21

509 17 0
                                    

Sayla masuk ke kelas XI TKJ 5 saat bel masuk baru saja berbunyi. Ia sama sekali tidak mendapatkan gerutuan, tetapi malah mendapatkan senyuman.

"Selamat pagi, anak-anak!" sapanya. Kali ini Dana tidak menemaninya karena ia dipanggil untuk menghadap wakil kepala sekolah.

"Selamat pagi, Bu!" jawab kelas serentak. Ivana yang tadi mengenakan headset-nya segera melepasnya dan menyikut Alreza. Tetapi yang disikut masih tak berkutik.

"Tapi, Bu. Ini kan udah jam 10, sebentar lagi siang." Celetuk Galang.

"Saya bilang selamat pagi biar kalian semangat terus. Seperti waktu masih pagi. Sedang cerah-cerahnya, sedang ceria!" jawab Sayla kemudian tersenyum membuat Galang meleleh.

"Oke. Hari ini kita akan belajar tentang membaca cepat. Buka buku paketnya ya." ujar Sayla seraya mendekati meja guru. Kemudian mengeluarkan buku absen. "Oh, sebelum itu saya presensi dulu ya. Alreza Dhimas." Ujarnya seraya mendongak dan menyapu kelas. Ia tidak melihat tanda-tanda Alreza akan menjawab panggilannya.

Ivana berusaha membangunkan Alreza. "Ja, Eja. Bangun! Pelajaran udah dimulai nih!" suaranya tertahan. Ia mengguncang tubuh Alreza namun hanya dibalas dengan erangan kecil.

Sayla yakin Alreza masuk kelas karena tadi pagi ia bertemu di depan. Kemudian ia melihat seorang murid yang tertidur. Sayla segera mendekatinya. Ternyata Alreza.

"Zaa." Bisik Sayla lembut seraya menyentuh luka lebam di tangan Alreza yang membuat Alreza langsung bangun dan mengaduh.

"Aduh!" ia meringis kesakitan sebelum akhirnya menyadari jika yang mengusik tidurnya adalah Sayla. "Eh, Bu Sayla. Maaf, Bu saya ketiduran. Saya cuci muka dulu ya, Bu."

Sayla yang terkejut melihat tangan Alreza memar menahannya. "Tangan kamu kenapa? Kok memar semua?"

Alreza merutuki kebodohannya. Ia menoleh pada Ivana, seakan menanyakan apa yang terjadi. "Sekarang jam pelajaran Bahasa Indonesia." bisik Ivana membuat Alreza ternganga.

Kenapa ia bisa lupa hari ini ada pelajaran Sayla? Jika tahu hari ini ada pelajaran Bahasa Indonesia, Alreza pasti akan lebih memilih untuk tidak masuk sekolah sekalian.

"Zaa, jawab pertanyaan saya. Jadi yang kamu maksud sakit itu, ini?" Sayla menunjuk lebam di tangan Alreza dengan pandangan bercampur aduk.

"Emm, anu, Bu. Nanti saya jelaskan. Sekarang pelajaran dulu saja." ujar Alreza pelan.

Sayla menahan amarahnya dan segera kembali ke depan. Ia segera melanjutkan presensi dan melanjutkan pelajaran. Sebuah kesimpulan muncul di otaknya: Alreza baru saja berkelahi! Dan entah kenapa Sayla tidak suka hal itu.

Alreza hanya diam di tempatnya. Meskipun sebenarnya cemas juga membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Tetapi, ia tidak terlalu cemas juga. Ia sudah biasa ditolak perempuan karena hobi berantemnya yang tidak kunjung berhenti. Walaupun ia merasa, riwayatnya akan habis di tangan perempuan yang terus tersenyum pada teman-teman sekelasnya.

***

Alreza menatap Sayla takut-takut. Belum pernah ia melihat Sayla seserius ini. Tatapannya begitu tajam menghunjam. Alreza tidak tahu kenapa tiba-tiba nyalinya menciut juga di depan Sayla. Padahal sedari dulu tidak ada seorang pun yang dapat menghentikannya dalam hal tawuran. Termasuk kakaknya sekalipun.

"Jadi mau sampai kapan kamu diam terus?" tanya Sayla akhirnya memecah keheningan.

Sekolah sudah sepi sejak setengah jam yang lalu. Sayla memilih untuk menunggu Alreza di ruang guru magang.

"Ibu mau saya ngomong apa?" tanya Alreza berusaha terlihat tenang.

"Kenapa harus berantem?" Sayla mengucapkannya tanpa basa-basi sedikit pun membuat Alreza sedikit terkejut.

Alreza membuang napas. "Nggak semua hal bisa diomongin baik-baik, Bu."

"Tapi juga nggak semua hal harus diselesaikan pakai kekerasan."

"Tapi dengan kekerasan bisa menyadarkan orang, kalau omongan itu juga bisa nyakitin lebih dari sakit fisik!" nada suara Alreza meninggi membuat Sayla tersentak. "Maaf." Alreza menurunkan nada suaranya.

Ganti Sayla menghela napas. "Saya tahu, Zaa. Kadang memang ada beberapa hal yang harus diselesaikan secara jantan. Ya, salah satunya dengan berkelahi. Tapi apa yang kamu dapatkan dari berkelahi, selain babak belur seperti ini?"

"Kelegaan, Bu. Saya baru lega kalau bisa membuat orang terdiam dengan pukulan saya. Saya bisa membela harga diri saya dan juga teman-teman saya. Orang nggak akan memandang saya sebelah mata asalkan saya bisa berkelahi. Masalah babak belur, anggap saja itu bonus."

Sayla benar-benar tidak mengerti jalan pikiran murid di depannya ini. Bagaimana bisa ia lebih memikirkan harga dirinya ketimbang keselamatan jiwanya?

"Terus, kalau nanti kamu dilaporkan karena sudah melakukan kekerasan sama anak orang gimana?"

Alreza menyeringai. "Berarti dia banci. Berani nantang berantem berarti berani menanggung akibatnya. Masa cuma gara-gara kalah terus dia lapor sama orang tuanya atau ke polisi? Mending diem jadi anak rumahan aja daripada jadi sok jagoan."

Sayla tersenyum. Ternyata anak ini cukup besar juga nyalinya!

Sayla menyentuh luka lebam di tangan Alreza. Alreza meringis. "Udah diobatin?" tanyanya.

Alreza menggeleng. "Kan obatnya cuma liat Ibu. Ini udah nggak sesakit semalem kok."

Sayla mendelik ke arahnya membuat Alreza tertawa. Sayla segera bangkit dari duduknya dan mencari es batu di kantin. Setelah itu ia menggunakan sapu tangannya sebagai alat kompres.

"Kalau lebam kayak gini tuh harus dikompres. Biar nggak bengkak."

"Ya kan saya maunya Ibu yang ngerawat saya. Saya nggak mau dirawat yang lain, Bu."

"Ih, kamu nih. Kalau masih ngegombal terus, saya cakar lukamu!"

"Ih garangnya!" ujar Alreza dengan suara menggoda membuat wajah Sayla merah padam. Alreza hanya tertawa.

-Waktu yang Salah-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang