16. Ingin Menyapa

48 8 2
                                    

Tanyakan bunga-bunga bermekaran di sepanjang jalan, kalau aku selalu tersenyum melihatmu dari jauh.

***

Beberapa detik hanya ada suara isakan Nantha di kamar itu. "Papa gue, Anditya, maksa gue tinggal dengannya. Tanpa mama dan kakak gue. Gue nggak mau, tapi terus dipaksa." Nantha melihat tangannya yang merah karena cengkeraman Ditya tadi. "Gue pengen pulang sekarang hiks ... gue belum lihat keadaan mama tadi. Gue kangen ... hiks," adu Nantha dengan isakan tangisnya.

Laki-laki pemilik kamar itu merasa kesakitan pada pipinya. Jujur, ia ingin membantu Nantha, tetapi berpikir dua kali. Tidak mungkin, 'kan, kalau ia mengantar Nantha dalam keadaan seperti ini? Sebenarnya bisa saja ia memakai helm, tetapi ada alasan lain mengapa ia tidak langsung mengantarkan Nantha pulang.

"Lo pasti mau bantu gue, 'kan? Soal kotak makan gue yang pecah tadi nggak usah dipikirin, anterin gue pulang aja udah gue maafin, kok."

Sempat-sempatnya Nantha membahas kotak makan di saat wajahnya bengkak karena terlalu banyak menangis hari ini.

"Bukannya gue nggak mau anterin lo ...." Luthfa meringis, menunjuk warna merah di sudut bibirnya. " ... tapi ini luka sakit banget kalau dipakein helm."

"Please ...," mohon Nantha.

"Gue bakal minta Mama nganterin lo. Mama gue pasti ngerti, kok."

Mata Nantha yang bengkak terlihat berbinar. "Bener? Makasih banyak, gue nggak tahu harus balik bantuin lo kayak gimana. Makasih banyak, semoga lo dapat nilai plus di hidup lo."

Dalam keadaan seperti ini saja Nantha bisa berbinar dan berucap terima kasih dengan tulus. Bahkan, sempat tersenyum tipis. Mengapa gadis ini tak seperti yang ia pikirkan? Semua perempuan pasti mempunyai hati tulus, sekalipun ia perempuan banyak gaya.

Luthfa mengangguk, mengantarkan Nantha ke bawah untuk menemui mamanya. Terlihat wajah wanita paru baya itu menyimpan seribu pertanyaan. Namun, Luthfa bergegas menjelaskan tanpa harus diminta atau dikeluarkan pertanyaannya.

"Jadi, ini namanya Nantha, dia anaknya Pak Andit tetangga kita sebelah. Tapi, dia pengen pulang ikut mamanya di rumah satunya. Nanti lainnya aku jelasin, Ma, sekarang adalah Mama harus mengantarkan Nantha karena ini mendesak. Luthfa nggak bisa antarkan karena wajah Luthfa lebam, kalau pakai helm sakit, kan, fullface. Nanti alamatnya bisa Mama tanyakan sama Nantha sendiri. Kalau masalah lebam ini akan Luthfa ceritakan juga nanti. Kasihan Nantha yang udah nggak sabar nemuin mamanya di rumah."

Laki-laki itu menjelaskan dengan panjang lebar sebelum bibir Lili, mamanya, sempat terbuka. Nantha yang sudah tidak lagi mengeluarkan air mata—tetapi masih terisak—mengangguk. Tersentuh, Lili menggandeng tangan Nantha dan mengajaknya pergi dari sana. Memberikan helm dan sebuah jaket hitam berbau maskulin.

Mereka pergi dari sana dengan Luthfa yang meringis kesakitan. Alasan utamanya tidak mengantarkan bukanlah sakit. Tetapi jauh lebih sakit saat ia menceritakan hal ini kepada orang lain. Ia akan berhati-hati lagi, terutama dengan siswi yang mengganggunya tadi.

Sementara itu di rumah Ditya, pria itu membuka kamar Nantha dan tidak menemukan anak gadisnya di sana. Mencari sampai di balkon juga tidak ada, saat melihat ke balkon sebelah, tak menemukan tanda-tanda balkon terbuka padahal Luthfa sedang mengintai di balik tirai.

Ineffable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang