31

501 15 0
                                    

Sayla turun dari mobil Rendra tepat di depan pagar rumahnya.

"Bapak nggak mampir dulu?" tanya Sayla setelah keluar dari mobil.

"Next time saja. Soalnya saya harus prepare untuk besok."

"Em, terima kasih ya, Pak, untuk tumpangannya. Semoga sukses untuk lokakaryanya."

Rendra tersenyum. "Iya. Terima kasih juga, ya. Saya titip anak-anak. Saya yakin, mereka tidak akan berbuat yang macam-macam sama kamu." Rendra menyalakan mobilnya. "Ya sudah, saya duluan ya."

Sayla melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam rumah. Laras dan Nana yang sedari tadi mengintip dari jendela segera membuka pintu.

"Duh, siapa tadi tuh? Gebetan baru?" tanya Laras.

"Elo sekarang sukanya sama yang bermobil, Sa?" Nana menambahkan.

"Ih, apaan sih kalian berdua!" Sayla memberenggut kemudian berselonjor di ruang tengah. "Itu tadi guru pamong gue. Tadi gue dikasih tebengan soalnya pulang telat. Pikirannya gebetan mulu!"

"Guru pamong lo masih muda gitu?" Laras mulai histeris.

Sayla terkikik melihat histeria Laras. Laras memang paling tidak bisa melihat lelaki bening.

"Kenapa nggak lo embat aja tuh? Mayan kan, jaminan nilai A+ dah loo!!"

Sayla menjitak kepala Laras. "Lo tuh ya. semuanya aja lo suruh embat. Sori yee, gue bukan cabe-cabean yang semua orang dicabein cuma buat sensasi!" Sayla memutar bola matanya kemudian berlalu masuk ke dalam kamarnya.

Sayla merebahkan diri. Entah kenapa, hari ini ia merasa begitu penat dengan segala aktivitasnya. Padahal hari-harinya juga mengalir seperti biasa. Tidak terlalu spesial. Hanya saja, Alreza semakin sering muncul di depannya dengan senyum yang ia nilai begitu tulus.

Tiba-tiba gawai Sayla berbunyi menandakan pesan masuk. Baru saja ia mengingatnya, Alreza sudah mengiriminya pesan.

Ibu guru cantik lagi apa?

Sayla tertawa geli membaca pesan Alreza. Entah kenapa, muridnya yang satu ini benar-benar bisa membuat stresnya menghilang saat itu juga. Segera ia mengetikkan balasan.

Baru nyampai rumah. Tadi lembur ngoreksi tugas kelasmu sama kelas lain.

Sayla mengeklik tombol sent, lalu mengetikkan sesuatu lagi.

Kamu sendiri ngapain?

Ia kirim lagi balasannya. Sembari menunggu balasan dari Alreza, Sayla merapikan tumpukan kertasnya, meraih laptopnya untuk membuka tulisan yang menggantung kemarin karena beberapa datanya tertinggal di email editornya. Ia baru akan melanjutkan tulisannya saat gawainya kembali bergetar.

Loh, lembur di sekolah sampe sore gini?

Kok nggak ajak-ajak bu?

Saya kan bisa nemenin ibu biar nggak sendirian tadi di sekolah :(

Tiga chat Alreza membuat Sayla lagi-lagi tersenyum. Pandai sekali anak ini menguasai keadaan. Tak butuh waktu lama bagi Sayla untuk mengetikkan balasan.

Gapapa, toh juga emang udah tugasku buat menyelesaikan penilaian.

Udah ah, nanti dilanjut lagi, aku mau nulis dulu.

Sayla mulai mengurangi menggunakan kata saya pada Alreza karena merasa aneh saja menggunakan kata seformal itu kepada muridnya ketika sedang chating. Selanjutnya, Sayla segera tenggelam dalam tulisannya karena hari sudah malam sedangkan besok pagi tulisannya sudah harus berada di email editornya.

***

Sayla baru saja membuka pintu depan rumah kontrakannya saat melihat Alreza duduk di atas motornya. Sayla terkejut dan segera mendekatinya.

"Ngapain kamu pagi-pagi di sini?"

Alreza tersenyum kemudian bangkit. "Mau ngajak Ibu berangkat bareng. Boleh?"

Sayla terdiam. Ia memang tidak menghubungi Dana untuk meminta tebengan karena hari ini ia berencana berangkat sendiri. Akan tetapi, melihat Alreza sudah di sini sepagi ini tidak enak juga jika menolaknya.

"Boleh kok. Sebentar ya, aku pake sepatu dulu. Kamu masuk dulu yuk!"

"Enggak usah, saya tungguin di sini aja, Bu. Oh iya, saya juga udah bawain helm. Jadi Ibu nggak usah ambil helm, hehehe."

Sayla tersenyum. Ia tahu, Alreza adalah anak yang baik. Tetapi tidak pernah menyangka jika dia menyiapkan segalanya seperti ini.

Sayla segera mengenakan sepatunya dan tak lupa mengunci pintu. Kemudian, ia mengunci pagar sebelum menerima uluran helm dari Alreza.

"Udah siap?" tanya Alreza sebelum menutup kaca helmnya. Sayla mengangguk kemudian Alreza segera melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Untungnya hari ini jalanan tidak terlalu macet sehingga mereka bisa sampai di sekolah tepat waktu.

Sayla baru tersadar ketika memasuki gerbang sekolah. Harusnya ia turun di depan sekolah saja agar tidak menimbulkan tanda tanya bagi para penghuni sekolah.

"Zaa, kenapa tadi nggak turunin aku di depan sekolah aja? Nggak enak dilihatin yang lain kayak gini." Bisik Sayla sesaat sebelum Alreza memarkirkan motornya. Sayla turun, melepaskan helmnya dan menunggu jawaban Alreza.

"Emangnya kenapa? Toh saya cuma nebengi Bu Sayla berangkat ke sekolah. Bukannya nyulik Bu Sayla dari rumah terus dibawa ke sekolah kan?"

"Iya, tapi..." Sayla mengedarkan pandang, beberapa siswa yang melintasi keduanya menatap mereka dengan berbagai ekspresi. Ada yang terlihat iri, ada yang terlihat kaget, ada yang terlihat heran bahkan ada juga yang terlihat bodo amat.

"Bu, jangan mikir macem-macem. Mereka cuma liat. Bukan berarti mereka tau segalanya. Kalau ada yang gangguin Bu Sayla cuma gara-gara berangkat ke sekolah sama saya, biar saya peringatkan mereka untuk nggak gangguin Bu Sayla. Karena kan memang saya yang ajak Bu Sayla berangkat bareng." Jelas Alreza. Di matanya, Sayla menemukan ketegasan. "Ya udah, saya ke kelas dulu ya, Bu." Alreza meraih tangan Sayla hendak menciumnya. Sayla yang kaget segera menarik tangannya.

"Kamu mau ngapain?"

"Lah, mau salim. Kan kalau murid ke gurunya harus salim." Alreza mengerutkan dahi.

"Nggak perlu. Udah sana ke kelas." Sayla segera berlalu dan meninggalkan Alreza. Alreza hanya tersenyum kemudian memandang sekeliling. Ternyata masih ada yang melihatnya dengan berbagai macam tatapan. "Apa lo liat-liat? Mau gue tonjok mata lo?" serunya sengit membuat beberapa temannya yang memandangnya segera menjauh.

-Waktu yang Salah-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang