"Kamu tau kan aku tidak bisa menikah denganmu?" Dhito mondar-mandir di depan Naira yang sedang duduk di sofa hitam yang seakan mampu me-nina bobo kannya karena kenyamanan sofa itu saat diduduki.
"Aku tau. Bisakah kamu duduk? Aku tidak bisa berpikir kalau kamu mondar-mandir begitu." Naira lebih memilih tidur dan berharap bangun dengan keadaan seperti kemarin atau pagi ini, tanpa masalah pernikahan rumit ini.
"Bisakah kalian membicarakan hal ini di tempat lain?"
Naira menoleh ke asal suara dalam itu. Ditya. Bos nya itu sedang duduk di kursi kerjanya sambil memandangi Macbook nya. Meski memprotes diskusi Dhito dan Naira, Ditya sama sekali tidak terlihat terusik dan tetap sibuk dengan laporan yang sedang dibacanya.
Sejak mereka tiba di rumah Ditya yang tidak kalah mewah dari rumah kakek Hanggara, pria itu sudah langsung menyibukkan diri dengan pekerjaannya di ruang kerja rumahnya. Jangan tanyakan bagaimana perjalanan mereka dalam maserati hitam yang disetiri oleh Ditya. Karena jawabannya akan jauh dari yang diharapkan.
Hening. Itulah yang terjadi dalam perjalanan tiga puluh menit menuju rumah Ditya. Setelah menolong Naira dari drama mamanya, Ditya sama sekali tidak berkata atau bertanya apapun. Seakan dia sama sekali tidak pernah mencampuri urusan Naira dengan mamanya.
"Kakak yang membawa Naira kesini. Jadi jangan salahkan aku kalau kita berdiskusi disini. Lagian tidak ada tempat yang lebih aman untuk berdiskusi selain ruang kerja rumahmu."
Satu lagi orang yang sama sekali tidak takut dengan determinasi Ditya. Dhito. Karena tau kalau dirinya begitu disayang oleh kakaknya itu. Dhito selalu menganggap Ditya tidak pernah bisa marah terhadapnya. Karenanya Dhito tidak pernah merasa takut untuk berdebat dengan kakaknya.
"Dia kubawa kesini bukan untuk kamu buat pusing." Jawab Ditya santai. Lagi-lagi tanpa meninggalkan laporannya.
"Lalu? Kenapa kakak membawanya kesini?"
Gerakan tangan Ditya pada tombol keyboard terhenti. Keningnya pun berkerut seakan pertanyaan Dhito adalah pertanyaan matematika atau fisika yang membutuhkan rumus untuk menemukan jawabannya. Baru kali ini Naira memlihat Bos nya bereaksi seperti itu. Otak cerdas Ditya selama ini selalu bekerja lebih cepat dari siapapun yang dikenal Naira. Pria itu selalu memberikan jawaban masuk akal atas tiap pertanyaan yang diberikan padanya dalam waktu beberapa detik. Bahkan untuk soal IT yang membutuhkan perhitungan logaritma yang tidak pernah Naira mengerti.
"Untuk mereview laporan sampah yang dikirim bagian humas ini." Kata Ditya yang akhirnya kembali menggerakkan jarinya di atas touchpad dan menghilangkan kerutan di dahinya.
"Itu bisa menunggu." Kata Dhito yang akhirnya duduk di sofa sebrang Naira, "Ini lebih penting karena menyangkut masa depan kami. Juga masa depan kakak."
Naira mengerutkan kening mendengar pernyataan absurd Dhito di akhir kalimatnya. Sementara dari sudut matanya, Naira bisa melihat kalau Ditya akhirnya mengalihkan focus dari Macbook nya. Pria itu kini berjalan seperti macan lapar dengan kening berkerut kearah sofa yang Naira duduki.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
"Coba jelaskan kenapa masa depanku tersangkut dalam masalahmu?"
Ditya duduk di sofa yang berada diantara Naira dan Dhita. Dengan lengan bersilang di depan dada, Ditya memandang adiknya sambil bersandar di punggung sofa. Ditya mulai merasa terganggu dengan pernyataan dan pertanyaan adiknya yang mulai absurd itu. Pernyataan dan pertanyaan sepeleh namun begitu menggangu Ditya.
"Kakak tau kan siapa kakek? Dia tidak akan membiarkan Naira bekerja begitu Naira menikah denganku." Dhito mulai menjelaskan. "Sekarang, coba kakak hitung berapa banyak personal asisten atau sekretaris kakak yang bisa bertahan lebih dari lima tahun selain Naira. Tidak ada kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA
RomanceNaira Sabiya. Seperti namanya yang berarti cahaya pagi hari, Naira adalah wanita yang selalu bersemangat dari pertama kali matahari terbit. Meskipun bekerja sebagai sekertaris multi talenta untuk Bos nya yang terkenal galak dan dijuluki "Beast" oleh...