Empat Belas

1.9K 142 0
                                    

"Nak Ditya, sebentar."

Mama Naira menghentikan Ditya saat Ditya beranjak menuju meja dimana Daffa dan penghulu sedang berdiskusi. Wanita cantik yang bisa dibilang versi tua Naira itu menyelipkan sebuah amplop putih. Tentu saja benda itu membuat Ditya menaikkan satu alisnya karena bingung. Ditya sering mendengar Naira menyebut mamanya Ratu Drama, setiap mereka selesai berdebat. Karenanya Ditya jadi sedikit waspada dengan isi amplop itu. Drama apa lagi yang mungkin disiapkan wanita cantik dengan gaun dan kerudung warna cream itu.

"Bacalah setelah akad nikah selesai." Kata Mama Naira sebelum kembali duduk di kursi yang sudah disiapkan untuknya.

Ditya mengangguk dan memasukkan amplop itu ke saku jas nya. Namun pria itu tidak langsung melanjutkan perjalanannya. Ditya justru memandang ke seluruh taman yang biasa digunakan untuk garden party untuk pernikahan selebritis dan orang terkenal dalam maupun luar negeri. Karena privasi yang terjaga dengan ketat dan pemandangan laut dan langit yang indah yang menjadi background akad nikah ataupun pemberkatan.

Senyum puas di wajah Ditya atas hasil kerja weeding organizer atas design, konsep dan pentaan meja bulat yang sudah dipenuhi oleh keluarga dan sahabat itu, mendadak memudar. Pandangannya terpaku pada sosok yang sedang berjalan keanggunan yang tidak pernah Ditya sangka ada padanya. Sosok itu menangkap pandangannya dan tersenyum gugup.

Naira. Gadis itu terlihat begitu berbeda hari ini. Bukan berarti Naira tidak pernah memakai make up. Ditya tau meskipun rekan kerja Naira memanggilnya Nerd, Naira selalu memakai make up tipis karena gadis itu selalu berusaha menjaga reputasi dan image Ditya dan Horison Grup dimata rekan dan klien mereka. Hari ini, Entah karena make up professional yang terlah berhasil dengan pekerjaannya atau karena gaun yang dipakaianya. Bahkan meskipun kacamata tetap bertengger di hidungnya, hal itu tidak mengurangi keindahan wajah manis Naira.

Ya. Bagi Ditya, Naira lebih cocok dengan kata manis dan indah. Ditya sudah pernah menikah sebelumnya. Jadi tidak mungkin otaknya tidak menganalisis perbedaan dua wanita yang berjalan kearahnya untuk menjadi istrinya. Keduanya memiliki karakter berbeda.

Hana yang cantik dan lembut lebih menyukai gaun putih panjang yang ekornya menyapu lantai. Sementara Naira yang manis tapi kuat, lebih memilih gaun berwarna hijau mudah simple yang panjangnya hanya semata kakinya. Kalau Hana terlihat lebih dewasa dan cantik dalam make up dan gaunnya. Naira justru terlihat manis dan lebih muda dari usianya. Ditya yakin kalau tamu undangannya bukan orang-orang yang mengenal Naira, pasti Ditya dikira menikah dengan gadis yang baru lulus kuliah alih-alih asistennya yang berumur tiga puluh tahun.

Jika Hana mampu memukau setiap mata yang memandangnya. Naira membuat setiap pandangan yang mengarah padanya tidak pernah puas memandanginya. Begitulah yang kini Ditya rasakan. Sejak matanya menangkap sosok Naira, pandangannya tidak bisa beralih dari gadis itu. Setiap ekspresi, setiap gerakan mulut saat gadis itu berbicara dengan adiknya, setiap gerakannya tangan, dan senyumannya. Semua itu membuat Ditya tidak bosan memandanginya.

"Aku tau hari ini Naira terlihat cantik." Sebuah lengan merangkul bahu Ditya. "Tapi Daffa dan Pak penghulu sudah menunggumu, kak."

Ditya menoleh pada Dhito dan dalam sekejap memasang wajah datar, "Aku tau."

Tapi bukan Dhito namanya jika tidak berani membully kakaknya. "Awalnya aku gak mengerti kenapa kalian tiba-tiba ingin menikah. Tapi melihat pandanganmu pada Naira tadi, aku rasa aku bisa mengerti kenapa."

Tidak. Ini tidak seperti yang Dhito pikirkan. Ditya menyangkal perkataan adiknya itu dalam hati. Ditya kembali mencoba menganalisis tindakannya. Dia tidak bisa melepaskan pandangannya dari Naira hanya karena gadis itu tampil berbeda dari biasanya. Tidak ada yang lebih. Tidak ada debaran konyol ataupun desiran dihati Ditya. Hati dan cintanya masih tetap terkubur bersama Hana. Meskipun secara legal dia tidak bisa lagi dibilang setia pada mendiang istrinya itu. Tapi hati dan cinta Ditya tetap setia dan tidak berubah. Dan Ditya akan memastikan selamanya tetap seperti itu.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Naira melihat mamanya memberikan amplop putih pada Ditya dengan kening berkerut. Pria itu sama sekali tidak menyadari kehadiran Naira seperti biasa. Karenanya Naira bisa memperhatikan bagaimana penampilan Ditya yang sedang memasukkan amplop putih ke dalam jas coklatnya.

Seharusnya Naira sudah terbiasa melihat Ditya dalam setelan jas merk ternama di dunia fashion. Itu adalah pakaian sehari-hari pria itu setiap ada meeting untuk lobby atau deal dengan klien ataupun lawannya. Tapi hari ini Ditya terlihat berbeda. Jas karya Girgio Armani itu memang memiliki desain yang berbeda dari yang biasa dipakai Ditya. Tapi bukan itu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangannya.

Naira sedang berusaha mencari apa yang membuat Ditya terlihat berbeda dan lebih tampan hari ini, saat pria itu tiba-tiba berbalik dan memandangnya. Mata mereka bertemu. Seketika itu juga jantung Naira berdebar cepat. Tidak ada yang bisa dilakukan Naira selain mencoba tersenyum untuk menetralkan debaran jantungnya.

Tapi semua itu sia-sia karena Ditya kini tidak berhenti memandanginya. Well, seharusnya Naira tidak merasa seperti ini. Semua fasilitas top dan gaun mahal yang dipakai nya hari ini sama sekali tidak membuatnya excited. Tapi kenapa pria yang hari ini terlihat begitu tampan dan mempesona itu justru membuat jantung Naira seakan berlomba keluar dari dadanya.

"Benarkan kataku." Bisik Wina di telingan Naira. "Kak Ditya kelihatanya keren dan cakep banget."

"Apaan sih..."

Naira memanfaatkan distraksi dari Wina itu untuk mengalihkan pandangannya dari Ditya. Sungguh penampilan pria itu hari ini benar-benar mengambarkan perkataan Wina. Tidak perlu ditanya lagi bagaimana wajah tampan pria itu yang dihiasi jambang yang nggak kalah seksi dengan jambang Chris Hemsworth. Aset itu dilengkapi dengan badan proposional dan tinggi menjulang bak model meski usianya sudah memasuki kepala empat. Naira berani bertaruh bahwa setiap wanita yang memandangnya akan mengatakan bahwa pria itu tampan, cakep, keren bahkan mempesona.

"Kamu nggak salah pilih suami kak." Goda Wina saat mereka kembali beranjak ke tempat yang sudah disediakan untuk mereka, yang terpisah dari tempat Ditya akan mengucapkan akad. Tapi cukup dekat untuk Naira dapat mendengar apa yang diucapkan Ditya dan orang-orang di sekitarnya.

"Tante Naira!" Dua lengan mungil memeluk pingang Naira.

Dengan senyum ceria terpasang di wajahnya, Naira balas memeluk Kama dan Kalila yang hari ini terlihat begitu cute dengan taxedo dan gaun mereka. Sejak Naira sadar dari koma singkatnya, si kembar tidak pernah absen mengunjunginya setiap mereka pulang dari playgroup mereka. Dengan ditemani Feni yang memiliki anak seumuran dan sementara membantu Ditya untuk menjaga keduanya.

Karena penculikan itu, Kama dan Kalila pun semakin dekat dengan Naira. Sangat sulit untuk meminta mereka pulang, setiap mereka mengunjungi Naira. Keduanya sering kali berkeras untuk tinggal dan tidur bersama Naira. Tapi Naira selalu berhasil membujuk keduanya untuk pulang.

Tentu saja kabar pernikahan Naira dan Ayah mereka, disambut dengan kegembiraan yang tidak terhentikan oleh si kembar. Naira dan Ditya memang sengaja memberitau Kama dan Kalila seminggu sebelum acara pernikahan mereka, untuk mencegah si kembar over excited. Dan benar saja, mereka tidak bisa berhenti melompat kesana kemari karena kegirangan saat Ditya memberitahu mereka.

"Jadi kapan kita bisa memanggilmu Umma?" Bisik Kama yang duduk di samping kanan Naira. Tapi anak itu kini berdiri diatas kursi demi berbisik pada Naira.

Sebenarnya Naira sudah membicarakan hal ini dengan Ditya. Naira tidak ada masalah jika si kembar tetap memanggilnya Tante. Karena seperti katanya pada Ditya, Naira tidak akan menggantikan posisi siapapun. Tapi si kembar yang begitu bahagia saat mendengar kabar pernikahan mereka, tidak sabar menanyakan apa panggilan baru mereka untuk Naira. Saat itu Naira hanya diam dan menatap Ditya penuh tanya karena bingung. Ditya lah yang memilihkan panggilan 'Umma' itu, Dan Naira memilih untuk tidak menanyakan mengapa dan menerima panggilan itu begitu saja.

"Segera setelah acara selesai, sayang." Jawab Naira sambil mendudukkan kembali Kama di kursinya. "Bersabarlah."

CAHAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang