What's The Point of This Routine? (Part 2)

1.6K 205 7
                                    

[New's POV]

Pulang ke rumah tidak lagi menyenangkan buatku. Dulu, ketika di Bristol, aku tak sabar menanti waktu aku bisa pulang ke rumah. Biasanya, Tay akan menyambutku dengan makanan yang dia beli sesaat dia pulang dari kampus. Kami akan makan bersama-sama dan saling bercerita mengenai hari kami.

Biasanya aku akan cerita tentang pelanggan yang mengesalkan atau Tuan Bowen yang mulai galak. Tay dengan setia mendengarkan keluhanku meskipun dia juga tidak tahu siapa yang aku bicarakan.

"Kalau kesal, ludahi aja minumannya." usul bodoh Tay saat aku cerita tentang pelanggan yang suka komplain.

"Aku bahkan nggak sudi untuk memberikan ludahku untuknya."

"Kamu yang terlalu baik."

Kamu yang terlalu baik...

Sepertinya dia sadar betul aku seperti apa. Buktinya, setelah pindah ke Jakarta, kami tak tahu lagi apa itu mengobrol-setelah-bekerja. Sepulang dari kafe, aku menemukannya melemparkan baju sembarangan, mandi alakadarnya, lalu tertidur sambil membaca buku. Dia tak lagi bertanya bagaimana kabarku, apa yang kulakukan hari itu, dan yang terpenting, apakah aku merindukannya.

Weekend ini, aku sibuk meracik resep sea salt yang memang akan kumasukkan menu untuk minggu depan. Aku juga tidak mengabarkannya saat aku pergi karena ia masih terlelap pulas. Memanggil namanya saja aku tak tega.

Ternyata, perlakuanku kemarin berhasil membuatnya muak. Ia meminta perhatian yang dulu aku beri.

Bukan perhatian.

Lebih tepatnya, pelayanan. Aku melayaninya.

Aku tidak lagi memasakkan sarapan untuknya dan dia marah. Apakah aku sengaja? Tidak, aku memang sibuk dan tidak punya waktu. Baiklah, hal-hal seperti itu masih aku tolerir karena sebagai pasangan, sudah seharusnya kedua pihak saling membuat effort. Tetapi, dia sudah melewati batas.

Buku catatan yang tak pernah kutunjukkan pada siapa pun, dengan santainya ia membukanya dan berusaha mencari pembenaran atas tulisan curhatanku.

Itu adalah curhatan. Keluh kesah. Aku mengeluh pada buku catatanku dan tulisanku bisa saja tidak diarahkan untuknya. Apa yang dia tak mengerti?

Aku sengaja tak menunjukkannya pada siapa pun karena itu hanyalah ungkapan emosi yang lewat saja. Tetapi, Tay membuatnya masalah besar seakan aku sangat membencinya dan ingin pernikahan kami usai.

- Brukk brukk -

Tay mengepaki bajunya ke dalam koper. Aku tidak menghentikannya sama sekali. Sepertinya, kami berdua memang butuh waktu sendiri untuk meluruskan pikiran masing-masing. Saat mobilnya melaju kencang dari parkiran, aku juga hanya bisa menatap nanar dari balkon. Mobil mahal itu terasa jelek di mataku.

"Baiklah, New. Kamu pasti bisa melalui hari tanpa bergantung dengan Tay." gumamku.

Tekadku sudah bulat. Aku juga pria dan aku mandiri. Semua masalah yang biasanya diselesaikan oleh Tay, pasti bisa kuselesaikan juga.


- Pet -


Lampu di dapur tiba-tiba mati. Sepertinya, dayanya sudah habis dan perlu diganti. Aku mengambil tangga di gudang lalu berusaha melepaskan lampu sendiri.

Biasanya, Tay yang langsung sigap menarik kursi di mini bar dan mengganti lampunya dengan cepat. Di mataku, dia terlihat seperti MacGyver.

Dengan tertatih-tatih, aku berusaha meraih bohlam lampu yang agak panas. Saat aku memegangnya, refleksku langsung terkejut dan melepas peganganku di tangga. Walhasil, kini aku terjatuh di lantai dalam keadaan tangan yang tak bisa digerakkan.

We Used to be in Love | TAYNEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang