Tiga Belas

1.9K 135 1
                                    

"Kenapa aku tidak bisa mengadakan resepsi untuk Naira?"

Ditya langsung disambut oleh pertanyaan itu oleh kakeknya, begitu memasuki ruang kantor kakeknya yang bahkan jauh lebih besar dan classic dari ruangannya. Tentu saja Ditya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dengan santai dia bejalan kearah deretan sofa hitam yang ada di tengah ruangan dimana kakeknya sedang menunggunya. Ditya pun duduk di hadapan kakeknya tanpa ragu.

"Karena aku dan Naira yang akan menikah. Itu adalah kesepakatan kami."

Jawaban itu sama sekali tidak memuaskan kakeknya. Ditya tau itu. Tapi pria tua di depannya ini sendiri lah yang mengajarkan kepadanya untuk bersabar dalam bernegosiasi. Termasuk dengan tidak memberikan apa yang lawan kita inginkan dengan mudah.

"Mungkin bagimu ini tidak penting. Tapi bagi Naira?" Kakek Hanggara membuka tautan telapak tangannya dan meletakkannya di atas lengan sofa. "Ini adalah pernikahan pertamanya. Dan dia adalah anak perempuan pertama dari keluarganya."

"Tapi Naira tidak memedulikan hal itu." Ditya tetap berdiskusi dengan santai dan tenang. Dia tau kalau kakenya sudah mulai berkurang kesabarannya karena apa yang diinginkannya tidak tercapai.

"Tentu saja Naira tidak akan bilang kepadamu." Kakek Hanggara berhenti sejenak untuk meminum kopi yang sudah disiapkan di depannya. "Karena itu aku berbicara mewakilinya."

"Apakahi dia mengatakan itu kenginannya pada kakek?"

"Tentu saja tidak!." Kakek Hanggara kembali meletakkanya cangkirnya. "Apa kamu sedang menguji kesabaranku?"

"Tentu saja tidak." Kini giliran Ditya menautkan kedua telapak tanganya. "Aku hanya ingin tau kenapa kakek begitu ingin menikahkan Naira dengan salah satu cucumu? Kakek bahkan sampai repot ke Surabaya hanya untuk memastikan pernikahan itu terjadi."

Kali ini kakek Hanggara hanya diam. Dia mengerutkan kening selama beberapa saat sebelum menghela nafas panjang. Tapi beliau tetap tidak menjawab apapun.

"Mungkin kalau kakek mau mengatakannya. Mungkin aku bisa mepertimbankan tentang resepsi."

Kakek Hanggara akhirnya mengela nafas panjang dan melepas kacamatanya. Kemudian sambil memijat ujung hidungnya beliau berkata, "Kelihatannya aku harus kembali mengingatkan Gatra agar tidak memanjakanmu. Seharusnya dia tau kalau tidak semua informasi bisa kamu dapat meskipun kamu cucu yang paling bisa kuandalkan."

Senyum kemenangan terukir di wajah Ditya. Kakeknya sudah menyerah. Sekarang tinggal mendapatkan keinginan Ditya. "Jadi?"

"Tidak ada resepsi."

Jawaban itu menimbulkan rasa senang pada Ditya akibat kemenangannya. Tapi disaat bersamaan, memancing rasa penasarannya. Fakta bahwa kakeknya yang keras kepala itu lebih memilih menuruti keputusan Ditya daripada menceritakan alasan dari keinginannya untuk menjadikan Naira sebagai cucu menantunya. Itu saja sudah cukup membuktikan bahwa ada sesuatu besar dibalik alasan kakeknya.

Tentu saja Ditya tidak akan membiarkan alasan itu tidak terungkap. Naira berhak tau. Begitu pula dirinya. Karena apapun alasan dibaliknya, keinginan kakeknya itu telah membuat dua orang yang tidak mencintai untuk menikah. Terlebih Ditya yang terpaksa untuk membiarkan posisi Hana digantikan oleh Naira.

"Tapi aku yang akan menentukan dimana akad nikah itu dilangsungkan." Kata kakek Hanggara sebelum Ditya beranjak dari tempat duduknya.

Ditya hanya mengangkat bahu. "Itu akan sangat membantu kami."

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Pernikahan dengan anggota keluarga Horison Grup memang dambaan setiap wanita. Sebagai calon pengantin wanita dari cucu tertua Horison Grup, Naira akhirnya mengerti salah satu alasan kenapa banyak gadis yang bermimpi menjadi menantu keluarga kaya. Dalam sebulan menjelang pernikahannya, Naira sama sekali tidak direpotkan dengan persiapan pernikahan seperti yang Naira lihat dilakukan oleh teman-temanya.

Karena semua urusan sudah diserahkan ke wedding organizer terkenal, Naira sama sekali tidak memikirkan harus melakukan apa untuk persiapan pernikahannya. Bahkan Designer gaun pengantin ternama di Indonesia itu justru datang langsung menemui Naira di kantornya agar Naira bisa memilih gaun yang disukainya, Bukan hanya itu, proses fitting pun dilakukan di kantor Horison Grup. Naira bahkan tidak direpotkan dengan memilih tema pernikahan, pemilihan Gedung ataupun catering pernikahan. Semua sudah diurus oleh  WO kepercayaan keuarga Narendra itu.

Naira pun sama sekali tidak melakukan ataupun memikirkan apapun, kecuali datang ke resort milik Horison Grup yang sudah di booking seluruhnya oleh keluarga Narendra. Naira hanya menunggu dirinya disiapkan dengan perasaan datar di salah satu kamar di resort yang memang menjadi langganan pernikahan para selebritis baik dalam negeri ataupun manca negara. Spa, make up, hingga gaun dan kerudung yang disiapkan, semua itu memang fasilitas top yang diimpikan setiap wanita.

Tapi karena Naira tau bahwa dirinya akan menikahi pria yang tidak akan penah mencintainya. Semua itu tidak mampu membuatnya berdebar-debar bahagia. Naira memang tersenyum. Tapi tidak ada yang bisa membuat Naira bersemangat. Bahkan bayangan wanita cantik dengan gaun pernikahan warna hijau muda yang balik menatapnya dari cermin itu, tidak juga membuatnya berdebar karena excited.

"Kak Nai! Kamu cantik banget!"

Wina, adik Naira yang juga kakak dari Daffa. Adik perempuan Naira itu masuk ke kamar Naira dan langsung memeluknya. Memang sudah lama mereka tidak bertemu. Sejak adiknya itu menikah, Wina tinggal bersama suaminya di Batam. Sehingga mereka hanya berkomunikasi via telfon ataupun video call.

"Kak Ditya pasti akan terpesona." Wina akhirnya melepaskan pelukannya dan tersenyum. Adiknya yang wajahnya lebih mirip ayah mereka dari ketiga bersaudara itu, mengusap ujung matanya yang berkaca-kaca. "Tapi kenapa kacamatamu nggak dilepas?"

"Kamu tau sendiri kalau aku paling sebel sama pekerjaan memakai softlens di mata kecilku ini." Memang butuh waktu lebih dari 45 menit untuk Naira memasang softlens dari rata-rata orang lain. Kareannya Naira lebih memilih memakai kacamata meskipun dia harus menerima protes dari tukang make up.

Wina tertawa. Tawa yang selalu mampu menular kepada orang lain termasuk Naira. Adiknya itu selalu bisa menghibur Naira. Termasuk sekarang. Naira yakin kalau adiknya itu menyadari ada sesuatu yang dirasakan Naira. Karenanya dia sengaja mendatangi Naira dan menghiburnya.

"Kak, jawab pertanyaanku." Kata Wina yang berubah jadi serius setelah selesai tertawa. "Kamu benar-benar menginginkan pernikahan ini kan? Bukan karena mama ataupun yang lain 'kan?"

Naira dapat melihat kekhawatiran Wina. Meskipun terlihat begitu ceria, cuek dan selalu menjadi penceriah suasana. Adik perempuannya itu selalu menjadi orang pertama yang khawatir pada Naira. Saat orang lain selalu melihat Naira sebagai sosok yang kuat dan tidak pernah terluka. Wina selalu tau bahwa Naira selalu menyembunyikan lukanya.

Dengan senyum di wajahnya, Naira menggeleng kemudian kembali memeluk adiknya yang hari ini memakai gaun dan kerudung pink. "Aku memang menginginkan pernikahan ini."

Iya. Paling tidak Naira memang lebih memilih menikah dengan Ditya daripada dengan Dhito. Bukankah itu termasuk dengan pernikahan yang diinginkan. Hal itu lebih dari cukup bagi Naira.

CAHAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang