27. Permintaan Terakhir

57 3 0
                                    

Apalah arti aku, yang bagimu seperti meminum air laut di tengah kehausan. Tak berguna.

***

"Oh, iya, di mana Genta?" Mata Wati mencari ke seluruh sudut ruangan dan tak menemukan anak laki-lakinya. "Itu siapa?" tanyanya dengan dagu menunjuk ke sosok laki-laki yang sedang duduk di kursi di dalam ruangan.

Nantha menoleh, menemukan Luthfa juga sedang menoleh ke arah mereka. Laki-laki itu berdiri karena merasa terpanggil, mendekat ke mereka.

"Selamat siang, Tante. Saya Luthfa, kakak kelasnya Nantha di sekolah." Laki-laki manis itu menyapa dengan senyum sopan.

Tersenyum simpul, Wati mengamati dari atas sampai bawah—hanya sampai pinggang saja—penampilan Luthfa. Terlihat biasa, tetapi tegas. Wajahnya meyakinkan untuk menjaga Nantha, pikirnya.

"Kamu pacarnya Nantha?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh Wati langsung disambut gelengan dan protesan dari keduanya.

"Bukan, Tante. Oh, iya, semangat buat Tante. Semoga tetap menjadi seseorang yang selalu membuat Nantha tersenyum. Membuat Nantha tetap bersemangat dan bi—" Luthfa berhenti berucap ketika wanita itu memotong. Jelas bisa Luthfa pahami maksud potongan kalimat itu.

Wati pasti saat ini merasa pesimis sekali, tidak punya tujuan hidup ke depannya. Yang ia pikir adalah kapan kematian akan menghampirinya. Ya, hanya itu.

"Sudah-sudah. Kamu belum makan? Ajak Nantha, kalian makan berdua di kantin. Mama sendiri saja di kamar."

Menggeleng lemah, Nantha duduk di kursi dan masih memegangi tangan mamanya. Seakan tidak mau melepaskan.

"Kasihan Luthfa udah lapar, kamu ajak, gih, Kei," suruh Wati.

Nantha masih menggeleng, membuat Luthfa berinisiatif untuk menjawab. Daripada ia seperti makhluk kelaparan yang menunggu Nantha mengajaknya ke kantin.

"Nggak, kok, Tante, saya sudah makan tadi sebelum ke sini. Saya juga bawakan makanan buat Nantha dan beberapa buat Tante."

Luthfa heran, bukankah seharusnya pertanyaan Wati adalah, kebaikan Nantha. Bukankah Wati sudah tahu kalau Nantha diculik, seharusnya wanita itu bertanya bagaimana kronologinya dan apa yang Nantha lakukan sehingga bisa kabur?

Namun, di sisi lain Luthfa senang, ternyata mereka malah membahas hal yang tidak penting. Mungkin juga karena rasa tidak percaya dirinya wanita itu.

"Luthfa," panggil Wati. "Kamu jaga Nantha, ya. Mungkin cuma kamu laki-laki yang tulus kepada Nantha di dunia ini."

Nantha menatap mamanya tak percaya. Bagaimana mungkin Wati menitipkan anaknya kepada sosok laki-laki yang bahkan tidak wanita itu tahu sifat dan kesehariannya.

"Eng ...," gumam si lawan bicara, tak tahu harus menjawab apa.

"Nggak berat, kok, Nantha orangnya baik dan pekerja keras. Dia selalu melakukan suatu hal secara mandiri. Kelemahannya hanya satu mungkin. Dia cengeng sekali." Wati terkekeh garing. Wajah tuanya terlihat pucat dan napasnya seperti semakin naik turun.

"Tapi, Ma ...," ujar Nantha. Gadis itu mengusap air mata yang tersisa di pipinya.

"Nantha, Mama tahu segalanya. Kamu, kalau Mama tinggal pergi jangan—"

"Stop, Ma! Nantha nggak mau dengar itu lagi dari mulut Mama!" teriak Nantha. Gadis berambut sepunggung dengan baju warna biru tua itu kembali menahan tangis.

Cklek!

Terdengar suara pintu dibuka dan memperlihatkan sosok laki-laki berusia dua puluh tahun dengan nama Genta. Segera laki-laki itu berlari menghampiri kasur Wati, memeluk tubuhnya dengan erat. Sama seperti Nantha, ia tak mau melepaskannya.

Ineffable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang