6. Labrak (2)

85 15 20
                                    

Bagaimana bisa kamu mencintai tanpa harus memiliki? Memangnya apa yang akan kamu lakukan untuk membuktikannya?

***

"Kita di sini, tuh, mau belajar sama cari pengalaman. Kalau lo nggak, sih, mending dari awal nggak usah ikut. Manja. Cih!"

Perdebatan ini memang tidak terlalu mendebarkan, hanya hujatan ringan dan tidak main tangan. Mereka yakin pasti dari sekian banyak orang yang menonton, akan ada satu atau lebih di antaranya yang merekam, baik video, foto, atau suara saja.

Nantha berdiri di sana, di koridor itu, dengan perasaan dongkol. Ia merasakan sesak di dada, seakan tidak pernah diizinkan barang sekali saja untuk bertingkah egois.

"Mendingan kalau mau bebas ngapain, nggak usah datang tadi! Pencari perhatian banget!"

"Iya, sekalian sekarang lo pulang aja! Mau marah sama Luthfa juga lo nggak berhak!"

"Ya, nggaklah, marah sama gue aja nggak punya hak. Lo hanya sebatas anggota baru yang belum resmi jadi anggota!"

"Apalagi mau terus-terusan pepet Luthfa sampai itu cowok suka sama lo. Cih! Ngaca, Mbak! Luthfa nggak akan suka sama cewek lebay, manja, nangisan. Kenapa, sih, cewek zaman sekarang lebay banget?"

Tes!

Iya, benar. Nantha menangis untuk hal yang tak seharusnya ia tangisi. Entahlah, gadis itu memang mempunyai hati selembut plastisin. Tergores sedikit sudah penyok.

Tangannya menepis air mata yang jatuh tidak sengaja itu. Ia merasa malu. Di hadapan banyak orang, empat kakak kelas ini melontarkan ucapan demi ucapan yang tidak pantas. Ia berharap, ada seseorang yang menyelamatkannya atau setidaknya mem-pause acara tidak mengenakkan ini. Ia menderita, sedih, perutnya terasa seperti dililit, perih sekali.

"Asal lo tahu aja, PA punya aturan, nggak kayak yang lo bayangin cuma muncak, selfie-selfie, cari tempat lain, gitu lagi. Big No! Lo sebagai cewek lebay dan manja, nggak akan tahan masuk PA! Kenapa? Ya, karena kita bakal tidur di tanah langsung, nggak kayak lo, tidur di pangkuan Mama. GPM! Gak Punya Malu!"

Tawa keras mengisi sunyinya lorong ini. Mengapa harus Nantha yang merasakan ini? Benar-benar perih. Bahkan, tidak ada kata jeda selama mereka belum memberi pelajaran yang lebih terhadap Nantha.

"Sekarang lo pulang aja, nggak usah balik lagi minggu depan! Besok Senin di sekolah kalau ketemu, anggap aja nggak pernah kenal, nggak pernah ada kejadian ini!"

"Bye!" seru mereka bertiga bersamaan setelah capek memberi bacotan bermanfaat.

Kemudian, empat perempuan itu pergi dari sana, menyisakan Nantha yang berdiri kaku. Ada juga beberapa anak PA yang menonton dari awal sampai akhir. Sebelum akhirnya, tubuh Nantha terjatuh di lantai dengan tangan memegangi perut dan air mata berlinang. Savina segera menubruknya dan menenangkan. Yang lain juga mengerubung ingin melihat keadaan gadis yang telah mendapat hidayah dari kakak kelas itu.

"Kenapa?"

"Ada apa, nih?"

Suara grasak-grusuk teman-teman membuat tangisan Nantha mengeras. Namun berhenti saat sebuah suara tidak asing bertanya, "Kenapa?"

Seketika suara dengungan pertanyaan, "kenapa" dari setiap orang berhenti.

Luthfa orangnya. Yang mengatakan satu kata pertanyaan itu.

Ineffable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang