itu jika memang kau melihatnya!" lanjutnya kali ini dengan nada yang terlontar keras sehingga menggema di ruang putih berukuran 16×9 meter.

"Aku..." Aku tahu, Leon tidak mungkin mengatakan bahwa semua ini dari buku yang ia baca. "Aku akan segera menemukan pelakunya!" Lanjutnya mantap.

Perempuan berusia dua puluh tahun itu masih menatap sinis ke arah mata hitam milik kekasihku.

"Jangan mimpi," dengusnya bengis. "Aku mencurigaimu. Karena kelakuan anehmu sekarang. Hanya pembunuh yang tau kondisi korban saat dia meninggal," ucapnya pelan namun penuh penekanan.

"Bukankah harusnya kami yang bertanya Ms. Delyna?" kataku kemudian, setelah mencoba mencerna semua kronologisnya. Lagipula aku tidak suka jika Delyna mengintimidasi orang yang kusayangi. Tak akan kubiarkan.

Aku melihatnya terbelalak, mengalihkan pandangannya kepadaku.

"Apa?"

"Dimana anda berada setelah wawancara Jack selesai? Tepatnya pukul 08.00? Kau belum sempat menjawab pertanyaan kami tadi kan?"

Dua orang petugas keamanan datang, kembali menenggelamkan pertanyaan kami yang masih menjadi retoris. Sial!

"Aku ingin kalian mengamankan dua gadis ini?" pinta Delyna kepada dua petugas yang baru saja melangkah tepat di depannya.

"Apa? Apa maksudmu?" ucap salah satu gadis kembar itu yang usianya lebih tua.

"Ms. Delyna. Kami sudah berusaha membantumu, kenapa kau justru menangkap kami?" lanjut kemudian kembarannya, sedikit merengek.

"Aku tidak bisa membiarkan saksi pertama dalam tiga kasus berturut-turut berkeliaran," jawabnya sarkas.

"Kau lupa bahwa ada satu petunjuk yang kau lupakan?" lanjut Charyl.

"Apa lagi yang kau tahu?" mata hitam Delyna menyorot mata biru milik Cheryl dengan tajam.

"Lepaskan kami!" jawab Cheryl menatapnya bersungut-sungut.

Delyna melangkah mundur, memetikkan jarinya sebagai tanda bagi petugas keamanan untuk mengamankan kedua saksi kembar di hadapannya.

" Tiga, dua belas, dua puluh dua, sebelas, sepuluh, " jawab Carrol seraya mengikuti langkah petugas keamanan yang telah dipinta untuk menangkapnya tanpa melawan. Sementara Charyl terus berusaha melawan.

"Kenapa kau menangkap saksi? kami berada di tim-mu Delyna," Charyl angkat bicara. Berharap bahwa Delyna akan memberikan kesempatan.

" Empat, sembilan, sembilan, dua puluh enam," lanjut Carrol yang ucapannya terpotong oleh ocehan kembarannya.

"Biarkan kami menjadi saksi satu korban lagi," teriak Charyl seraya menendang pintu diujung tariakannya.

"Aku tidak punya waktu lagi, aku harus segera pergi menemui Anderson," celoteh Delyna dengan dirinya sendiri seraya mengangkat kakinya untuk pergi.

Leon segera meraih tangannya sebelum kaki yang mengenakan heels hitam itu terus melangkah.

"Ms. Delyna. Jika anda tidak bisa memberi penjelasan waktu dimana anda pergi saat peristiwa ini terjadi. Maka aku yang akan bertindak untuk mengungkap kasus ini, dan aku pastikan bahwa anda menjadi tersangkanya, bahkan aku pasti menemukan bukti bahwa anda adalah pelakunya," sarkas Leon lengkap dengan tatapan sinisnya.

Leyl The WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang