Mungkin ini yang dinamakan rasa nyaman, saat aku melihatmu menatapku tulus.
***
Wanita cantik berambut gelombang bagus itu mendengkus. Sudah lama sekali ia ingin mengeluarkan Nantha dari rumah ini, tetapi tidak ada kesempatan yang bagus. Ditya terlalu protektif sehingga pergerakannya sedikit saja sudah terbaca. Sebenarnya, ia kesal jika harus bersama gadis manja dan menyusahkan ini.
"Pa ... kita nggak makan malam dulu, nih?" tanya wanita itu, Lasmi namanya.
Nantha duduk di belakang bersama Zero. Ya, laki-laki itu ikut mengantar keluarga Ditya ke bandara. Tentu saja atas kemauan pihak Ditya dan orang tua laki-laki itu.
"Mau makan malam juga nanti ketinggal. Mending kamu beli aja, makan di pesawat." Ditya masih terfokus pada menyetirnya.
Anak Lasmi tidur pulas di pangkuannya dengan wajah imut menggemaskan. Sedangkan Nantha memandang ke depan dengan tatapan kosong. Ekspresi wajahnya datar dan sayu. Zero sedari tadi bermain ponsel. Memecah kegabutannya dengan bermain Mobile Legend.
"Kei ... kamu pasti senang, 'kan, bisa diajak pergi sama Papa gini?" tanya Ditya setelah Lasmi tidak lagi menyambung pembicaraan yang tadi.
Nantha diam, karena tak mendengar. Ia tak fokus, pikirannya melayang entah ke mana. Sehingga matanya memerah, mengeluarkan cairan bening berbentuk seperti kristal yang biasa disebut air mata.
"Kei ...," panggil Ditya sekali lagi.
Nantha sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadikan tangisan tadi sebagai tangisan terakhir. Namun, mengapa ia tidak bisa menepati janji? Apakah ia baru saja merasa dikhianati? Bahkan, tak lagi dibutuhkan dan tak lagi dianggap.
"Ma, dia lagi tidur, ya?" tanya Ditya pada Lasmi. Wanita itu melirik ke belakang sebentar dan menggeleng sebagai jawaban.
"Zero, kamu ajak bicara Nantha, ya. Biar nggak diam aja jadi sunyi gitu. Kayak di TPU gini, 'kan, jadinya. Ciptakan suasana hangat dan kekeluargaan. Kalian, kan, sudah pasti akan bersama. Ya, 'kan?"
Zero yang merasa dirinya terpanggil, seketika menoleh tanpa memerhatikan lagi permainannya. Padahal sebentar lagi savage, malah diajak bicara. Kalah, deh, tidak jadi.
"Eh? Kenapa, Om? Iya. Nan, lo—kamu ... lapar? Kok, diam aja?" tanya Zero berbaik pada Nantha. Meskipun dalam hati sedang marah dan kesal karena kalah dari game-nya.
"Kalian, kan, sudah saling kenal, harusnya nggak secanggung ini. Lagian Nantha anaknya—"
"Nggak usah sok tahu," potong gadis itu cepat. Jelas saja Ditya tidak mengenal sifatnya. Ditya hanya berusaha mengingat delapan tahun lalu, saat ia masih duduk di bangku SD.
Jalanan yang awalnya hening menjadi ramai, di depan sana terdapat beberapa orang. Yang sepertinya sedang melakukan aktivitas malam. Ditya tak sempat menyambungi ucapan Nantha karena atensinya teralihkan.
Ditya memelankan laju mobilnya, menilik dengan jeli. Ternyata itu sekumpulan geng motor pemalak. Sedang menghadang mobilnya dengan gaya mondar-mandir di jalanan.
Zero masih belum menyadari, masih berusaha mengajak bicara Nantha. Padahal hanya mendapat tatapan tajam dari gadis itu. Mungkin itu karena kesan Zero sebelum ini tidaklah menyenangkan. Laki-laki itu satu-satunya adik kelas Luthfa yang suka nyolot dan berbicara sesukanya.
Tin-tin-tin!
Ditya mengklakson agar perkumpulan itu minggir dan urusannya selesai. Akan tetapi, tak semudah itu, karena nyatanya ada yang tak terima. Sehingga mengharuskan Ditya menuruti kemauan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable [END]
Teen FictionDipanggil 'cewek manja' oleh mereka yang keluarganya lengkap dan dipenuhi kasih sayang. Sebenarnya, ia hanya merasa lelah dengan kehidupannya, ingin dilihat dan diperhatikan oleh banyak orang. Namun, sikapnya yang salah justru membuat orang-orang se...