Part 3

6.2K 266 8
                                    

"Sudah to, Gus. Terima saja. Lha wong mesti masih abg gadis itu gak jelek-jelek amat. Gak kalah cantik juga sama Ning Syifa," ucap Kang Danu, ponakan Abine, bernada mengejek.

"Iya, mesti cabe-cabean juga,  lama-kelamaan juga jadi terong-terongan. Hahaha." Ning Alima, adiknya, menimpali.

Mereka berdua sama saja, paling kompak kalau suruh bully saudara.
Nasib memang, aku yang biasanya dengan lancar menjawab bullyan mereka kali ini cuma pasrah.
"Ya, sudah. Kalau buat sampean cantik ambil saja Kang. Kita tukeran, biar aku yang sama Mbak Maimunah. Kalau gak mau tukeran aku kasih aja buat sampean buat jadi istri kedua."
Moodku benar-benar sudah hancur, dan sepertinya aku benar-benar benci pada ABG itu.

"Lah, kok gitu. Kalau tukeran sama Maimunah ya jangan toh, lha dia sudah siap eksekusi jeh." Kang Danu memang pinter buat orang kesal.

"Hihihi." Disusul tawa Alima, lengkap sudah ejekan dari mereka.

Kutinggalkan obrolan dengan kakak beradik itu, menenangkan hati dengan menemui Kang Jalal.

"Apa perlu kami kasih karbit buat kado pernikahan?!" seru Kang Danu, lagi-lagi adiknya ikut terkekeh, jadilah mereka tertawa bersama di atas penderitaanku.

Di perpustakaan pondok, Kang Jalal tengah menyusun buku-buku di rak. Hal yang ia telateni, mengklasifikasikan antara kitab, bacaan ringan dan juga buku-buku terjemahan. Pria itu memang selain kutu buku juga multi talenta.

Aku yang baru saja datang, melihat Kang Jalal menggendong sebuah buku terjemah dengan gambar muslimah bercadar, sementara tangan yang lain sibuk meletakkan buku-buku.

"Wess, rajin kok ndak ada enteke to Kang," selorohku ketika dekat.

"Eh, ada njenengan toh, Gus." Senyum pria itu mengembang.

"Itu apa Kang? Terjemahan buku Dr. Aidh Alqornie bukan?" Aku merasa familiar dengan sampul buku tersebut.

"Em, iya Gus."

"Wah, masih segel. Bukannya banyak di rak ujung sana. Kok sudah ditaruh lagi."

"Oh nggak Gus. Ini saya beli buat dikasih temen."

Mataku menyipit seketika, apa untuk Syifa. Kang Jalal pasti tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Cemburu? Tentu saja, tapi tidak ada hak. Dia bukan lagi calonku.
Dalam hati terus berdoa semoga ada keajaiban yang bisa membatalkan pernikahan dengan gadis ABG itu.

"Oya, ada perlu apa Gus?" Kang Jalal membuyarkan pikiranku.

"Oh, gak serius banget sih, Kang. Cuma mau minta bantuan, rencananya ana akan mengambil S1 setelah akad nikah."

"Loh?!" Mata pria berbaju koko itu melebar.
"Terus gimana nasib istri Gus nanti? Apa ... ngapunten, nopo mboten zdalim?"

"Justru dzalim kalau ana dekat-dekat dia sekarang Kang," jawabku tegas. Entah pemilik mata sayu ini memahami maksudku atau tidak.

***

Dadaku terasa panas, kuremas kertas yang sudah tergambar anime sepasang pengantin atas namaku dan syifa.
Bukan hal mudah, menyerah di saat harusnya kita yang menang, meski ini bukan pertempuran.
Semua ini karena anak ABG yang ceroboh itu, mimpiku bertahun-tahun bersama Syifa harus lenyap seketika.
Tanpa sengaja tanganku yang mengepal menggebrak meja di hadapan.
Namun, setelah puas merasakan amarah ini, seolah ada yang berbisik agar aku segera sadar, ini salah.
"Astagfirullah."

Ini belum berakhir, hal yana akan kuperbuat adalah mencari cara agar ABG itu mau membatalkan pernikahan kami. Jika keinginan itu datang dariku, Abine pasti menolak.
Sangat ku pahami bagaimana seharusnya takdir bekerja, ada ranah yang bisa kupilih, yakni upaya.

Malam itu juga, kuhubungi calon istri yang tak ku mengerti sama sekali bibit bebet bobotnya. Apalagi sanad keilmuannya, jauh dari Syifa yang jelas ia belajar dan berguru di mana.

Meski ragu, kupencet juga kontak dengan nama 'ABG ceroboh,' walau sebenarnya aku tahu bahwa itu adalah ponsel Kakaknya, entah siapa namanya aku lupa bertanya pada Kang Jalal kemarin.

"Assalamualaikum," ucapku begitu seseorang mengangkat.

"Wa-wa'alaikumsalam," jawabnya terdengar ragu.

"Jawab salam yang bener. Ah, ya sudahlah gak penting soal itu." Aku bicara dengan nada ketus. Entah kenapa aku yang santun ini harus bicara ketus karena gadis itu, belum apa-apa dia sudah berefek buruk padaku.

"Walau bagaimana ana akan tanggung jawab dan gak akan mundur, bukan karena ana seneng pada anti tapi karena mandat abine, jelas ya?" K mengharap jawaban.

"Ya." Zee menjawab singkat.

"Tapi sebelum semua terjadi, ana mau anti mundur saja. Pernikahan ini hanya akan batal jika anti membatalkannya. Bukannya anti sangat mencintai pria lain, yang sama-sama masih bau kencur dan labil juga ceroboh sampe ngirim pelet. Kalian pasti serasi. Bagaimana?" Kuutarakan juga maksudku menelpon, pernikahan ini tidak seharusnya terjadi.

"Apa? Bau kencur, labil dan ceroboh?" Gadis itu sepertinya tersulut.

"Kenapa? Sudahlah kita tidak akan cocok, pasti tidak akan pernah ada cinta di antara kita." Aku berusaha meyakinkan.

"Nggak! Gue akan tetap menikah dengan loe dan gak akan pernah mundur. Enak aja loe habis ambil kesempatan ngatain gue gak karuan!" Zee bicara tak kalah ketus, sudah kuduga ia memanfaatkan moment ini. Wanita mana yang tidak menginginkanku.

"Tut ... Tut ...." Sambungan telepon putus sambungan telepon, dan mengomel sendiri.

Gadis itu benar-benar suul adab.
Tentu saja selain abg labil ia baru saja menimba ilmu di pesantren yang mengajarkan ilmu adab.

***

Hari pernikahan akhirnya tiba, gadis yang masih belia itu terlihat dewasa dengan polesan makeup di wajahnya. Saat gadis itu keluar dari kamarnya tadi dan duduk di antara keluarga dan tamu wanita, aku sempat melihatnya sekilas dan membuat sesuatu yang aneh menyusup ke hati. Cinta? Ah, tak mungkin.
Hatiku sama sekali tidak mencintai, tapi mata dibuat aneh saat memandangnya.
Ck, nafsuku tidak bisa diajak kompromi dengan hati. Segera kutepis perasaan itu.

Ego dan kemarahan belum merelakan hatiku untuk memberi perasaan pada gadis itu selain kemarahan, yang entah perbuatan apa untuk kulampiaskan nantinya.

"Ehem, ehem. Akhirnya, menikah juga. Lebih cepet, sama yang lebih mudaan pula," Taqi, sohibku menggoda.

"Cabe-cabean." Teman lain menimpali dengan berbisik tapi terdengar olehku.

Kunaikkan sebelah bibir.

"Huss." Taqi menoyor pundak temannya itu, lalu keduanya terkikik. Aku mencebik, ada dorongan untuk melihat lagi pada gadis, aish ... kenapa begini. Gadis yang terlihat bak buah ranum itu membuat debaran aneh di dada.

BERSAMBUNG

Istri MudakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang