Tiga

2.5K 185 9
                                    

"Bawa semua sampah ini pergi dan jangan pernah lagi kesini tanpa memberitau Naira!" Teriakan Ditya terdengar dari pintu kantornya yang terbuka.

Perhatian Naira begitu terfokus pada pekerjaannya hingga tidak menyadari ada yang melewati mejanya dan nyelonong masuk ke ruangan Ditya. Naira pun segera meninggalkan laptopnya dan beranjak ke ruangan Aditya. Naira yakin siapapun yang berani masuk ke kandang macan yang sedang marah adalah orang gila atau nekad.

"Tapi... saya tadi sudah bilang ke Naira..."

Naira menghela nafas skeptis. Tentu saja. Orang nekad itu tidak lain dan tidak bukan adalah Renata. Wanita beranak dua yang selalu berusaha berpenampilan seperti wanita single yang manis. Staff bagian administrasi itu selalu bersikap lembut, manis dan polos, sehingga hampir setiap pria di kantor ini selalu bersimpati dan bersikap baik padanya.

"Kalau kamu bilang ke Naira, kamu akan tau kalau seharusnya kamu tidak disini sekarang. Keluar sekarang juga."

Tentu saja, kecuali beast dari Horison Grup. Karena memang sebenarnya jarang sekali bersama dengan rekan kerja lainnya, Naira hanya tahu bahwa Ditya lah satu-satunya Pria yang tidak menunjukkan simpatinya untuk wanita yang hampir tidak pernah menggunakan cincin kawinnya di kantor itu. Ditya bahkan tidak tergerak saat melihat Renata menunduk dan menggigit bibirnya dengan air mata mengembang di ujung matanya. Pria itu bahkan terlihat siap untuk menyeret Renata yang kini sedang memunguti dokumen yang berserakan dengan perlahan itu.

Karena tau bos nya itu mampu dan mau untuk menyeret paksa Renata, Naira langsung beranjak masuk ruangan. Dengan sigap dan cekatan, Naira memunguti semua dokumen yang berserakan di lantai itu. Kalau Naira membiarkan Renata yang hari ini memakai celana pensil dan blouse cokelat itu berlama-lama memunggut dokumen, mood Ditya akan semakin memburuk. Itu tidak akan menjadi akhir yang baik bagi siapapun.

"Kamu membutuhkan tanda tangan untuk dokumen ini?" Tanya Naira sambil menuntun, atau lebih tepatnya setengah menarik Renata keluar dari ruangan Ditya.

Renata menggeleng hingga cepol kerudung cokelatnya ikut bergerak. Wanita itu pun menghela nafas dramatis. "Dia ingin aku merevisinya."

Naira mengangguk. "Pak Aditya sedang tidak bisa diganggu hari ini. Lain kali, kalau masuk ruangannya, jangan lupa tanya aku dulu. Kamu tidak akan bisa menebak bagaimana kondisinya, kecuali bertanya dulu padaku."

"Tapi kamu tadi sedang sibuk. Karena aku tidak ingin menganggumu, jadi aku masuk saja. Lagian pintunya juga nggak ditutup."

Dengan senyum yang dipaksakan Naira menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata tajam pada Renata. Baru beberapa saat yang lalu dia bilang ke Ditya kalau dia sudah memberitau Naira. Sekarang dia berkata manis sekaligus menyalahkan Naira karena membiarkan pintu ruangan Ditya terbuka.

"Apapun keadaannya, pastikan datang ke mejaku dulu sebelum masuk ke ruangan Dita." Kata Naira sebelum pintu lift yang membawa Renata turun tertutup.

Naira menghela nafas pun untuk membuang energi negative dan kata-kata tajam yang ditahannya. "Kalau saja kamu nggak hobby mengadukan betapa kejamnya aku ke yang lain...."

"Jadi kamu tipe yang takut akan penilaian orang lain?"

Suara dalam yang tenang itu membuat Naira tersentak dan otomatis berbalik. Naira pun mendapati Ditya sudah kembali mengenakan setelan jas abu tua nya. Pria yang selalu terlihat semakin keren dalam setelannya itu memandang Naira sambil bersandar di meja Naira. Entah sejak kapan pria itu bersiap dan berada disana.

"Apakah anda akan berangkat sekarang?" Tanya Naira yang berhasil mengatasi kekagetannya.

Ditya mengangguk dan berjalan seperti macan yang mengendap-endap memburu mangsa kearahnya. "Aku sudah memeriksa email darimu. Kerjakan sisa pekerjaanmu di mobil."

Naira mengangguk dan segera beranjak ke majanya. Tanpa banyak bertanya lagi, Naira segera menutup laptop dan membawa semua barang yang dibutuhkan. Semuanya dilakukan dalam waktu kurang dari semenit. Tidak ada hal yang baik yang datang dengan membuat seekor macan terusik menunggu.

------------------------------------------------------------------------------------------

"Hai pendek. Kamu benar-benar gagal tumbuh ya?"

Naira menyambut sapaan itu dengan sabetan tas tangan nya. Tapi sayang pria tampan dan manis yang menyapa itu berhasil menghindar. Tentu saja Naira tidak benar-benar berniat memukul salah satu ahli waris lainnya dari Horison Grup itu. Tapi tetap saja, temannya dari kecil itu benar-benar menyebalkan.

"Mulutmu itu benar-benar harus dilatih untuk berkata jujur. Aku tau kamu sebenarnya ingin memuji kecantikanku." Naira berlagak menyibak rambut dengan lebay meskipun rambutnya tertutup dengan kerudung.

"Kamu benar-benar harus belajar menerima kenyataan dan berhenti berhalusinasi." Dhito menepuk-nepuk kepala Naira sambil memasang wajah prihatin.

Ardhito Putra Danendra. Bisa dibilang kembaran Naira yang lahir dari orang tua yang berbeda. Mereka lahir di hari yang sama dan hanya berjarak beberapa jam. Tidak hanya itu, mereka tumbuh bersama selama masa sekolah. Mereka pun sekolah di sekolah yang sama. Naira yang terkenal dengan kecerdasannya. Sementara Dhito yang terkenal dengan ketampanan dan kekayaannya. Jadi tidak perlu ditanyakan lagi betapa akrabnya mereka,

Meskipun begitu, baik Naira maupun Dhito tidak pernah memiliki perasaan lebih dari sekedar sahabat. Naira selalu menganggap Dhito tidak beda dengan adiknya yang manja. Sementara Dhito tidak pernah menganggap Naira wanita tipenya. Karenanya tidak pernah ada percikan rasa apapun diantara mereka meski sekarab apapun mereka.

"Aku senang kalian tetap akrab." Kakek Hanggara yang berjalan di belakang mereka bersama Ditya, akhirnya menyela. Naira hanya tersenyum dan membiarkan kakek baik hati itu melanjutkan perkataannya. "Tidak sia-sia aku membiarkan Dhito menelponmu di sela-sela dia mengerjakan paper nya. Dia jadi semangat mengerjakan paper, meskipun sedikit memakan waktu lama, tapi akhirnya selelsai juga. Kalian pun jadi semakin akrab."

Hanya sebuah senyuman yang mampu Naira lemparkan pada kakek yang telah sangat baik membiayai sekolahnya sejak Naira SD itu. Kemudian tanpa sepengetahuan kakek Hanggara, Naira melotot dari balik kacamatanya pada Dhito. Sementara Dhito hanya nyengir mendapati pelototan Naira.

Kalau saja kakek Hanggara tau rahasia kecil antara Naira dan Dhito. Naira yakin pria dengan rambut kelabu itu pasti akan sangat kecewa. Tapi Naira juga tidak pernah bisa menolak permintaan Dhito. Apalagi jika sahabatnya itu sudah memelas. Naira tidak bisa berbuat apapun selain mengiyakan permintaannya. Kini Naira hanya berharap kakek Hanggara tidak pernah tau rahasia kecil mereka.

-----------------------------------------------------------------------------------

Ayra's note: Sorry semuanya. Update untuk Cahaya  agak sedikit lambat. Karena ini benar-benar ide baru, jadi tetap ikutin tiap bab dari Cahaya ya...

love you all.

CAHAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang