TKP

25 4 0
                                    

Aku memandangi ruangan berukuran 10x10 meter kubik dengan lantai berwarna putih yang dibiarkan adanya bekas darah membentuk lingkaran sempurna menghiasinya. Tidak ada garis polisi untuk menyegel tempat, hanya sebuah pintu yang tertutup dengan password baru yang tidak diketahui siapapun kecuali Naomi, dan aku--baru saja.

Seluruh kelas memiliki akses Doble lock di setiap pintu. Yang pertama adalah sidik jari, yang artinya hanya dapat dilakukan oleh anggota kelas yang terdaftar dan seorang guru yang mengajar di kelas hal ini juga sebagai tanda absensi kelas. Selanjutnya adalah password berupa 3 digit angka untuk membuat pintu terbuka.

"Hi! Apa yang kamu lakukan?"

Sontak suara itu membuatku kaget, dan membuyarkan lamunanku. Wanita berambut hitam, degan kulit tan eksotis melangkah mendekatiku. Ah, dia guru psikologiku.

"Kimberly, jadi apa yang membuatmu tidak menghadiri apel untuk penyelidikan hari pertama tadi."

"Aku tidak mengerti, aku berada di UKS saat bangun. Dan sebuah pesan dari nomer tak dikenal muncul di ponselku. Memintaku datang ke TKP lengkap dengan password baru yang dikirimnya," jawabku berusaha sesopan mungkin.

"Kau gegabah atau ceroboh, TKP bukanlah tempat yang baik untuk dikunjungi. Selain berbahaya karena pembunuh itu akan kembali membunuh di tempat yang sama, bisa saja dia menjebakmu untuk menghilangkan jejaknya."

Seketika jantungku bergetar, tidak banyak yang aku tahu mengenai kasus kriminal. Tentu aku melakukan kesalahan yang tidak dapat aku mengerti. Aku hanya mengikuti petunjuk dalam sebuah pesan yang aku terima di ponselku, juga atas nuraniku yang dipenuhi rasa inginntahu.

"Baiklah, Kimberly. Jadi apa kau ingat sebelum berada di UKS?"

Pertanyaan itu membuat kepalaku kembali sakit, aku benar-benar telah pingsan karena sebuah jawaban tak masuk akal dari Leon. Bagaimana mungkin? Aku kehilangan memori selama 1 bulan. Hal terakhir yang aku ingat hanyalah saat sebelum melakukan operasi. Tapi pada kenyataannya aku berdiri di hari dan tanggal saat ini.

"9 September 2019, membuatku bertengkar dengan Leon. Hingga aku terjatuh tak sadarkan diri."

Perempuan yang menyebut namanya Delyna melipat dahinya, menunjukkan jelas sebuah pertanyaan yang tercetak dari alis yang terangkat, serta sorot mata tajam yang memaksaku segera memperjelas kata-kataku.

"Aku melakukan operasi pada akhir bulan Juli. Dan seharusnya aku kembali ke sekolah pada awal Agustus. Tapi kenyataan berkata lain, sekarang sudah bulan September bukan?" lanjutku memandang jam digital    yang terdapat sebuah penanggalan juga di bawahnya. Dan tepat, 9 September 2019. Aku menahan nafas untuk tidak kembali menangis.

"Well, dan ini adalah hari pertama kamu masuk yang disambut oleh kasus kematian tragis. Bukankah itu aneh, Kim? Seseorang tewas di hari pertama kamu masuk. Sebenarnya apa yang terjadi? Ah maksudku kenapa ini bisa terjadi?"

Pertanyaannya seakan telah membuat pernyataan yang menyudutkanku, bahwa akulah penyebab kematian guru matematika. Hal ini tentu saja membuat tubuhku memanas.

"Apa maksud Anda? Anda menuduh saya terlibat dalam kasus ini?"

"Tenanglah, Kim. Tidak sopan menaikkan suara kepada orang yang lebih tua daripadamu, bukan? Jadi kita bekerja sama saja, apa yang kau dapatkan selama berdiri di sini?"

Aku menarik nafasku, kesal. Mencoba bersikap setenang mungkin dan mulai menceritakan apa yang menurutku ganjil.

"Bukankah ini adalah tempat yang sempurna untuk sebuah kasus pembunuhan? Tidak ada bercak darah lain selain lingkaran sempurna yang mengitari tubuh korban, dibutuhkan banyak darah untuk mengasilkan lingkaran lebar yang sempurna. Dan lagi, ini tidak menyentuh tubuh korban, kecuali tangan yang dilentangkan ke atas sedikit menyentuh lingkaran. Itu artinya darah ini bukanlah hasil luka secara langsung dari korban. Atau bisa saja pembunuh itu memakai darah orang lain atau hewan untuk membuat lingkaran, lalu menyediakan tempat yang sempurna untuk mempertontonkan karyanya. Artinya ini bukanlah TKP sesungguhnya."

Leyl The WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang