Tujuh Belas

1.9K 145 0
                                    

Pekikan gembira Naira di dek depan saat air laut memercik kearahnya, membuat Ditya tersenyum. Berbeda dengan Hana yang begitu menyukai gunung dan udara dinginnya, Ditya tau kalau Naira menyukai pantai, laut dan langit biru. Ingatan Ditya kembali ke beberapa tahun yang lalu, saat kakeknya mengajak Naira dan adik-adiknya untuk mengunjungi pulau yang akan mereka kunjungi ini. Kakeknya baru saja membeli pulau ini waktu itu, dan mengajak seluruh keluarga untuk menikmatinya, termasuk Naira dan adik-adiknya.

"Pulau ini cantik. Pasti asyik bisa bulan madu berduaan tanpa ada yang menganggu." Kata Naira 15 tahun yang lalu, bahkan saat dia masih SMP. "Pasti serasa surga dunia."

"Dasar mesum." Komentar Dhito waktu itu.

Tapi justru perkataan Naira itulah yang membuat Ditya akhirnya membuat project untuk menjadikan pulau yang biasanya hanya digunakan untuk liburan keluarga itu menjadi resort yang berharga mahal untuk disewakan ke penganti baru yang mencari privasi. Dengan tim marketing handal, Ditya sudah berhasil mendapatkan deretan penyewa yang masuk waiting list dan rela membayar DP tinggi hanya dalam waktu dua bulan sejak resort itu selesai dan dibuka untuk umum. Itu saja sudah bisa mengembalikan semua modal yang Ditya keluarkan untuk membuat pulau itu tidak kalah dengan pulau-pulau yang ada Maldives. Dan semua itu berasal dari perkataan spotan dari gadis yang sedang tertawa bahagia hanya karena percikan air di depannya itu.

------------------------------------------------------------------------------------

"Kamu sudah mengatur supaya mereka tidak mengetahui siapa aku?" Tanya Ditya sambil mematikan mesin speed boat, saat Naira kembali untuk melepas pelampungnya.

"Tentu. Aku sudah meminta kantor untuk mendaftarkan kita ke unit pengelolah pulau ini sebagai tamu biasa."

"Bagus." Ditya pun mengulurkan tangannya pada Naira. "Kalau begitu kita harus berpura-pura mesra sampai para staff meninggalkan pulau ini."

"Hah?" Naira yang baru saja menyimpan pelampungnya, menatap tangan Ditya dengan linglung.

"Kita menyewa pulau ini sebagai suami istri kan?"

"Tentu." Kini Naira mengangguk-angguk dengan cepat.

"Jadi kita tidak bisa bersikap seperti bos dan asisten pribadinya 'kan?"

Naira terdiam sejenak sebelum mengangguk dan berkata,"Kamu benar."

Tapi Naira menerima uluran tangan Ditya dengan ragu-ragu. Bagaimana tidak, begitu tangan mereka bertaut erat, jantung Naira yang tadinya berhasil dinormalkan dengan pemandangan laut dan langit biru, kini kembali berdetak kencang. Ini pertama kalinya Naira benar-benar bergandengan tangan dengan pria dalam konteks mesra. Karena Naira tidak pernah pacaran sebelumnya, terlebih setelah memakai hijab, Naira berusaha keras tidak bersentuhan dengan pria yang bukan mahramnya.

"Biar saya saja." Kata Ditya pada pria tua yang membantunya mengikat boat mereka di dermaga, saat pria tua itu mencoba membantu Naira turun dari boat.

Naira mengulurkan tangan dengan harapan Ditya memegangnya. Tapi pria itu justru meletakkan kedua tangan Naira di pundaknya. Dengan kedua tangan di pinggang Naira dan gerakan cekatan, Ditya mengangkat tubuh Naira dengan mudah hingga kaki Naira menyentuh kayu-kayu dermaga kecil itu.

Tidak perlu ditanyakan bagaimana nasib jantung dan pipi Naira. Terlebih saat Ditya tidak melepaskan tangannya dari pinggang Naira. Saat pria itu tersenyum dan membalas sapaan hangat pria tua itu. Naira hanya bisa diam berusaha mengontrol debaran jantung dan panas yang mulai terasa di pipi tembemnya. Tidak diragukan lagi, pasti sekarang pipinya sudah memerah.

"Semua perlengkapan dan bahan makanan untuk tiga hari sudah disiapkan." Kata staff wanita berkaos merah bertulis Horison Grup dengan ramah, setelah mengalungkan untaian bunga ke leher Ditya dan Naira. "Akan kami tunjukkan fasilitas-fasilitas yang ada pada resort ini."

"Tidak perlu." Kata Ditya. "Kami akan melihat-lihat sendiri."

Naira bernafas lega mendengar perkataan Ditya itu. Itu berarti kemesraan mereka yang pura-pura namun tidak baik bagi jantung Naira ini pun dapat segera diakhiri. Tangan Ditya pasti akan terangkat dari pinggang Naira begitu kedua staff di depan mereka ini pergi.

"Sudah dipastikan tidak ada orang lain selain kami berdua di Pulau ini kan?" Tanya Ditya.

"Tentu." Kata staff pria yang berdiri disamping staff perempuan berambut pendek itu. "Begitu kami meninggalkan pulau ini. Hanya anda berdua lah penghuni Pulau ini."

Ditya pun mengangguk. "Terima kasih."

"Selamat menikmati bulan madu." Kata kedua staff itu. "Semoga pengalaman di pulau ini menjadi kenangan yang tak terlupakan."

--------------------------------------------------------------------------------------------

"Apa yang sedang kamu lakukan disini?"

Ditya baru saja selesai menelfon staff untuk memberikan interuksi kepada staff pengelolah resort itu, saat melihat Naira berselonjoran diatas kursi pantai sambil menatap langit malam. Setelah hampir setengah hari dirinya dan Naira menginspeksi dan memeriksa semua fasilitas di resort ini. Mereka cukup puas dengan temuan mereka, tapi ada beberapa perbaikan dan penambahan fasilitas yang dirasa perlu. 

"Menikmati cahaya bintang." Kata Naira tanpa melepaskan pandangannya dari langit malam yang bertabur bintang. "Sudah lama rasanya aku tidak menikmati cahaya bintang sebanyak ini."

Tanpa melepaskan pandangan dari wajah Naira yang terlihat berbinar seperti anak kecil, Ditya duduk di kursi pantai yang bersebelahan dengan kursi Naira. Senyum tidak hilang dari wajahnya saat gadis itu membentuk bingkai dengan kedua jari telunjuk dan jempolnya. Seakan ingin menyimpan keindahan langit malam itu dalam memorinya.

Selama bertahun-tahun bekerja bersama, Ditya sangat jarang melihat wajah Naira serileks sekarang. Meski gadis itu selalu tersenyum ramah pada client atau kolega mereka. Tapi Ditya tau kalau senyum itu hanya sekedar formalitas. Begitu pula senyum yang diberikan Naira padanya, saat berada di kantor.

"Kenapa kamu begitu menyukai langit berbintang?" Tanya Ditya yang akhirnya ikut rebahan di kursinya sambil memandangi langit malam.

Meski Naira belum menjawab, Ditya sudah menemukan alasan kenapa Naira bisa terlihat relax. Memang malam itu langit terlihat begitu indah. Tapi suara debur ombak dan bisikan halus angin yang berhembus benar-benar membuai. Ditya pun merasakan dirinya perlahan merasa lebih relax dan menikmati keindahan yang disuguhkan alam malam ini.

"Karena papa." Jawab Naira setelah jeda beberapa saat. "Papa selalu bilang, lihatlah bintang-bintang itu. Walaupun mungkin saat ini kita tidak melihatnya, dia akan tetap bercahaya. Tapi saat kita melihat keindahannya, hati kita pun selalu terhibur."

Ditya mengalihkan pandangan dari langit malam ke wajah Naira tepat pada waktunya untuk melihat senyum gadis itu. Senyum manis yang Ditya yakin, ditujukan Naira pada papanya. Ditya ingat betapa manjanya gadis itu pada papanya saat beberapa kali Naira kecil dan keluarganya berkunjung ke rumah keluarga Narendra. Jadi Ditya bisa mengerti betapa berharganya kenangan bersama papanya bagi Naira.

"Papa selalu bilang," Lanjut Naira. "Meskipun namaku berarti cahaya pagi. Papa ingin aku menjadi seperti bintang-bintang itu. Bintang-bintang yang selalu menghiasi gelapnya malam, meskipun tidak ada satupun manusia yang melihat. Tapi begitu jiwa manusia yang sedang sedih mendongak dan memandangnya, kesedihannya akan hilang dan berganti dengan kebahagian karena dihibur oleh sinar cantiknya."

"Kamu sudah melakukannya." Kata Ditya sambil mengembalikan pandangannya ke langit karena tau Naira akan berbalik memandangnya, karena perkataanya barusan. "Kamu telah melakukan banyak hal untuk orang lain meskipun mereka tidak menyadarinya."

CAHAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang