Empat Puluh

3.5K 165 1
                                    

Beban dan mendung yang menyelimuti hati Ditya terangkat begitu pintu apartement Orion terbuka dan wajah Naira nampak dalam penglihatannya. Terlebih dengan airmata yang meluncur dari sudut mata Naira, Ditya pun semakin tidak sabar untuk memeluk istrinya itu. Tapi buntalan pink di lengan Naira membuat Ditya terdiam.

Pikiran dan logikan Ditya langsung menghilang saat melihat Naira menggendong bayi mungil itu. Kebahagian yang mengisi hatinya pun langsung menguasai pikiran Ditya. Selama beberapa hari ini tidur Ditya dihiasi dengan mimpi Naira bersama anak-anak mereka. Kini wanita itu menggendong bayi persis seperti gambaran dalam mimpi Ditya.

"Anak kita?" Naira terlihat bingung hingga airmatanya terhenti.

Ditya tau dirinya tersenyum seperti orang tolol saat berdiri disamping Naira dan mengusap lembut pipi kemerahan bayi cantik itu. "Aku tau kamu hamil saat kamu meninggalkan kami."

"Hamil? Aku?" Naira terlihat seperti orang linglung.


"Aku tau kamu tersiksa karena merindukan Naira." Lila datang menghampiri Ditya dan Naira. "Tapi aku tidak menyangka kamu kehilangan otak geniusmu."

"Apa maksudmu?" Tanya Ditya tanpa mengalihkan pandangan kagumnya dari bayi yang sedang tidur dalam gendongan Naira itu.

"Sorry Mr. Aditya, this wonderful baby is mine." Kata Lila sambil mendekat. Dengan hati-hati kembali mengambil bayinya dari lengan Naira. "Hei, Genius. Coba pikir, bagaimana Naira bisa melahirkan padahal dia hanya seminggu pergi meninggalkamu?"

"Ini anakmu?" Kini giliran Ditya yang linglung. Tapi beberapa saat otaknya kembali berfungsi hingga membuatnya tertawa karena kebodohannya.

"Tentu saja." Kata Lila yang mengeleng-gelengkan kepala sambil beranjak kembali kamar.

"Tentu saja anak kita belum akan lahir." Kata Ditya sambil mendekat kearah Naira yang masih mengerutkan kening. "Kamu baru hamil beberapa minggu."

"Anak kita? Aku hamil?" Naira mendekat dengan kekhawatiran di wajahnya. Dengan lembut wanita itu memegang pipi Ditya. "Kak Ditya, apa kepala mu terbentur sesuatu?"

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Naira tidak bisa berhenti tertawa hingga air mata menggenang di ujung matanya. Ini adalah tawa pertamanya sejak dirinya tau tentang kecelakaan tragis itu. Tawa yang diciptakan oleh pria yang sampai sekarang tetap mengisi hatinya. Pria yang hanya dengan kehadirannya mampu membuat Naira lupa dengan segala rasa sakit dan beban yang dirasakan Naira selama seminggu ini.

"Tapi kenapa kamu mandi tengah malam?" Tanya Ditya masih tidak percaya dengan perkataan Naira yang mengatakan tidak terjadi apapun malam itu selain ciuman kedua mereka. "Aku ingat dengan jelas karena tetesan air dari rambutmu mengenai pipiku dan membuatku terbangun. Aku ingat kamu mengompres kepala ku dengan masih memakai jubah mandi."

Pipi Naira memerah karena menyadari bahwa Ditya mengingat beberapa bagian malam itu. Termasuk bagian dirinya tidak memakai apapun selain jubah mandi karena begitu keluar kamar mandi, Ditya mengerang kesakitan. Meskipun Ditya adalah suaminya. Naira tidak bisa menghilangkan rasa malunya.

"Itu karena kamu muntah sebelum kita sampai ke tempat tidur. Tentu saja aku harus mandi dulu."

Ingatan itu kembali membuat Naira tersenyum. Setelah ciuman mereka malam itu, Ditya menagkup wajah Naira dengan kedua tangan nya dan memandanginya selama beberapa saat. Tapi detik berikutnya, pria itu langsung menutup mulutnya sendiri. Pria itu berusaha beranjak ke kamar mandi, tapi baru satu langkah pria itu sudah mengeluarkan semua isi perutnya. Tidak perlu ditebak, Naira yang berdiri didepannya pun terkena sebagain besar muntahannya.

Terlebih setelah itu pria itu tumbang. Naira pun harus bekerja keras menyeret tubuh besar Ditya ke tempat tidurnya. Naira cukup kesulitan membuka seluruh baju Ditya yang terkena muntah dan membersihkan badannya saat pria itu tidak sadarkan diri. Karenanya Naira membiarkan Ditya tidur tanpa pakaian dan hanya menutupi tubuhnya dengan selimut. Kemudian Naira pergi mandi untuk membersihkan dirinya sendiri. 

Namun itu hanyalah salah satu kenangan indah yang akan Naira kenang. Kenangan yang akan menjadi obat rindu saat dirinya tidak dapat melihat pria tampan di depannya itu. Kenangan yang akan Naira simpan selama-lamanya dalam hatinya.

"Sekarang setelah semua jelas." Kata Naira sambil menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Naira pun bangkit berdiri dari sofa hitam yang didudukinya bersama Ditya. Dia tidak bisa lebih lama lagi bersama Ditya. Itu hanya akan membuatnya semakin merindukannya setelah pria itu pergi. "Kak Ditya tidak perlu khawatir lagi. Aku tidak sedang mengandung anakmu. Tidak ada yang berubah. Aku masih tetap Naira yang sama dengan sebelum kita menikah."

"Tapi ada yang berubah."

Langkah Naira menuju kamar terhenti saat Ditya mengucapkan kalimat itu. Naira pun terdiam menunggu apa yang hendak di ucapkan pria itu. Tapi alih-alih mendengar perkataan Ditya, jantung Naira dibuat kembali berdetak kencang akibat tindakan tidak terduga dari pria itu.

Nafas Naira tercekat saat kedua lengan Ditya melingkari pinggangnya. Pikiran Naira langsung kosong saat Ditya menariknya hingga kepala Naira membentur dada bidangnya. Kemudian dengan lembut pria itu mencium ujung kepala Naira. Naira bisa merasakan kehangatan sentuhan bibir Ditya menembus kerudung hijau mudanya dan menjalar kesekujur tubuhnya.

"Kamu. Kamu merubahku." Lanjut Ditya dengan suara serak namun dengan nada terlembut yang pernah Naira dengar dari pria itu. "Kamu membuatku menyadari kehadiranmu dan arti dirimu dalam hidupku. Mungkin sejak awal selalu ada dirimu di dalam ruang tutup di hatiku. Tapi aku takut membuka ruangan itu. Aku takut begitu ruangan itu terbuka, cahaya mu akan menerangi seluruh hatiku. Karena aku takut jika suatu saat cahaya itu mengilang aku akan benar-benar tidak bisa hidup lagi di dunia ini."

Airmata Naira mengalir melalui ujung matanya mendengar pernyatan Ditya yang begitu menyentuh itu. Rasa bahagia dan haru nya pun semakin tumpah ruah, saat tangannya menangkup tangan Ditya yang mendarat diperutnya. Karena di jari kelingking kanan pria itu terpasang cincin pernikahannya yang Naira lemparkan ke kakek Hanggara waktu itu.

Naira pun tidak bisa menahan diri untuk tidak membalikan badan. Dengan mata berkaca-kaca dan senyum di bibir, Naira pun mendongak untuk menatap Ditya. Naira pun semakin terharu saat mata cokelat kehijauan Ditya berkaca-kaca dan menatapnya dengan lembut. Dengan lembut Naira pun meletakkan kedua telapak tangannya ke pipi Ditya yang ditumbuhi rambut-rambut kecil dan mengusapnya.

Ditya pun langsung mencium telapak tangan kanan Naira dan menghirupnya selama beberapa saat. Naira dapat merasakan rasa rindu pria itu. Seakan pria itu ingin menghirup aroma yang sudah lama dirindukannya.

"Aku mencintaimu Naira." Ditya berkata setelah kembali menatap mata Naira. "Aku mohon jangan tinggalkan aku lagi. Aku pernah hancur dan berada di tempat paling gelap dalam hidupku. Jangan pernah biarkan aku berada disana lagi. Karena tidak akan ada cahaya lain lagi yang bisa menyalamatku kali ini. Kamu adalah cahaya yang dikirim Nya untukku. Hanya kamu. Kamulah cahaya yang kurindu dan kuinginkan."

Pernyataan cinta itu lebih dari yang Naira pernah mimpikan. Naira tidak tau apakah ini nyata. Tapi untuk saat ini Naira akan menikmati moment ini. Naira pun memeluk suaminya dan menyembunyikan wajah dan tangis bahagianya di dada bidang Ditya.

"Aku juga mencintaimu, kak Ditya. Sedari awal dan selamanya." 

----------------------------------------------------------------------------------------------------


Ayra 's Note: Finally, Cahaya hampir sampai ending nya. Kurang sedikit lagi. Mohon dukungannya untuk  Ditya dan Naira sampai akhir ya....

With love,

Ayra Verda

CAHAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang