Part 1

16.3K 389 6
                                    

Memasuki salah satu kamar asrama putri, mataku refleks menjelajah satu per satu gadis yang ada di ruangan tersebut. Netra ini berhenti pada sosok gadis bermata cokelat dengan khimar yang tidak rapi, jelas dia santri baru. Cantik, pantas saja jika dipelet, dan pasti hanya melihat dari sisi penampilannya saja.

Melihat cara berpakaian yang berbeda dengan santri lain membuatku tersenyum -bukan tebar pesona, pada dasarnya aku ini seorang pemuda yang ramah dan tidak sombong- sedang gadis itu melihat padaku tanpa berkedip. Ini hal biasa, dia bukan gadis pertama yang terperangah saat melihatku.

"Zee, kenapa apa ada setan lain lagi yang buat anti kesambet?" Seorang ustazah menegurnya.

"Oh, nggak Ustazah. Saya pikir dia tadi vokalis dari timur tengah." Abg bertubuh mungil itu menjawab polos.

Ck. Lucu juga anak itu. Slengehan khas gadis tengil yang mulutnya belum pernah dingajikan.

Baru saja Abine memulai ruqyah ia tertidur. Hingga Abine memintanya berwudhu. Ya Allah ... ikut kesal rasanya. Apa dia tidak tahu bahwa Abine itu orang yang sangat sibuk.

Beberapa waktu tidak juga kunjung masuk dari tempat wudhu, membuat Abine gelisah.

"Bagaimana ini? Abi harus menghadiri liqo' setengah jam lagi." Pria paruh baya itu memperhatikan arloji yang melekat di tangan.

Dua puluh menit menunggu, seorang santri dengan wajah cemas berlari ke pintu di mana kami semua menunggu.
"Afwan, Ustazah. Santri baru itu pingsan di tempat wudhu."

Semua orang panik. Abine meminta gadis itu di rebahkan saja dulu sambil dibacakan ayat-ayat quran.
Sementara aku dan Abine pulang. Di rumah Abine memintaku segera meruqyah gadis itu begitu ia sadar, liqo' itu tidak mungkin diwakilkan karena dihadiri guru beliau yang memberikan banyak ijazah keilmuan.

"Baiklah Bi, anak Abi yang ganteng dan sholeh ini akan mengurusnya. Abi tenang saja," ucapku mantap, disusul seringai Abine sembari menepuk pundak ku.

"Bagus. Hahaha." Pria yang tidak pernah kubantah perintahnya itu meninggalkan ruangan.

Sejam berlalu, ustazah datang memberi tahu gadis itu telah sadar. Setelah siap dengan segala keperluan kami pun memulai ritual yang merupakan sunnah rasul tersebut.

"Siapa namanya Ustazah?" Kutolehkan kepala pada ustazah yang ada di samping.

"Kazeea Angesti binti Zaenudin, Gus."

Tidak membuang waktu, akhirnya ruqyah berjalan dengan lancar tanpa kendala terutama dari gadis slengehan itu.

"Setelah ini perbanyaklah amaliyah untuk membentengi diri, termasuk wirid pagi dan petang, dan itu sudah jadi jadwal tetap di pesantren ini, insyaallah anti akan terjaga. Satu lagi jauhi maksiat agar jin tidak menjadikannya jalan menanam buhul-buhulnya."
Kuterangkan semua pada gadis itu, kasihan juga dia, orang yang memeletnya benar-benar gila. Jika saja tanpa penanganan yang tepat gadis bernama Kazeea itu bisa gila.
Pemelet bahkan menanam peletnya dengan ritual jangka panjang, yang jin itu menyebutnya "Ritual 41 Purnama" di mana gadis itu akan diikuti hingga 41 bulan.
Entah, jika suatu saat ia pergi dari pesantren dan tidak lagi terbentengi Islam.

***

Setahun telah berlalu, kabar kedatangan Syifa -bunga dan bidadari pesantren yang belum pernah hatiku tertarik selain pada gadis itu, bahkan sejak kecil- sampai ke telinga.
Tidak ingin keduluan ikhwan lain, segera kuutarakan keinginanku untuk meminangnya.
Mana ada cara lain yang lebih baik ketika mencintai seorang gadis selain melamar?

Beberapa kali berkumpul antar pengurus pesantren dan semua ustaz dan ustazah, baru kuketahui Syifa telah memakai cadar. Tentu saja kecantikannya bisa menjadi fitnah banyak lelaki, dan Syifa menjaga itu. Hal yang membuatku semakin menyukainya.

Tibalah hari lamaran, seperti diperbolehkannya nadhor, sengaja kuminta pada pihak keluarga Syifa agar bisa melihat wajah gadis itu. Hanya sekedar ingin melihat wajahnya, bukan yang lain-lain. Memastikan benar itu dia dan bukan orang lain, juga memantapkan hati pada pilihan.

Perlahan Syifa membuka cadarnya, MaasyaAllah ... jantungku berdebar tak beraturan karenanya. Dia benar-benar bidadari yang tersesat di hatiku, eh bukan di pesantren kami maksudnya.

Setelah sedikit basa-basi kami menetapkan tanggal pernikahan bulan depan. Mendapatkan gadis cantik dan cerdas seperti Syifa, membuat hati ini dipenuhi bunga-bunga, tapi ada yang aneh dengan sikap Abine. Entah apa yang beliau sembunyikan. Ada raut keterpaksaan walaupun akhirnya beliau menyetujui pernikahan kami.

Hingga suatu hari, aku yang membantu berjaga malam santri-santri senior melihat lampu dapur putri yang menyala.
"Jam berapa ini?" Kulihat arloji di tangan. Sudah jam 00.15.
"Ck. Pasti mbak-mbak e lupa matikan lampu. Apa mereka gak tau sekarang ini tarif listrik sudah naik sampai 300%. Huft. Ceroboh sekali."

Terpaksa kulangkahkan kaki, mengucap salam dan tak ada yang menjawab aku segera masuk ke dalam. Namun, belum sempat mematikan lampu mataku menangkap benda yang tergeletak di atas meja samping saklar.

"Apa ini?" Kusipitkan mata.
Sebuah kitab dengan sampul gambar lelaki Korea. Duh, apa bagusnya?
"Santri kok sampule gambar wong Korea?"

Penasaran, kubuka perlahan kitab tersebut. Buku dengan tulisan Arab gundul dipenuhi terjemah melayu tulisan tangan itu, menunjukan santri yang memegang nya serius dalam belajar.
Sampai di tengah, sebuah diary ada di sana.
"Diary?"

Belum sempat membacanya, aku dikejutkan seorang akhwat dari ruang sebelah berlari ke arahku.
"Jangaaaaan ....!"

Naas, gadis itu kesandung sesuatu dan menabrak tubuhku hingga posisi kami terbaring dengan tubuhnya di atasku, lebih naas bibir gadis itu mendarat di pipi.
Subhanallah ... ini musibah besar. Firasatku dengan tegas mengatakan akan ada fitnah besar pula karena ini.

BERSAMBUNG

Istri MudakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang