Part 16

5.5K 247 19
                                    


"Zee! Come here, please!" Suara cempreng tante Syifa terdengar dari kejauhan. Membuatku sontak menoleh padanya.

Aku sangat hapal suara itu, satu-satunya suara yang tak aku suka di penjuru ponpes ini. Wanita adalah makhluk yang memiliki fisik sempurna sebenarnya. Hanya saja membuatku muak dan melihat wanita bercadar itu sebagai simbol keburukan. Astagfirullah, bukan bermaksud membenci ciptaan Allah. Namun, naluriku tidak bisa dibohongi, semua tentang Syifa sungguh memuakkan. Sudahlah aku harus pasrah ketika Gus bercerita akan menikahinya, ditambah sikapnya yang tidak mau bersahabat di sini.

Di mana-mana yang namanya calon istri kedua harusnya bersikap baik pada istri pertama jika ingin ia ridha saat dirinya bersanding dengan suaminya.
'Duh, Zee ... kenapa mendadak kamu bijak begini? Ck. Apa Gus sudah benar-benar menganggap mu istrinya?' Heh, lucu.

"Me?" tanyaku dengan memegang dada. Memastikan aku kah yang diinginkan datang. Wanita yang tengah memegang sapu itu mengangguk. Kami sedang ada di jam bahasa Inggris, yang mengharuskan semua penghuni asrama putri menggunakan bahasa tersebut, jika keceplosan menggunakan bahasa lain hukuman telah siap menunggu kami.

"Huft." Menghela napas sesaat, lelah tentunya. Lelah berurusan dengan wanita bercadar yang sangat mengingini suamiku. Nenek sihir yang menjelma sebagai ustazah itu pasti akan cari gara-gara. Ia tidak jera rupanya setelah aksi belas dendamku sebelumnya.

Tiga ayunan langkah kakiku -menuju kerumunan akhwat yang sedang membersihkan got di samping toilet tamu- terhenti, saat suara lain juga memanggil namaku.

"Ukhty Zee! Ke mari!" Istri Gus Ghazali sudah berdiri depan pintu gerbang bersama suaminya. Alhamdulillah, Allah mengirim malaikat untuk menghindar dari Syifa.
Tidak membuang kesempatan, segera berbalik haluan menuju gerbang.

"Eh, Zee! Where are you going?" tanya Syifa berteriak. Tidak kuhiraukan. 'Berteriaklah sesukamu tante. Aku akan terus begini, diam tapi menghanyutkanmu.'
Tak masalah dalam sepuluh kali bullyannya aku hanya membalas sekali. Itu sudah cukup. Impas. Lantaran balasan dariku lebih kejam.

Tante-tante itu pasti sangat kesal sekarang. Menghadapi orang sepertinya tidak perlu main otot, hanya perlu mengasah keusilanku di masa lalu akan membuatnya menderita. 'Sabarlah tante, nanti kita main lagi.'

Begitu dekat, kuraih tangan wanita anggun dengan balutan gamis dan khinar syari berwarna toska itu lalu ingin mencium punggungnya. Namun, cepat ia menariknya. Beda dengan Syifa, baru seminggu kami saling mengenal entah berapa ribu kali aku mencium tangannya. Padahal posisiku adalah istri pertama Gus. Ah, kenapa harus mengaitkannya dengan Syifa? Sepertinya akalku latah membawa-bawa namanya.

Maasyallah, tawaddu' sekali istri Gus Ghazali ini. Kudengar ia dulu juga seorang santri sama sepertiku. Bertahun-tahun ia tetap berada di pesantren, menjadi khadam di rumah Yai Mashur sembari melanjutkan kuliahnya.
Kisahnya seperti Cinderella yang mendapatkan keberuntungan dinikahi seorang Gus. Sama sepertiku. Mengingat itu, aku selalu saja bahagia. Ia tersenyum sembari memberikan ponsel padaku.
"Gus?" gumamku ketika melihat sosok lelaki di ponsel yang sudah dihadapkan padaku.

Nampak lelaki dengan t-shirt berwarna hitam  tersenyum tipis. Tampan sekali pria dewasa itu. Tak salah Syifa mati-matian mempertahankan posisinya sebagai calon Gus.

"Hai Gus!" seruku dengan melambaikan tangan. Senang rasanya. Setelah sumpek akibat ulah Syifa, ada kejutan membahagiakan hari ini. 'Tahu Gus telepon, aku akan menyempatkan berdandan lebih dahulu sebelum ini.' Sekarang wajahku yang berminyak -setelah panas-panasan kerja bakti- pasti tidak sedap dipandang mata.

"Apa-apa an itu? Harusnya ucap assalamualaikum dulu anak kecil. Bukan malah melambai seperti gadis Korea." Wajah Gus Fatih datar seolah tak suka. Padahal aku ingin bersikap baik padanya, dan menunjukkan tengah bahagia sekarang. Tapi benar juga ucapan Gus, bahwa aku harusnya mengucap salam lebih dulu.

Istri MudakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang